22

680 74 102
                                    

Sayup-sayup langit senja yang masih menampakkan keindahannya terputar cantik di depan mata laki-laki berseragam sekolah. Dia melintasi jalanan kampung yang sudah bertahun-tahun sering dijelajahinya. Bahkan cukup hapal dengan aroma kopi di warung pojok gang milik Ibu Siti. Belum lagi, anak-anak kecil yang kerap melakukan lompat tali dan bermain bola di tengah jalanan sempit itu. Menjadi saksi bagaimana masa kecilnya terlewati begitu saja.

Kadang ada kerinduan yang tidak bisa diucapkan. Hanya bisa di angan dan tak ingin diingat lebih dalam lagi. Kenangan-kenangan kecil yang tampak menyenangkan tidak cukup menarik untuk diliriknya lagi. Ia pikir rasa sakit yang pernah dirasakannya dulu, tak perlu untuk diusik sekarang. Masanya sudah berakhir, lantas kenapa percikkan kebenciannya masih ada.

Laki-laki dengan tinggi semampai itu menghentikan langkahnya ketika berdiri di depan rumah sederhana dengan pagar yang tingginya sepinggang. Rumah dengan rumput ilalang yang lebih tinggi dari pagar itu sungguh tak pernah berubah. Bahkan sejak kali terakhir dia mengunjungi pemilik aslinya, rumah itu akan selalu menghadirkan rasa tersendiri yang selama ini tidak pernah dia tau apa rasa yang sebenarnya dirasakannya.

Ada rasa was-was saat dia hendak memutar gembok yang menggantung bebas di pagar. Rasa was-was seperti kali terakhir. Dimana dirinya dan keselamatan orang-orang di sekitarnya sempat terancam. Hanya saja, semua ancaman itu mengalahkan rasa pedulinya pada pemilik rumah. Selama apapun dia pergi, rumah ini akan tetap menjadi tempat pulang paling nyaman. Meskipun tidak ada lagi sosok hangat di dalamnya yang senantiasa memeluk erat ketika dia pulang.

Baru saja berhasil membuka gembok pagar, laki-laki berseragam dikejutkan dengan kehadiran pemilik rumah yang berdiri di ambang pintu teras.

"Ngapain lo kesini?" tanya orang itu, wajahnya benar-benar terlihat marah.

Sedangkan, lelaki berseragam sekolah hanya dapat menunduk sembari menyodorkan plastik berisikan makanan. "Gue bawain lo makan."

Plastik berisi nasi goreng itu terhempas, jatuh ke pelataran teras. Beberapa butir lainnya bahkan ada yang jatuh di antara rerumputan ilalang saking kencangnya hempasan yang diberikan. Sangat di sayangkan. Nasi yang seharusnya dapat dimakan, justru jatuh berserakkan seperti itu. Setidaknya cukup ditolak saja tak perlu ada adegan dibuang segala.

"Gue tanya, ngapain lo masih kesini!? Masih inget sama gue lo!!!???" teriak orang yang menghempaskan nasi goreng.

Kaos oblong yang dipakainya terlihat basah kuyup. Tangannya menggenggam ponsel, entah sedang mengirim teks kepada siapa. Aroma rokok tercium hebat, bisa dipastikan orang itu baru saja merokok. Merokok di dalam kamarnya yang gelap. Kamar dengan lampu bohlam yang jarang dia hidupkan untuk menghemat biaya listrik.

Laki-laki berseragam sekolah lagi dan lagi hanya mampu terdiam sembari menyeret orang yang lebih tua darinya itu untuk masuk ke dalam rumah. Kemudian, ia mengunci rapat pintu rumahnya yang sudah dimakan rayap hingga hampir kropos. Ditariklah napas dalam-dalam sebelum berbicara.

"Kak... Lo bisa sabar ga sih?" eluhnya terdengar lirih penuh kesakitan yang luar biasa.

"Apa? Gue harus sabar gimana lagi? Sedangkan lo aja udah ngacauin semua rencana yang gue bangun sejak awal."

"Lo harus tau kak... Gue ga bisa apa-apa sekarang."

"Iya lo ga bisa apa-apa. Karena yang kita incer justru pergi ke luar negeri. Ini semua gara-gara lo! Gara-gara lo ga bertindak dengan cepat! Bangsat ya."

Lambat laun, keduanya tak pernah saling menyayangi lagi. Mungkin, bukan keduanya. Hanya orang berkaos oblong yang doyan merokok saja yang sudah tidak sayang dengan adiknya. Padahal sang adik masih mencoba, memberikan usaha semaksimal mungkin untuk kakaknya. Tapi apa daya, semua usaha yang dilakukan justru tertutupi dengan satu kesalahan.

LANGIT [VIKUY] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang