Chapter 44

397 31 0
                                    

Semua serba dadakan karena menyesuaikan waktu senggang orang tuanya Fahri. Bekerja tak mengenal waktu itulah yang membuat orang tuanya Fahri menjadi sibuk meski dihari libur. Hanya ada beberapa macam buah-buahan yang dibawakan oleh orang tuanya Fahri beserta satu pasang cincin. Yang nantinya akan dipakai oleh Fahri dan Bia sebagai tanda jika mereka sudah bertunangan.

Tidak ada raut bahagia yang Bia pancarkan seolah ini hanyalah perjodohan paksaan yang masih terjadi dijaman yang canggih dengan teknologi. Acara ini juga hanya dihadiri kedua orang tua Bia serta Fahri dan tidak ditemani oleh jamuan makanan. Tentu saja Tesya tidak mau merepotkan dirinya untuk mengacak-acak dapur hanya untuk tamunya itu.

Tidak heran lagi bagi Bia. Semuanya berjalan dengan lancar dan orang tua Fahri bergegas pamit untuk menghadiri meeting di luar kota. Bersyukurlah Bia karena suasana canggung tidak berlangsung lama. Ravi dan Tesya juga menyusul untuk pergi dari ruang tamu itu. Tinggallah Bia dan Fahri saja. Tidak ada obrolan yang menghiasi. Gadis itu malah berharap Fahri juga ikut menyusul kedua orang tuanya untuk pulang dari rumahnya.

Pemikirannya sekarang lagi buntu tidak bisa memikirkan bagaimana kedepannya. Hasil dari perundingan tadi, gadis itu merasa dijual oleh ibu tirinya sendiri. Bahkan dengan gamblang meminta mahar dengan nilai yang lumayan fantastis untuk keadaan ekonominya yang sekarang.

Seratus juta bagi orang tua Fahri mungkin hanya segelintir daun saja terbukti dari gelagat orang tuanya yang sama sekali tidak keberatan dan malah mengusulkan untuk pestanya akan ditangani langsung oleh calon mertuanya sehingga keluarganya akan terima beres. Sungguh kisah diluar nalar untuk dirinya yang masih bau kencur.

"Maaf ya kak, kakak sama keluarga malah dianggurin kayak tadi."

Meski menentang Bia juga masih punya adab selayaknya menerima tamu. Hal yang disesalinya tak lain hanya karena tidak ada makanan yang dihidangkan. Air putih sebagai tanda basa-basi pun tidak ada yang dikeluarkan. Tadinya gadis itu sudah berniat dan beranjak dari ruang tamu namun dicegah oleh ibunya Fahri karena takut merepotkan. Sempat meminta pertolongan dengan Fahri justru malah lelaki itu ada pada pihak ibunya.

Rasa bersalah masih ada. Coba saja dirinya tadi tidak pergi ke rumah temannya yang satu komplek pasti gadis itu sudah masak beberapa menu masakan. Dipikirannya tadi ketika Bia akan pergi kerumah Shinta—temannya, Tesya yang sedang berada di dapur yang ia kira sedang memasak untuk keluarga Fahri tadi. Makanya gadis itu mau berkunjung ke rumah Shinta karena paksaannya.

"Nggak papa, jangan merasa bersalah kayak gitu. Bunda sama Ayah aja nggak keberatan, mereka maklum kok. Jangan berpikir yang macam-macam."

"Iya, tapi inget ya gue belum sepenuhnya menerima pertunangan ini."

"Oke bakal gue tunggu dititik lo cinta mati sama gue sampai bucin parah."

Bia berdesis dalam hati. Enak aja dirinya disumpahi seperti tadi. Kata bucin tidak ada dalam kamus hidupnya. Terlalu bergantung sama manusia juga tidak menutup rasa kecewa akan tidak ada.

Suara dering ponsel mengalihkan fokusnya pada lelaki yang kini menjadi tunangannya. Kemudian mengangkat dan, "Halo, selamat siang, bagaimana dokter Ogun?"

".... "

"Maaf dok, sepertinya keputusan saya masih sama, semuanya terlalu sia-sia."

".... "

"Baik, mungkin jawaban saya kedepannya juga masih sama dengan sekarang."

Fahri memandang gadisnya dengan tatapan sulit diartikan. Dirinya tahu pasti dokter Ogun kembali membujuk untuk mau melakukan terapi lagi.

***

"Mungkin sebaiknya anganmu tentang pernikahan dengan Bia harus kamu lupakan."

Fahri terkejut namun tak urung juga ingin memenuhi rasa penasarannya. "Kenapa? Apa karena Bia lumpuh tidak berjalan, Bun? Kan sebelumnya Bunda sama Ayah tidak masalah dengan keadaan Bia yang sekarang."

"Fahri, keluarga kita sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan. Kamu juga sudah paham bagaimana yang harus masuk dalam keluarga ini. Mereka bukan sembarangan orang, nak."

"Apa karena tidak ada jamuan waktu kemarin saat bertunangan?" Tepat, Bundanya mengangguk. Sedang Fahri menghela nafas dengan kasar.

"Bunda, sejujurnya Fahri juga merasa tersinggung, kita seperti tamu yang tidak diharapkan. Tapi kan, Bun, kita tidak tahu apa yang terjadi sampai mereka lalai dalam menjamu kita sebagai tamu."

"Meski begitu, first impression di mata Bunda tetap mereka tidak menjunjung nilai kesopanan." Fahri hanya mampu mengangguk lemah.

Bundanya tidak bersalah, yang dikatakan semuanya adalah kebenaran. Namun jika mundur hanya karena tidak dijamu dengan baik juga bukan solusi yang tepat. Manusia tempatnya salah dan khilaf. Apa saja bisa terjadi karena ulah manusia. Namun Tuhan sang Pencipta juga bisa memaafkan kalau hambanya benar-benar ingin bertaubat memperbaiki diri.

Fahri menoleh mendapat tepukan dari Bundanya. "Pikirkan baik-baik, keluarga kita tidak bisa menerima jika kesopanan tidak ada dalam diri siapapun yang akan bergabung dikeluarga kita." Kali ini Bunda menasehati kemudian pergi untuk melanjutkan laporan yang belum terselesaikan.

Fahri kembali merenung. Mencari jalan keluar yang tepat untuk keduanya. Hatinya tidak bisa dipermainkan seperti ini. Dengan menjalani pertunangan kemarin lelaki itu tidak bisa main-main untuk mempermainkan kedua keluarga. Alasan lelaki itu mau bertunangan dan berakhir di pernikahan juga tidak semata-mata karena Ravi—Papanya Bia menyuruh anak gadisnya untuk segera menikah dan berpindah tanggungjawab.

Pikirannya menjalar pada percakapan Bia dan dokter Ogun yang didengarnya semalam. Ia melupakan amanah dari dokter tersebut untuk membantu membujuk Bia untuk mau melanjutkan terapinya.

"Tidurlah, nanti malam bangun terus tahajud, minta sama yang Maha Kuasa supaya segala masalah bisa terselesaikan dengan mudah tanpa ada pertentangan."

Nasehat itu yang ditunggu sedari tadi. Ayahnya memang menjadi sosok yang luar biasa didalam hidupnya. Peran penting yang menjadi sosok yang dikagumi oleh dirinya. Hatinya menghangat mendengar support dari Ayah meski beliau tidak bisa selalu ada di kesehariannya.

"Baik, Yah. Terimakasih sudah menjadi sosok yang luar biasa bagi Fahri. Semoga Ayah selalu mendapatkan rahmat dan keberkahan dihidup Ayah. Kalau gitu Fahri pamit mau ke kamar."

~903~

Harusnya updatenya semalam, tapi karena ada satu dan lain hal updatenya jadinya aku tunda.

Sampai jumpa di chapter depan!

Segenggam Luka (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang