Kehilangan

327 20 2
                                    

Selamat membaca....
💦💦💦💦💦💦💦

Pernikahan kami sudah berusia dua bulan, dan dalam waktu selama itu aku baru sekali menyentuh Atun saat listrik padam malam Jum'at itu, semakin hari  kami semakin sibuk dengan dunia kami masing-masing, sebenarnya aku sangat merindukan Atun yang ceria seperti dulu, setiap hari aku melihat istriku lebih banyak diam, dari pada awal kami menikah, aku melihat ada hal yang di sembunyikan dariku.

Ingin aku menjadi cenayang agar bisa melihat isi pikirannya, dan yang bikin aku tercengan dia mengganti nomor telpon yang bagi dia nomor hoky, karena nomornya nomor cantik sama dengan tanggal lahirnya, alasannya keblokir, bahkan sosmednya di non aktifkan.

Kami punya cukup waktu untuk bicara hanya bila sarapan, atau makan malam, lain itu aku sibuk dengan duniaku dia juga sibuk dengan pekerjaannya yang di bawa pulang.

"Tun, dua minggu lagi Ramadhan ya?". Tanyaku memecah keheningan.

"Iya, ibu kemarin telp, ibu minta selama Ramadhan kita pulang ke Seroja, Arfan juga pulang." Atun menjawab dengan masih khusyuk menatap piring berisi nasi dan tumis kangkung buatanku.

"Hemmm iya."

Aku mulai jengah dengan sikap dingin Atun beberapa hari ini, aku sudah banyak mengalah, pekerjaan rumah akhir-akhir ini pun aku yang mengerjakan, bahkan kewarasankupun hapir menguap karena sikap cuek Atun.

"Atun, aku ada salah padamu??" Aku tarik tanggan Atun saat dia berdiri akan membereskan piring di meja makan.

"Gak, gak ada yang salah." Dia enggan menatapku.

"Tun, aku gak nyaman dengan sikap dingin mu ini, mau kamu apa??, Aku sudah berusaha bersikap dewasa untuk mu, aku berusaha memahami kesibukanmu, bahkan sebagai laki-laki normal, aku menahan hasrat ku untuk menyentuhmu. Tapi apa yang ku dapat, kamu bersikap semakin dingin padaku."

Atun terduduk lemas di kursi makan, dia menangis dalam diam.

"Maafkan aku Bi... Maaf aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu." Lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulutnya.

"Iya karena kamu tidak berusaha, kamu tidak mau menerimaku. Kamu masih kepikiran mantanmu?? Apa dia masih mengganggumu??" Selidik ku

"Enggggaaak..." Kucari kejujuran dari matanya, namun tidak ku temukan kejujuran itu, masih ada yang di sembunyikan dariku.

Kutangkup wajahnya dengan kedua tanganku, kupaksa wajahnya yang menunduk untuk menatapku.

"Atun lihat aku... Jangan kau buat aku mendayung perahu sendirian, karena aku bisa kelelahan, kalau kamu memang masih mau seperahu denganku, bantu aku mendayung."

Ku tatap wajahnya lekat lekat, dan kutempel bibirku ke bibirnya yang kenyal, kucium, kemudian kulumat dan ku hisap, Atun tidak memberikan perlawanan, hanya matanya terpejam namun tidak mengimbangi permainanku.

Sebenarnya hasratku sudah di ubun-ubun, namun aku kesal dengan sikap dia yang tidak berusaha mengimbangi permainan lidahku, dia masih merapatkan mulutnya, aku sangat tersinggung dengan sikapnya.

Ku lepaskan bibirku dari bibirnya, kembali ku tatap dia.
"Balas ciumanku!." Kembali kulanjutkan permainan lidahku, namun dia tetap tak bergeming.

"Maulida Zahrotul Fadhilah! Maumu apa?? Aku suamimu, aku berhak akan kamu, dua bulan kamu abaikan aku. Aku akan meminta hakku entah kamu setuju atau tidak, aku akan tetap meminta hakku padamu".

Ku gendong Atun ke kamarku, kucium dengan kasar bibirnya, kemudia kulucuti pakaiannya, mataku terlanjur tertutup gairah, kubaca do'a dalam hati, dan kegiatan ibadah suami istri kami lakukan, dan kali ini Atun terlihat sama sekali tidak menikmati ibadah kami, aku benci melihatnya menangis, tapi aku tak bisa menahan nafsuku, toh nafsuku kepada istriku sendiri bukan orang lain.

Nafasku masih terengah-engah seperti orang habis maraton, ku ambil tisu di meja nakas dan dengan tubuh telanjangku aku ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku, untuk membersihkan diriku, kulihat Atun masih meringkuk seperti janin, aku biarkan dia di kamar sendirian dan aku pilih pergi ke tuang tv.

Sebenarnya aku merasa bersalah, tapi kenapa dia tidak mau melihat ketulusanku padanya.
Jam 23.00 aku sempet tertidur di ruang TV, aku kembali ke kamar dan aku lihat Atun masih berbaring tapi sepertinya sudah mandi karena kulihat rambutnya basah dan sudah memakai pakaian.

Ku tatap wajahnya yang pucat saat tidur, dan nafasnya yang teratur,  sepertinya dia kelelahan menagis.

"Atun, aku sangat mencintaimu, kenapa kamu tidak melihat cintaku, memangnya seperti apa kekasihmu itu, sehingga aku belum bisa menggantikan posisinya." Aku bermonolog dan tak terasa air mataku sudah mengalir.

Paginya aku lebih dulu bangun, aku bersiap ke majid namun Atun masih tertidur, aku bergegas pergi dan meninggalkan Atun yang masih tidur nyeyak.

Saat pulang dari shalat subuh di masjid, kulihat Atun masih tertidur. Aku menjadi khawatir biasanya dia akan bangun jam 03.30 untuk shalat tahajud dan di lanjutkan shalat subuh ke masjid, tapi kali ini dia tidak seperti biasanya.

"Atun bangun, udah lewat subuhnya lho" kutepuk pipinya mencoba membangunkan Atun yang masih tertidur, dan ternyata badan Atun demam.

"Ya Allah Atun, kamu demam." Kupegang keningnya untuk memastikan kalau dia benar-benar demam.

Kutepuk pipinya berusaha membangunkan dia, Atun berusaha membuka mata dan menyipitkan matanya.

"Atun, kamu sholat dulu, setelah itu ku antar ke dokter kamu demam." Dia hanya mengangguk dan berusaha bangun dari tidurnya, baru selangkah dia roboh dan pingsan, ya Allah aku menyesal telah memaksa nafsuku semalam, dan membuat dia sakit.

Saat ku gendong tubuhnya aku merasa ada yang basah di bagian pantat Atun, aku kira dia ngompol, tapi ternyata darah, darah segar mulai membasahi celana Atun.

***

Dengan panik aku membawa Atun ke RS. Aku mengabari bapak dan ibu melalui telp, aku masih panik di luar IGD menyelesaikan administrasi pendaftaran opname Atun.

"Suami ibu Maulida??" Seorang dokter perempuan menghampiriku yang baru saja selesai menulis data diri Atun.

"Iya dok,  saya suaminya."

"Begini pak, istri bapak mengalami pendarahan yang cukup banyak dan saya mohon maaf tidak bisa menyelamatkan bayi dalam kandungan istri bapak". Entah kenapa aku begitu susah mencerna kata-kata dokter perempuan tadi. Kata-kata tadi seperti pedang yang menusuk jantungku berkali-kali, bayi... tidak selamat....

Dokter tadi hanya menatapku heran yang bengong, dan membeku.

"Bapak tidak tau kalau istrinya hamil?" Aku hanya menggeleng seperti orang bodoh, aku benar benar seperti orang bodoh, dan kebodohanku berakibat aku kehilangan calon anakku.

Bersambung....


Maaf kalau banyak yang kecewa dengan bayi Lida yang kegugura ...

Bagaimana kelanjutan rumah tangga Arman & Lida .... Tunggu kelanjtannya ya...

Jangan lupa Vote ya Gyuuuusss

KAKAKU = ISTRIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang