05

679 98 62
                                    

Aroma panggangan roti dan secangkir teh hangat mengisi ruangan dapur rumah keluarga Puccho. Sayangnya teh yang disajikan oleh Shani untuk adik bungsunya masih kalah jauh dengan aroma kopi Aceh buatan Jinan. Baik Shani dan Jinan masih belum memulai pembicaraan sama sekali, sejak kemarin sepulangnya dari pemeriksaan laboratorium sang ayah. Kedua kakak beradik itu sempat saling menyalahkan perkara Chika yang mendapat kasus pembullyan di sekolah.

"Good morning adik abang yang paling cantik." Jinan tersenyum lebar saat melihat Chika menuruni tangga dengan memakai piyama berwarna pink.

Wajahnya yang kemarin pucat sudah berangsur lebih baik sekarang. Matanya juga tidak terlalu sembab. Dan kantung mata Chika sudah tidak terlihat hitam. Anak itu semalam tidur nyenyak setelah mendapat nasi goreng telur mata sapi dari Vion. Belum lagi, ia mengigau menarik paksa tangan Vion agar tidak pergi meninggalkannya sendiri di kamar. Alasan-alasan itulah yang mungkin, membuat tidur Chika sedikit lebih nyenyak.

Selepas menuruni tangga, Chika menghampiri Jinan yang sedang meminum secangkir kopinya duduk di meja makan. Meraih gelas di atas meja dan menuangkan air dingin ke dalamnya. Kemudian memposisikan diri untuk duduk di sebelah Jinan.

"Dih tumben, giliran gini aja muji-muji." ujar Chika, tidak menatap balik tatapan Jinan yang sedari tadi terus memperhatikannya.

Jinan mencolek dagu Chika, "Emang ga boleh?"

"Biasanya juga lebih sering muji Ci Shani." perkataan Chika memang benar adanya. Walaupun Jinan adalah saudara kandung Shani sendiri tetapi lelaki itu hampir tiap hari tidak pernah absen memuji kecantikan seorang Shani Indira. Bahkan, Chika yang juga sama cantiknya jarang sekali dipuji seperti itu.

Jinan terkekeh, "Shani mah udah bosen tiap hari Bang Jinan puji, kalo kamu kan belum pernah habisnya bandel sih."

Melihat bagaimana Jinan selalu memarahi adik bungsunya karena sering berbuat onar, itulah alasan kenapa Jinan lebih sering menggoda Chika dengan memberi amukan atau marahan. Rasanya tidak pantas memuji Chika 'cantik' padahal perbuatannya di rumah atau di sekolah tidak terlihat 'cantik' sama sekali.

Shani yang masih berkutat dibalik dapur, melayangkan tatapan pada Jinan yang sedari tadi tak henti-hentinya menggoda Chika. "Bang... Udah deh, adiknya baru bangun tidur masih aja diganggu."

Akan selalu ada malaikat penolong dimanapun Chika berada. Di rumah ada Shani yang selalu melerai kelakuan kakak sulungnya. Sedangkan, di sekolah ada Aran yang selalu menolong Chika disaat kesusahan. Sungguh indah skenario Tuhan ini.

Tapi mau sampai kapan? Mau sampai kapan Chika harus seperti ini? Dia tidak bisa berlindung terus menerus dibalik punggung kedua orang itu. Setidaknya Chika harus bisa membela diri saat Jinan menggodanya dengan penuh manjaan. Setidaknya Chika harus bisa membela diri apabila di sekolah akan diganggu lagi oleh Olla. Dia tidak boleh mengandalkan orang lain untuk menjadi tameng disetiap permasalahannya yang ada.

Keadaan yang tadinya sempat hening sekitar lima menit berubah menggema akibat tawa keras oleh Jinan. Tak ada angin tak ada hujan, tawa dari Jinan semakin kencang. "Shan Shan kemarin Chika lucu banget sih, nangis dipelukan aku sampe tersedu-sedu." masih terus tertawa sembari memperagakan wajah yang sedang menangis, "Abang... Manggil-manggil aku kayak gitu, manja banget coba." Jinan memperagakan lagi bagaimana kemarin Chika menumpahkan isak tangis pada bahunya yang lebar.

Chika yang sedang menyomot roti panggang dari piring milik Jinan, memukul lengan kakaknya itu bertubi-tubi. Bukannya merasakan kesakitan, Jinan justru semakin mengencangkan tawanya. Ia semata-mata bukan meledek tetapi juga mengalihkan kegelapan kasus sang ayah yang beberapa hari ini membuat adik bungsunya itu lebih sering menangis.

LANGIT [VIKUY] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang