Malam ini Bia kembali memutar memorinya tentang mamanya yang sudah tenang di alam sana. Secarik kertas yang terbungkus rapi oleh figura menjadi objek utama yang Bia amati. Mama Reva, mama yang cantik nan ramah.
Dulu, saat dirinya belum kecelakaan dan mamanya masih setia berada disampingnya mamanya selalu mengajaknya berpetualang di rumah. Papanya sangat melarang Reva untuk bekerja dengan alasan hasil jerih payahnya Ravi mampu menghidupi keluarga.
Tempat tinggal mewah yang Bia dan keluarga tempati bukanlah rumah yang ia huni sekarang. Uangnya habis untuk berobat Bia dan harus pindah ke rumah yang lebih kecil dari rumahnya yang dulu.
"Ma, Bia kalau udah kuliah mau kuliah di luar negeri ya ma," ucap Bia yang masih berusia sepuluh tahun. Waktu itu Bia kecil masih duduk dibangku SD.
Reva tersenyum menanggapi, "amin." Wanita yang masih kelihatan muda itu selalu mengaminkan semua yang anaknya katakan. Tidak ada salahnya selama itu baik. Syukur-syukur jika mau berusaha dengan sungguh-sungguh malah menjadi nyata.
"Bia cita-citanya mau jadi apa?" tanya Reva. "Bia mau jadi dokter ma, biar bisa bantuin orang sakit jadi sembuh," jawabnya semangat.
Mendengar jawaban haru dari putrinya, Reva bangkit dari kasur dan menuju Bia yang sedang terduduk mengerjakan pr-nya. Dielusnya puncak kepala Bia dengan sayang.
Flashback off.
Puing-puing kenangan bersama mamanya masih tersimpan rapi di otaknya. Ingatannya tertuju ke masa kecilnya yang masih duduk di bangku SD kelas satu. Saat itu ia pertama kalinya punya sepeda. Karena papanya disibukkan dengan urusan kantor, jadilah Reva yang mengajarkan putri kesayangannya itu. Namun tak lama Bia kecil dapat mengayuh beberapa putaran, tentu saja ia senang. Sampai-sampai anak kecil menjerit senang dan bertepuk tangan. Bia melupakan bahwa dia masih berada di atas sepeda.
Suara sepeda terbentur dengan tanah yang diolesi semen sangat kentara. Reva yang kaget melihat anaknya yang terjatuh segera menghampirinya.
Karena tidak tahan dengan nyeri di lututnya, Bia kecil akhirnya menangis. Lututnya tidak berdarah namun terlihat ada beberapa goresan.
Dengan sigap Reva menggendong Bia menuju ke dalam rumah untuk membersihkan luka itu. Setelah mencuci luka dengan di iringi suara tangis Bia akhirnya Reva memberikan sedikit obat merah lalu di tutupi oleh plester.
"Kok masih nangis? Katanya mau jadi dokter, kok luka sedikit udah cengeng kayak gini," ucap Reva. Bia yang mendengarkan pun pelan-pelan mengusap air matanya. Benar yang dikatakan mamanya kalau mau jadi dokter ia harus kuat. Mau luka sebesar apapun itu dokter harus kuat. Memberi contoh kepada pasiennya.
Bia tersenyum mengingat kelembutan mamanya dalam menghadapinya. Ucapan yang keluar dari mulut mama Reva mampu membuat motivasi untuk Bia untuk menjadi cewek tangguh. Seperti sekarang, meski geraknya terbatas Bia harus tetap semangat menjalani hidup.
"Bia kangen mama, kangen masakan dan kebersamaan kita dulu. Disaat papa sibuk kerja, mama selalu ada untuk Bia. Bia sayang mama," batin Bia. Ia tak kuat untuk mengucapkannya bahkan hanya berbisik pun nggak sanggup. Ini terlalu berat untuk remaja seperti Bia.
Dengan mata yang sudah berat, Bia memutuskan untuk tertidur dan berharap bisa bertemu mamanya untuk mengobati rasa rindunya. Figura yang berisi foto Reva berada dalam dekapannya. Semoga bertemu Reva, walaupun dalam mimpi tapi itu sudah cukup untuk mengobati rasa rindunya.
Saat hampir terlelap dengan sempurna, pintu kamarnya terdengar seperti terbuka. Bia sengaja tak mau melihat siapa yang datang. Matanya sedikit berair, ia tidak mau keluarganya melihatnya dalam kondisi seperti ini terlebih lagi papanya.
Ravi tetap masuk ke dalam kamar putrinya. Sudah lama ia tidak menghabiskan waktu luangnya bersama putrinya itu. Dengan mengendap-endap akhirnya Ravi duduk di kasur yang Bia tempati.
Dielusnya rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. "Maafin papa yang akhir-akhir ini sering marah sama kamu ya, sayang. Papa tetap sayang Bia, walaupun papa punya mama Tesya, Disti dan Elvi tapi yang menempati hati papa masih kamu sayang," katanya yang diakhiri kecupan di dahi Bia.
Secara perlahan Ravi bangkit dari kasur, takut jika anaknya akan terbangun karenanya. Ia terhenti di ambang pintu. Rasa bersalah kembali menyelimuti. Sebagai seorang papa dirinya masih belum bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Dan sekarang malah hanya bisa tinggal di rumah yang sederhana ini.
Cklek
Pintu tertutup sempurna dan di barengi Bia membuka mata. Air bening kembali mengalir di pipinya. Mendengar penuturan Ravi membuat hatinya merasa senang. Artinya sampai sekarang dirinyalah yang tetap memegang posisi nomor satu di hati papa, semoga selamanya. "Bia juga sayang papa," ucapnya menjawab pengakuan Ravi tadi.***
Berkat doa dan dukungan dari murid Duranta High School dan usaha dari pemain basket akhirnya mereka mendapat juara satu tingkat provinsi. Suatu kebanggan di benak mereka dapat mengharumkan nama sekolahnya.
Dan sore ini untuk merayakan kemenangannya, Fahri mengajak Bia untuk berkeliling entah dimana nanti akan singgah. Keduanya sudah ada di mobil tengah bersiap untuk mengelilingi kota Jakarta.
"Udah siap belum?" tanya Fahri menginterupsi.
"Udah kak."
"Mau sekarang ke KUA-nya?" Alis Fahri naik sebelah untuk menggoda Bia.
"Enak aja, sekolah aja belum lulus," cibir Bia.
Fahri tersenyum senang dan semakin gencar untuk menggoda, "asik, boleh dong kalau udah lulus?"
"Tau deh." Bia mengedikkan bahunya sembari melihat ke luar jendela.
Tak mau menggodanya lebih lanjut, Fahri menjalankan mobilnya untuk berkeliling terlebih dahulu. Sudah setengah jam berkeliling tapi Bia maupun Fahri belum menemukan tempat singgah yang pas. Keduanya masih mencari-cari lokasi yang menurutnya sangat apik dan baru banyak orang yang mendatanginya.
Akhirnya tak lama Fahri melihat sebuah cafe yang berada di tengah-tengah taman. Di depannya masih terdapat beberapa karangan bunga yang mengucapkan selamat atas launching-nya cafe itu. Artinya cafe itu baru beberapa hari di buka.
Setelah memarkirkan mobil, Fahri turun mengitari mobilnya untuk mengambil kursi roda terlebih dahulu untuk gadis cantik yang bersamanya.
Setelah mengunci mobil Fahri segera bergerak mendorong kursi roda Bia untuk segera masuk ke dalam.
Interior desain dari cafe ini cukup cocok untuk kalangan anak muda. Dan di pojokan cafe telah disediakan beberapa spot foto. Untuk menikmati taman ini juga ada tempat duduk yang memang sengaja diletakkan di luar. Atas permintaan Bia, Keduanya berakhir memilih duduk di luar cafe.
Fahri masuk lagi ke dalam cafe untuk memesan beberapa makanan. Ia sengaja meninggalkan Bia duduk menikmati keindahan yang di suguhkan. Setelah pesanan siap ia kembali lagi menuju Bia yang sudah menunggunya sedari tadi.
"Selamat menikmati," ujarnya seperti pelayan yang melayani customer-nya.
"Apaan sih, udah cepetan makan jangan banyak ngomong."
"Udah laper ya, nggak sabar menikmati semua hidangan ini?"
"Ya mana cukup perut gue nampung semua makanan ini, lo sih mesennya gak kira-kira. Kita cuma berdua bukan sekampung," semprotnya. Fahri terkikik mendengar respon Bia. Padahal yang ia pesan tidaklah banyak, namun meja yang di tempati dua orang hanya penuh makanan.
#Ditulis 1075 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
Non-FictionLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...