Patahati

306 21 0
                                    

"Zahra??? ". Zahra nampak kaget setengah mati saat dia melihatku dan spontan melepaskan gandengannya dengan laki-laki tadi.

"Ar... Man... Eh kok disini, katanya eyangmu sakit.." Zahra terlihat gugup, dan laki-laki di sebelahnya terlihat bingung dengan perubahan sikap Zahra.

"Lhooo... Katanya kamu kuliyah, dan sibuk ngurus skripsi??". Tanyaku penuh selidik, paslanya tadi pas masih di RS aku ngabari dia kalau eyang di RS, harapanku dia datang ke RS, aku butuh seseorang yang memahamiku dan pastilah Zahra orangnya, namun jawabnya dia belum bisa jenguk eyang seharian ini dia ada kegiatan di kampus, belum lagi dia harus kelarin skripsi minggu ini, aku pun memakluminya, tapi untuk ke mall dan bergandengan tangan, sepertinya aku tak bisa mentolerirnya.

"Hemm.... Man, kenalin ini Kevin, pacarku". Setelah menepis gugupnya dia mengenalkan laki-laki berwajah oriental yang menurutku aku lebih tampan darinya. Dan What... Pacarnya?? Trus aku???

"Ra?? Maksud kamu apa??" Ini cewek lupa status nya masih pacarku.

"Iya Man, selama ini kita kan hanya teman dari MI, jadi maaf kalau kamu menganggap lebih dari teman, tapi aku gak bisa Man, aku sudah punya Kevin, dan sepertinya aku tak bisa tutupi dari kamu". Saat tangan Kevin masih di ulurkan di tanganku ku terima uluran tangannya untuk bersalaman.

"Arman..." Jawab ku berusaha menahan emosiku.

"Kevin.." di menjawab dan tersenyum SKSD

Mbak Lida masih di belakangku dengan tangan kosong, sedangkan tangan kiriku membawa persiapan untuk akad besok.

"O iya Ra... Santai aja kali... Ni lihat..." Aku menunjukan mukena yang sudah di rangkai indah dari butik ke Zahra.

"Besok aku nikah, aku nikahnya cuman di KUA, jadi maaf ya gak ngundang kamu, cuman mohon do'a restunya aja." Aku balas lebih nyentil lagi, dan Zahra membulatkan matanya dan yang pasti mulutnya menganga.

"Ok Ra, aku duluan ya mau nyiapin buat besok, yuk Vin duluan Assalamualaikum." Aku berlalu berjalan dengan cepat seolah ingin segera hilang dari Mall. dan mbak Lida yang setengah lari mengejarku berusaha mengimbangi langkahku.

"Kamu gak papa kan??" Dia menatapku yang mengepalkan tangan dan gigi yang aku keratkan, seolah siap meninju seseorang.

Sesampainya di parkiran, mbak Lida masuk ke mobil duduk di kemudi.

"Mbak, aku aja yang nyetir." Aku pernah bawa mobil biro saat masih di Jombang beberapa kali, tapi belum ada nyali untuk nyetir mobil lagi di jalanan Semarang, kali ini aku coba untuk nyetir lagi meski jam terbang tak setinggi mbak Lida, tapi hari ini aku butuh pelampiasan emosi, sepertinya keberanianku sudah di atas rata-rata untuk menaklukan si roda empat beradu dengan aspal jalanan kota Semarang.

Mbak Lida tidak menjawab, namun menatapku patuh kemudian keluar dari mobil pindah ke kursi penumpang.

"Kamu yakin?? " Mbak Lida sepertinya takut menyinggung perasaanku.

"Kalau mbak gak yakin, silahkan pulang duluan, aku naik taksi". Tanpa ba bi bu kunyalakan mobil mbak Lida, dan amazing Zahra sukses membuat hatiku patah-patah. Dan keberanianku meningkat drastis, ya ibaratnya mati serangpun aku rela. Membayangkan masa depanku yang abu-abu itu sepertinya kematian lebih baik bagiku.

Aku melihat ekspesi ketakutan dan wajah tegang mbak Lida dari spion, wajah pucat dan kedua tanganya meremas seat belt dengan erat.

Sampai di rumah, mbak Lida bernafas lega dan perlahan melepaskan remasan seat belt dan mulai mengatur nafasnya.

Aku langsung masuk ke rumah tanpa berbicara dengan mbak Lida, di rumah ada Dhe Narti sedang menyiapkan makan malam di rumah, aku langsung masuk ke kamarku, dan aku tertidur.

***

Jam 5 sore aku sudah sholat dan turun hanya memakai kaos rumahan dan pakai sarung, dari tangga aku mendengar sepertinya ada orang bercakap-cakap di ruang tamu, mungkin mbak Lida atau bapak ada tamu. Sedikit ku jelaskan pendengaranku

"Kenapa kamu sulit ku hubungi Za??". Suara seorang pria yang sama sekali tidak bisa ku kenali suaranya, aku semakin penasaran menguping dari balik dinding.

"Maaf mas.... Sepertinya kita harus akhiri hubungan kita. " Suara mbak Lida dengan nada bergetar menahan tangis sepertinya.

"Gak bisa Za... Kamu gak bisa mencampakkan aku begitu saja, di saat semua keluargaku mengenalmu, dan keluargaku sudah bersiap melamarmu." Si laki-laki menjawab dengan nada penekanan emosi.

"Mas... Tolong pahami saya, aku gak bisa melanjutkan hubungan kita". Mbak Lida terisak dalam bicaranya, kuyakin mbak Lida saat ini sedang menangis.

"Katakan padaku Za, apa salahku??". Suara si laki-laki semakin meninggi.

"Kamu gak salah mas, aku yang salah, aku sangat mencintaimu, namun cinta saja tak cukup untuk menjadikanmu suamiku, aku akan di nikahkan dengan orang lain besok pagi mas." Mbak Lida kini benar benar menagis dan mengguguk.

"Siapa pria itu Za? Apa ini alasannya kamu tak pernah memperkenalakan aku ke keluargamu, karena kamu sebenarnya ada laki-laki lain?? Menyesal aku Za mengenalmu, menyesal mengenalkanmu dengan keluargaku, menyesal aku pernah mencintai wanita sepertimu." Sang laki-laki keluar dari rumah tanpa berpamitan, setelah menumpahkan lahar amarahnya kepada mbak Lida.

Tak lama terdengan suara deru mobil keluar dari pekarangan rumah, aku berjalan menghampiri mbak Lida yang dudu di sofa dan menutupi wajahnya, berusaha meredam suara tangisnya, namun tangisan pilu mbak Lida masih terdengar.

"Mbak...." Aku menepuk pundak mbak Lida.

Dia kaget dan dengan cepat kilat menghapus air matanya padahal orang bodoh pun akan tau kalau mbak Lida sedang menangis.

"Ya, apa??". Mbak Lida menatapku dengan padangan berkaca-kaca, hidungnya yang merah seperti jambu air, mengalir ingus bening sisa tangisannya.

"Tadi pacar mbak Lida??" Tanyaku sembari dudu di sebelhnya.

"Iya, dari semalam aku mengabaikan pesannya dan meriject panggilannya, akhirnya dia kesini, sebenarnya aku belum sanggup ketemu dia, tapi ternyata dia sudah sampai di sini." Mbak Lida menjelaskan dengan pandangan kosong.

"Mbak... Kukira hanya aku yang menderita dengan pernikahan kita besok, ternyata mbak lebuh menderita dari ku, apa mbak tidak ingin memperjuangkan cintamu??" Tanyaku dengan suara halus, berharap mbak Lida masih punya kekuatan memperjuangkan cintanya dan membebaskan aku dari jeratan KUA besok pagi, namun mbak Lida menjawab dengan gelengan kepala.

"Cintaku ke pada mas Ilham kalah besar di banding cintaku kepada bapak dan ibu, jadi aku lebih memperjuangkan kepercayaan cinta mereka. " Deg ternyata jawaban mbak Lida sukses menohok ulu hatiku, ternyata mbak Lida begitu menyayangi orang tuaku.

T
B
C

Sampai bertemu di part berikutnya ya.....

Jangan lupa Vote ya😘😘😘

KAKAKU = ISTRIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang