27

608 87 77
                                    

Dengan susah payah, Gabriel menggenggam tangan Naran yang masih memegang stir kemudi. Ditariknya dengan terpaksa ketika mobil miliknya sampai di tengah jalanan sepi. Entah jalanan apa, setau Gabriel, letaknya cukup jauh dari lokasi kejadian kecelakaan.

Setelah kaki Naran, menginjak rem dengan spontan. Kedua tangan Gabriel menampar wajah Naran berulang kali saking kesalnya. "Anjing! Lo ngapain kabur!!!"

Banyak makian kasar, tamparan keras, luapan marah yang hanya terdengar di dalam mobil Ferrari tersebut. Seakan amukan yang selama ini Gabriel pendam terluapkan begitu saja lewat kelakuan Naran. Bisa-bisanya anak itu memutuskan untuk kabur dan tidak menolong Vito yang bersimbah darah. Dimana letak hati nuraninya!

"Gue takut Gab." ucap Naran, suaranya terdengar lirih persis seperti orang yang ketakutan. Tangannya gemetar sudah hendak ancang-ancang memegang kemudi. Namun, sebelum itu Gabriel berhasil mencegahnya kembali.

"Ini mobil gue! Gue juga bakal kena imbasnya kalo lo kabur!" teriak Gabriel.

Kepalanya hampir pecah melihat kejadian malam ini yang sungguh tragis. Niatnya kembali ke rumah setelah nongkrong dengan Naran justru berakhir berantakan. Belum lagi, pesawat Gabriel ke Manado akan berangkat pukul enam pagi nanti. Dan bisa dipastikan, dia meminta ayahnya untuk memundurkan jadwal keberangkatannya. Hanya untuk mengurus masalah kecelakaan Naran. Apalagi nomor plat mobilnya, terlacak jelas di cctv persimpangan jalan tadi.

"Balik sekarang ke jalan yang tadi, kita tolong Vito sebelum keadaannya makin parah."

Naran masih terdiam, terpaku di depan kemudi, dan sesekali anak itu menggeleng angkuh. "Gak gak gue ga mau Gab. Gue ga mau." masih jelas dari raut wajahnya, menyimpan banyak ketakutan.

"Ran... Selesaiin ini sekarang, gue besok udah ga di sini."

"Engga Gab, gue ga bisa. Gue takut..."

Naran membuka pintu bagian supir, dia keluar. Berjalan sambil berlari-lari kecil menjauh dari Gabriel. Melarikan diri tapi masih dapat terkejar dengan mudah.

"Ran! Anjing! Lo sadar ga sih!" kali ini Gabriel menampar wajah Naran dengan sangat keras bebarengan dengan suara gemuruh petir. "Lo tu sadar apa masih di bawah pengaruh alkohol sih!"

Di tempat tongkrongan, Naran memesan dua botol alkohol. Padahal Gabriel sudah melarangnya karena anak itu harus kembali menyetir. Tapi Naran dengan kekeh masih berusaha memastikan kepada Gabriel kalau dia akan kuat dan sanggup membawa mobil Gabriel hingga sampai di rumah. Dan benar saja terbukti adanya, Naran memang tersadar. Tetapi nampaknya, berapa persen rasa mabuknya sempat tak tertahankan ketika motor Vito berlalu di depan mobil Ferrari yang dibawanya. Alhasil, Naran telat menginjak rem dan menabrak kencang Vito dan motor lelaki itu sampai terpental cukup jauh.

"Vito jatuh itu bukan salah gue Gab! Dia nya aja yang nyelonong."

Naran masih teguh dalam pendiriannya. Sikap angkuh, cemas, egois, dan kekhawatirannya menjadi satu. Dia tidak mau ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, saat ini, justru dialah sendiri yang menetapkan dirinya menjadi tersangka utama dalam kecelakaan tabrak lari malam ini.

Gabriel menjambak rambutnya saking merasa frustasi. Menatap nanar ke arah Naran karena menganggap temannya yang satu itu sungguh tidak punya hati nurani. "Gue tau dia yang salah tapi lo yang nabrak Ran! Tanggung jawab lo di mana!?"

Dengan entengnya, Naran berucap. "Gue mau pulang." tangannya bahkan hendak melambai ke arah bis kota tua yang catnya keliatan keropos.

Ketika bis tua itu mulai melipir, mendekat ke arahnya. Naran yang hendak naik, kaki kanannya dengan cepat langsung dijegal oleh Gabriel dari belakang. "Jalan aja pak, ga jadi." mengusir keneknya untuk meminta sang supir bis agar segera pergi.

LANGIT [VIKUY] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang