20

611 86 95
                                    

Fajar menyingsing, dingin menyerang tulang-tulang Oniel yang membuat seluruh tubuhnya menggigil padahal sudah terbalut hoodie dan jaket dua lapis tetapi udara Ciwidey pagi ini masih tetap membekukan air putih di botol yang ada di meja, samping ranjang tempatnya tidur.

Oniel terbangun saat alarm di ponsel Chika tak berhenti dari satu jam yang lalu. Ponsel itu sengaja tidak dimatikan Shani, sebagai pengingat untuk adik-adiknya yang masih asyik menggeluti hamparan mimpi.

Dengan mata yang masih menyipit, Oniel keluar kamar untuk memeriksa keadaan. Oniel melihat dari jendela vila, di luar sedang ada Vito yang berjemur. Matahari padahal sedang terik-teriknya, lantas mengapa dingin sangat membuat tulang-tulang Oniel ngilu. Perempuan itu buru-buru ke dapur hendak merebus air untuk membuat teh hangat.

Oniel berdiam diri sebelum benar-benar menyentuh teko yang diletakkan Shani di atas meja makan. Dilihatnya Naran sedang melambungkan koin lima ratus berkali-kali, di depan lelaki itu tersaji mi goreng buatan Shani tadi pagi yang sisa setengah.

"Ngapain lu, pagi-pagi udah kurang kerjaan aja?"

Naran menengok saat koin yang dilambungkannya berhasil dia tangkap. "Lagi nyari jawaban, harus makan pagi atau engga."

Lantas Oniel menggeleng penuh keheranan, "Aelah anggota osis kayak lo, perkara makan aja make ditentuin sama koin lima ratusan. Ga jelas banget."

"Udah gue bilang, gue bukan anak osis lagi."

Akhirnya, karena terlalu malas menanggapi Naran. Oniel lebih memilih untuk kembali ke kamar daripada merebus air untuk membuat teh hangat. Kemudian membuka ponselnya yang ternyata berisikan pesan dari Shani setengah jam lalu.

'Niel... Cici, Mas Vino, sama Abang Jinan ke kebun teh dulu ya. Kalian berempat kalo mau nyusul, kita tunggu di sini.'

Jam di ponsel juga sudah menunjukkan pukul tujuh, kesempatan yang tidak akan terjadi di Jakarta itu tidak mau di sia-siakan oleh Oniel. Langsung dibangunkanlah Chika yang masih tertidur. Butuh kekuatan ekstra dan kesabaran yang luar biasa membangunkan seorang princess dari tidurnya. Lumrah, Oniel sudah biasa meskipun keduanya jarang tidur bersama. Oniel juga sudah tau kebiasaan Chika yang susah dibangunkan itu.

"Chik, mau ikut ke kebun teh ga?" bisik Oniel.

Chika tetap diam bahkan posisi tidurnya tidak berubah dari posisi awal. Setelah berulang kali Oniel menggoyangkan tubuhnya agar cepat tersadar.

"Chikaaaa bangun yuuuukkk..."

Telapak kaki Chika yang dingin dikelitiki Oniel. Bukannya geli justru terlihat sakit. Kuku Oniel ternyata belum sempat dia potong. Padahal gesekkannya cukup keras, tetapi tetap saja Chika tidak bangun. Mati, pikirnya Oniel.

"Chika Chikaaaa lo jangan mati dulu dong. Kita belum pergi ke Paris bareng nih. Belum liat festival matador di Spanyol. Chika!!!"

"Niel... Kita pulang sekarang ya."

Masih kondisi tertidur, Chika melirih pelan. Suaranya terdengar parau. Wajahnya sedikit pucat. Setidaknya itu lebih melegakan dari pada harus melihat Chika tidak bisa membuka mata lagi. Kini Oniel bisa bernapas lebih lega.

"Kok pulang sekarang? Kita kan pulang nanti sore." jawab Oniel.

Chika menyeka kotoran yang berkumpul jadi satu di pojok matanya. Melihat sekilas ke samping kasur bahwa tidak ada Shani di sana. Hanya ada Oniel seorang. "Ci Shani kemana?"

"Udah ke kebun teh duluan sama Bang Jinan sama Kak Vino. Gue, Vito, Naran, sama lo disuruh nyusul."

Chika menggapai botol minum yang sedikit beku di atas meja. Diminumlah hingga tak tersisa. Haus sejak semalam melanda. Ia tahan-tahan hanya karena ketakutannya lebih besar dari rasa hausnya.

LANGIT [VIKUY] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang