24

609 78 66
                                    

Suara elektrokardiogram yang berbunyi di beberapa ruangan, memekakkan indra pendengaran Jinan. Belum lagi, aroma obat suntik yang membuat bulu hidungnya kadang gatal. Menjadi teman saat menunggu sang adik yang masih terbaring lemas di rumah sakit.

Tangan kirinya menutup knop pintu rapat-rapat sedangkan tangan kanannya menjabat tangan seorang bapak-bapak dengan pakaian polisi.

"Terima kasih banyak Pak Jaya, sudah menjenguk adik saya. Semoga ini menjadi pertimbangan anda untuk membantu kasus kami."

Jaya Wardhana, penyidik kepolisian yang sempat menangani kasus nakoba Puccho di kantor. Sejak kasus penuduhan narkoba tersebut, Jinan beberapa kali masih sempat berbalas pesan dengan Jaya. Pesan yang Jinan kirimkan pun bukan pesan main-main.

Meskipun Jinan tau, pekerjaan Jaya sebetulnya hanya terlibat di bawah naungan BNN yaitu polisi yang mengurus soal narkotika dan penggunaan obat-obat terlarang lainnya. Tetapi, mungkin saja Jaya memiliki banyak akses teman yang dapat membantu persoalan Jinan. Oleh sebab itu, Jinan memilih menceritakan kondisi keluarganya saat ini pada Jaya. Dan Jaya memutuskan untuk menjenguk Shani hari ini.

Jaya dengan sigap menggenggam balik tangan Jinan sebagai tanda setuju atas permintaan tolong pria muda tersebut.

"Begini bapak. Sebenarnya tadi malam saya sudah sempat mengulik perihal dua rekaman cctv yang anda berikan."

"Lalu bagaimana pak?"

"Sesuai keterangan yang anda berikan. Orang yang pernah masuk ke rumah anda dan orang yang mencopet rekan kerja anda itu adalah satu orang yang sama. Terlihat dari postur tubuh dan penggunaan warna topi."

"Apakah bisa cepat ketemu orangnya, pak?"

"Melihat bagaimana kondisi adik dan kondisi keluarga anda yang mungkin cukup parah. Saya perlu tegaskan, kalau kasus ini bukan kasus main-main. Ini kasus yang berat dan tentunya akan melibatkan banyak pihak. Termasuk orang-orang di kantor lama anda,  sekolah adik anda, bahkan sampai kantor Bapak Puccho juga."

"Tapi pak, saya ga mungkin ngasih tau ke ayah saya. Kalau bapak turut andil dalam penyelesaian kasusnya."

Jinan benar, Puccho bisa marah-marah sampai tau jika dirinya menyewa polisi hanya untuk membantu menyelesaikan kasus pembunuhan ini.

"Lalu bagaimana saya bisa bantu? Sedangkan, masalah utamanya ada di Bapak Puccho." Jaya pun bingung. Penyelidikan tidak akan berjalan apabila pihak-pihak yang di tanganinya menolak untuk dilakukan investigasi.

"Saya mengerti pak, ayah saya akan terlibat mau bagaimanapun cara penyelesaiannya. Tapi saya mohon, untuk sekarang, selesaikan kasus ini tanpa melibatkan siapapun."

"Jadi maksud anda, saya harus menyelesaikan kasus ini diam-diam? Termasuk membuntuti ayah dan ibu anda? Kedua adik anda? Bahkan anda sendiri."

Jinan mengangguk, "Tolong pak, saya percayakan semuanya kepada bapak. Saya minta, rahasia sedikitpun jangan sampai terbongkar."

"Baik, akan saya usahakan. Kalau begitu saya permisi dahulu."

Kepergian Jaya beriringan dengan datangnya Chika di lorong rumah sakit. Anak bungsu dari Bapak Puccho itu sudah berganti pakaian dari seragam sekolah. Menggunakan celana joger dan kaos oblongnya. Tak lupa topi berwarna navy miliknya yang jarang dipakai dan hanya dijadikan sebagai pajangan di kamar.

"Ngapain Pak Jaya kesini?" tanya Chika.

"Cuma nengokkin cici kamu."

"Sedeket itu kah hubungan kalian? Sampai perlu jenguk cici segala?"

"Ya wajar lah, Pak Jaya juga yang bantu papa selama ditangkap."

Chika terkekeh karena tidak percaya. "Apapun urusan kalian berdua, Chika ga akan pernah peduli dan jangan libatin Chika untuk hal apapun lagi."

LANGIT [VIKUY] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang