11

750 87 70
                                    

Udara di pagi hari memang cocok untuk berolahraga, tetapi mengingat jika ini masih hari sekolah, Chika harus mengurungkan niatnya untuk jogging kecil-kecilan di komplek rumah. Gadis itu, sudah sejak pukul lima subuh bangun dan mandi. Padahal biasanya, dia bangun pukul setengah tujuh lebih sedikit, paling cepat mungkin pukul tujuh.

Chika menuruni tangga rumahnya setelah selesai beberes buku untuk dibawa ke sekolah. Dia melihat sekeliling dapur, ruang tamu, ruang keluarga yang masih kosong melompong di jam enam pagi ini. Biasanya jika tidak ada bibi, Aya yang sudah bersiap memasak sarapan atau sekedar melihat tontonan di TV tentang ceramah dari Ustaz Maulana. Tetapi di setiap sudut rumah, tak dia temukan Aya ataupun Puccho.

Gadis yang hanya memakai baju seragam dengan bawahan celana tidur itu melangkahkan kaki pada pintu depan rumahnya yang ternyata sudah terbuka lebar sejak tadi. Chika cukup kedinginan dan seluruh bulu kuduknya merinding saat merasakan terpaan angin kencang di pagi hari begini. Lantas kaki Chika terhenti, melihat kedua orang tuanya sedang bercengkrama bersama kakak keduanya di sebuah gazebo dekat dengan lapangan basket.

Obrolan yang cukup serius itu membuat Chika penasaran. Dia berjalan mendekat, tetapi belum saja berhasil menguping pembicaraan keluarganya, Chika sudah disapa terlebih dahulu oleh sang ayah.

"Eh anak papa, udah siap aja nih mau sekolah." ujar Puccho sembari memeluk Chika.

"Biasanya kalo berangkat pagi-pagi, mau ngelabrak orang nih di sekolah." Shani mencibir karena ikut heran melihat Chika sudah mandi dan berpakaian rapi walau pakaiannya belum seutuhnya lengkap.

"Enak aja, Chika udah rajin gini masih aja diledekin."

Chika membenarkan posisi untuk duduk di pangkuan Puccho, padahal gazebo di rumahnya begitu besar. Masih tersisa banyak ruang di sebelah Shani maupun Aya. Terlepas dari sikap manja Chika, gadis itu bangun pagi karena tiba-tiba saja dia ingin segera melihat wajah Vito di kelas. Kesan pertama selepas mereka pergi bersama, membuat pikiran Chika terus melayang memikirkan Vito. Walaupun, yang ia pikirkan tak jauh-jauh dari kata ledekan dan gurauan yang kerap kali lelaki itu berikan padanya.

Rasanya menyenangkan, mengetahui keperibadian seseorang yang kadang orang lain sendiri tidak menyangka.

"Ada apa sayang kok minta pangku? Kayaknya kangen banget sama papa ya?"

"Chika mah kangen terus."

Kalimat itu mendapatkan cubitan di pipi Chika dari Aya karena merasa cemburu melihat kedekatan anak bungsunya dengan sang suami. Tetapi, di luar dari itu semua, Aya sangat bersyukur dengan keluarga kecil mereka yang masih lengkap dan tetap utuh sehingga dapat berkumpul lagi bersama.

"Ehm papa kenal sama tante Lisa ga?"

Sekilas, pertanyaan itu dituangkan oleh Chika karena teringat dengan perkataan Lisa saat dirinya berada di rumah duka. Perkataan yang cukup membuat tanda tanya di seluruh pikirannya menjadi banyak. Dan kemungkinan besar, Chika berharap jika Puccho bisa menjelaskan sebuah jawaban yang masuk akal.

"Kenal, kenapa?" jawab Puccho yang di akhiri dengan pertanyaan juga.

"Anaknya meninggal lho pah, papa ga layat?"

"Hah!? Siapa?"

Puccho bukan ditahap biasa saja saat mendapat kabar duka tersebut dari anaknya. Wajah bapak tiga anak itu berubah drastis, matanya langsung menatap mata Aya. Begitu pula sebaliknya.

"Lulu, temen sekelas Chika. Masa papa ga tau?"

"Anaknya Lisa sekelas sama kamu? Kok dia ga pernah bilang papa ya?"

"Kamu sibuk mas apalagi sekarang jarang buka WA." ujar Aya menanggapi.

Kedua mata suami istri itu belum berhenti saling berpandangan. Seakan mereka berbicara lewat tatapan. Ada benarnya perkataan Aya, Puccho akhir-akhir ini sedang banyak masalah di kantor sehingga belum sempat membuka ponsel yang khusus berisikan kontak-kontak temannya saja.

LANGIT [VIKUY] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang