07

641 92 112
                                    

Hari Minggu telah tiba, Aya bersiap-siap untuk menemui Puccho yang masih ditahan di BNN. Kejadian suaminya itu sudah berjalan seminggu dan sebentar lagi Puccho akan melakukan sidang bersama dengan tersangka dibalik kasus narkotika suaminya.

Sebelum pergi, Aya menghampiri kamar Chika yang terletak di lantai dua. Anaknya itu tadi pagi tak ikut sarapan bersama. Mungkin, Chika masih terlelap di awan-awan mimpinya.

Sampai di depan kamar anak bungsunya, Aya segera memutar knop pintu kamar Chika. Tampak gadis jangkung berambut panjang sedang berdiri di depan cermin kamarnya yang besar. Dugaan Aya salah, ternyata Chika sudah bangun dan anak itu sedang mempercantik wajahnya.

Padahal tak usah dipoles oleh apapun, Chika tetap layak disebut sebagai bidadari.

"Chika, mau ikut mama ketemu papa ga?" tawar Aya seraya duduk di atas kasur anaknya.

"Engga ma, Chika ga bisa."

Sudah beberapa hari yang lalu Aya sampai ke rumah, namun Chika belum memeluk atau mengeluarkan rindunya pada sang ibu. Membuktikan jika hubungan keduanya tak sedekat Chika dengan Puccho. Gadis itu tak sedikitpun melirik Aya lewat pantulan cermin, ia justru masih repot membersihkan maskara yang sedikit menggores mengenai kelopak matanya.

"Cuman kamu kata abang yang belum ketemu papa lho."

Aya tau jika Chika seminggu ini sama sekali belum menjenguk Puccho. Suaminya kemarin juga sempat berkeluh kesah padanya, jika rindu dengan Chika. Tetapi tak tau kenapa Chika enggan menjenguknya, padahal Jinan dan Shani sudah memaksa Chika beberapa kali terakhir ini.

"Chika belum siap ma, Chika ga mau nangis waktu ketemu sama papa. Kalo Chika nangis, papa pasti tambah sedih."

Alasan utama, Chika belum sempat bertemu dengan Puccho karena anak itu enggan menangis di hadapan sang ayah. Air mata Chika terlalu mudah luruh di depan orang-orang yang dia sayang. Chika tak ingin, jika dirinya menangis di hadapan Puccho maka nanti ayahnya turut bersedih akan tangisan yang sudah dibuatnya. Makanya Chika belum siap bertemu dengan suami dari Aya tersebut.

"Kamu ga boleh gitu Chika, kamu kan kesayangan papa. Masa ga pernah jengukin papa sih?" rayu Aya.

Chika menaruh bedaknya ke atas meja rias dan menengok ke belakang untuk menatap Aya. "Besok ya ma, Chika janji."

"Emang kamu sekarang mau pergi?"

"Mau ke tempat Oniel, janjian ngerjain tugas bareng."

Bukan maksud urusannya dengan Oniel lebih penting dari sang ayah. Puccho sangat penting sekali melebihi siapapun di hidup Chika. Hanya saja anak itu sudah memiliki janji terlebih dahulu dengan Oniel untuk mengerjakan tugas bersama atau lebih tepatnya itu hanya sebuah alasan. Karena yang sebenarnya akan Chika lakukan di rumah Oniel adalah menonton film dan berbincang tentang gosip terkini yang belum sempat keduanya tuntaskan di sekolah.

Tentu saja Aya tak percaya, "Ga usah bohong Chika, kamu mana pernah nyentuh buku sih? Apalagi ngerjain tugas?"

Aya bukan meledek anaknya, ibu tiga anak itu tau bagaimana kebiasaan Chika yang tentu saja bikin kepalanya pusing tujuh keliling. Shani kerap kali bercerita jika Chika memiliki hobi menyalin tugas milik Oniel, Chika juga sering berbuat onar, dan mengajak banyak temannya yang lain beradu mulut. Tetapi cerita-cerita itu terjadi sebelum Puccho terkena musibah. Sekarang, Shani sudah tak pernah menceritakan hal-hal seperti itu pada Aya.

"Nyentuh buku doang ya pernah ma, tapi kalo dibuka jelas engga dong."

Mendengar jawaban itu lantas membuat kepala Aya semakin berdenyut kencang. Lebih baik dirinya buru-buru pergi dari kamar Chika, sebelum vertigonya kembali menyerang.

LANGIT [VIKUY] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang