Sudah dimulai dari kapan juga Bia tidak tahu. Yang jelas gadis itu sudah lelah mencuci piring dan peralatan masak lainnya. Tidak tahu bagaimana ceritanya yang gadis itu lihat semua barang-barang yang kotor merupakan barang yang amat sangat jarang digunakan. Aktifitas apa yang dilakukan Mamanya pun tidak diketahui.
Hingga jemari tangannya sudah mulai mengerut karena terkena air terlalu lama pun belum selesai perihal nyuci piringnya. Tidak lama kemudian telinganya menangkap ada keramaian didepan seperti ada tamu. Mendengar suara Tesya yang ikut bergabung berbincang itu mampu memberikan sedikit rasa lega karena tidak perlu keluar dengan kondisi baju yang sudah basah bercampur dengan sabun cuci piring.
Tidak lama kemudian ada bunyi suara pecahan beling. Hingga Mamanya mendekatinya memberikan pecahan yang Biasa tahu itu adalah vas bunga dipojok ruang tamu, vas kesayangan almarhumah ibundanya. Tatapan Bia berubah sendu. Apalagi mendengar nada perintah dari Ibu tirinya untuk segera membuang serpihan vas itu.
"Kenapa bisa pecah, Ma?" tanya Bia yang masih gemetaran. "Nggak sengaja dijatuhin teman Mama tadi, udahlah buang aja vas bunga kuno, jelek, dekil gitu masih aja disimpan dirumah. Diloakkan juga malah lebih untung dapat uang buat beli-beli barang yang lebih bagus," balas Tesya dengan sinis. Kemudian berlalu menuju ruang tamu lagi menemani ibu-ibu sosialita.
"Aduh, maaf ya jeng Tesya, saya nggak sengaja tadi. Nanti sebisa saya carikan yang sama persis untuk menggantikan vas yang tidak sengaja saya pecahkan," sambut salah satu teman Tesya dan menyesali kecerobohannya. Sungguh tadinya hanya berniat melihat-lihat saja karena vas bunganya terkesan unik. Namun pandangannya teralih pada miniatur kursi roda dibelakang vas bungan itu membuat ibu-ibu itu ingin memindahkan miniatur malah tidak sengaja menyenggol vas bunganya. Sempat ingin menangkap namun terpeleset dari tangannya kemudian hancur dilantai.
Tesya tersenyum manis menanggapi. "Tidak apa-apa, lagian vas bunganya juga sudah jelek mau saya singkirkan tapi ada aja yang bikin saya lupa."
"Ayo dimakan sedikit makanan yang tidak seberapa ini." Alih Tesya sembari membantu menuangkan cairan berwarna merah muda kedalam gelas. Jambu yang Tesya dapat dari pekarangan rumah yang kebetulan lagi berbuah banyak.
Hingga larut dalam percakapan yang lumayan lama membicarakan tentang anak-anak mereka, sedikit pamer kekayaan, serta membicarakan keburukan Bia anak tirinya sendiri. Ibu-ibu sosialita itu juga tidak suka dengan anak tirinya yang bisanya cuma merepotkan dan membuat malu keluarga.
Dan semua keburukan itu didengar langsung oleh Bia karena volume suara yang mereka keluarkan bahkan sampai bisa kedengeran dijalan depan rumahnya. Mungkin saja jika tetangganya teliti mungkin mereka juga akan mendengar semuanya.
"Bersihkan semuanya, jangan sampai ada kotoran yang tersisa. Nyucinya yang bener jangan asal-asalan yang penting selesai." Bia terdiam. Kerjaannya bertambah banyak. Mendengar gertakan dari Mamanya tidak berani untuk menolak ataupun menunda pekerjaan itu. Bisa jadi malapetaka bagi dirinya jika ketidaksanggupannya tersampaikan.
Gadis itu mengangguk lemah lalu kembali pada pekerjaannya. Padahal cuciannya pada peralatan masak baru saja mau selesai. Dan kini ditambah lagi setumpuk piring dan gelas. Entahlah mungkin nanti ada tambahan lagi karena teman-teman Mamanya belum mau beranjak dari rumahnya.
Jujur gadis itu juga sudah mulai lelah. Dengan geraknya yang terbatas juga tidak mampu mempercepat pekerjaannya. Apalagi lantainya licin. Belum lagi nanti akan mengepel dan berlanjut mengerjakan tugas adik tirinya.
Berat memang Bia rasakan. Namun dibalik itu semua gadis itu percaya bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang disekelilingnya mempunyai maksud tersendiri yang tentunya terbaik untuk Bia.
***
Dengan terpaksa Bia mau-mau saja diantarkan balik kerumahnya dengan bantuan dorongan dari Adit, mantan pacarnya Disti. Dari cerita yang disampaikan lelaki itu, dia diusir dari mobil temannya usai mengerjai temannya dan berakhir turun di jalanan.
Meski sudah menolak puluhan kali, dan masih tidak percaya dengan kebaikan yang lelaki itu berikan karena terlepas dari itu menurut pandangannya lelaki itu kurang baik untuk Disti dan mungkin saja untuk para wanita lain karena sikap kurang ajarnya yang pernah ia pergoki.
"Terimakasih, maaf sudah merepotkan." Terlepas dari sikap kurang ajarnya dulu, tentu Bia masih punya rasa tidak enak hati dan harus menghargai usaha seseorang untuk menjadi lebih baik lagi. Mungkin kebaikan tadi ialah kebaikan lelaki itu yang sedang ditunjukkan untuknya supaya dirinya tahu bahwa lelaki itu sudah berubah menjadi lebih baik. Siapa tahu kan? Dan sampai saat ini Bia juga hanya menebak tanpa mau menanyai lebih lanjut dan gadis itu juga tidak mempunyai hak untuk bertanya-tanya lebih jauh. Karena pertemuan pertamanya juga terkesan buruk.
Adit mengangguk pelan lalu menepuk pundak Bia dengan pelan tanda perpisahan. Lelaki itu pamit pulang dan berencana naik angkutan umum di halte jalan raya.
Ternyata semua seperti sudah terencana dengan sempurna. Buktinya Bia datang disambut jambakan kuat di rambutnya. Apalagi kalau bukan kesalahpahaman Adit bisa mengantarkan dirinya pulang? Mau menjelaskan juga hasilnya percuma tidak mendapat sedikit kepercayaan sedikitpun. Hadirnya dirumah itu seolah hanya makhluk tak kasat mata.
Dan memang benar apa yang dilakukan Tesya padanya. Mungkin saja jika Mama Reva melihat pacarnya putrinya juga akan berperilaku yang sama . Semua yang terjadi kan berlandaskan alasan dan kenyataan yang ada.
"Ampun, Ma," pinta Bia dengan sungguh-sungguh. Rasanya sungguh luar biasa seperti sebentar lagi rambutnya akan rontok begitu saja.
"Gausah dikasihani, Ma, orang nggak tahu diri emang harus dihajar biar kapok. Kalau nggak dikerasin nanti juga malah bakal ngelunjak. Gini aja udah aneh-aneh tingkahnya, turunan nyokapnya palingan."
Disti bersedekap dada. Pemandangan yang menggelikan baginya. Ternyata dirinya tidak perlu repot-repot untuk turun tangan langsung. Mamanya juga berpihak padanya dan akan selalu seperti itu selamanya."Disti, jangan ngasal ya kamu bicara gitu tentang Mamaku," sela Baik dengan cepat. Namun naasnya jambakan dari Tesya semakin kuat.
Geraman Tesya begitu mengerikan untuk dibantah lagi. Wanita itu seolah sedang menangkap mangsanya dan berniat akan menghabisi tanpa ampun. "Reva itu sebenarnya orangnya juga sama nggak tahu diri kayak kamu sekarang. Dia aslinya lebih kejam dan jahat kalau kamu mau tahu. Sikap baiknya yang kamu terima juga hanya pura-pura saja didepan Papa kamu."
Inilah yang Bia benci. Segala omong kosong Tesya yang terus akan terdengar jika gadis itu melakukan kesalahan. Entah masalah apa yang ada diantara mereka hingga kini Tesya seperti benci sekali dengan Ibu kandungannya. Tetapi jika berada didepan Ravi tentu saja wanita tua itu akan menyanyangi dan tidak sedikit memuji Ibunya.
_1006_
Find me on instagram @ryarlsy
Sampai jumpa di chapter depan!!
Bye-bye 👋
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
Phi Hư CấuLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...