25 🔞

1.2K 89 34
                                    

🔞 WARNING ADA BAGIAN TIDAK SENONOH DALAM CHAPTER INI 🔞

"Tumben pagi-pagi udah di sini aja, emang nungguin siapa?" tahu-tahu Naran datang, menyapa Chika yang duduk di depan kelasnya entah sejak jam berapa.

"Yang jelas bukan nungguin lo." jawab Chika agak sedikit jutek.

Naran menengok ke kanan dan ke kiri selanjutnya menukikkan senyuman di bibir seraya memandangi Chika. "Nungguin Gabriel ya?"

Seakan kunci yang sama ketika berhadapan dengan Jinan digunakan oleh Chika untuk menutup mulutnya. Gadis itu hanya terdiam sesekali memandangi daun jendela di kelas Naran yang apabila terkena angin sedikit lagi akan terbanting kencang. Jendela di kelas Naran itu tampaknya lebih menarik daripada ucapan laki-laki di samping Chika yang sejauh ini sangat tidak penting.

"Kalo lo nungguin Gabriel, dia ga akan masuk. Neneknya hari ini meninggal. Kemungkinannya juga ga akan ketemu lo lagi, dia mutusin pindah ke Manado karena udah ga ada tanggungan lagi di Jakarta." ucap Naran.

Sekilas Chika teringat, kala dirinya bersama dengan Gabriel di rooftop rumah sakit. Pria itu sempat berkata jika dia di sana sedang menunggu neneknya yang koma. Lantas, omongan Naran pagi ini terdengar masuk akal.

Nenek Gabriel yang sudah lama koma itu, meninggal dunia. Dan berita buruknya, Gabriel tidak akan bersekolah lagi di sekolah yang sama dengan Chika. Bahkan, Gabriel memutuskan untuk pindah ke Manado dan melanjutkan sekolahnya di sana. Karena memang, keluarga Gabriel berasal dari kota tersebut. Tapi kini, permasalahan Chika bukan kemana Gabriel pergi.

Permasalahannya terletak pada rekaman yang saat itu akan Gabriel tunjukkan padanya. Rekaman tentang siapa pembunuh yang selama ini Chika dan beberapa orang lainnya cari. Padahal, Gabriel bisa mengirimkan rekaman itu melalui aplikasi obrolan. Tapi kenapa sampai detik ini, anak itu tidak mengabarinya apa-apa. Sampai-sampai Chika dengar jika neneknya meninggal.

"Makasih infonya, gue cabut dulu."

"Ga mau minta nomor telponnya apa? Gue bisa kasih kok."

Chika menggeleng, "Ga perlu."

Sebelum, batang hidung Chika tidak ada lagi depannya. Naran meraih tangan gadis itu seakan tidak ingin menyisakan sekat di antara mereka.

"Chika." panggilnya.

Dengan spontan, Chika langsung menarik tangannya agar tidak disentuh sedikitpun oleh Naran. Dan menjauhkan dirinya tiga langkah dari Naran.

"Bisa ngomong sebentar, Chik?"

"Kalo mau ngomong buruan, gue belum ngerjain tugas biologi." hanya kebohongan kecil yang dapat Chika lontarkan.

"Jangan di sini, gue mau bilang hal pribadi ke lo."

"Hal pribadi tentang apa? Gue ga mau ya kalo lo bahas yang aneh-aneh."

Naran kembali mendekat sembari sedikit berbisik di hadapan Chika, "Tentang pembunuh yang lagi ngincer bokap lo."

Tidak ada alasan lain yang dapat Chika tolak dari tawaran Naran. Kemudian, gadis itu menunggu Naran sekejap masuk ke dalam kelas, meletakkan tas dan jaketnya. Ketika sudah selesai, Naran yang diikuti Chika berjalan menuju ke arah parkiran. Awalnya, Chika berpikir, mereka akan mengobrol berdua di bangku dekat lapangan atau di kantin. Ternyata, setelah diamati langkah Naran berhenti tepat di depan gudang sekolah yang Chika pernah masuki berdua bersama Vito.

"Kenapa harus di sini sih?" celetuk Chika, matanya mengedar ke setiap sudut gudang. Posisi kardus, bangku bekas, bola-bola kempes yang ia lihat terakhir kali masih sama letaknya. Tidak ada yang berubah. Hanya partner ke gudangnya saja yang berubah.

LANGIT [VIKUY] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang