Halo,
Mungkin dari kalian ada yang kaget dapat notifikasi tapi judulnya berubah. Maaf sebelumnya, judul yang sebelumnya kurang bagus dan baru nemuin lagi judul yang pas yaitu 'segenggam luka'.
Isi cerita masih tetap sama cuma judulnya aja yang ganti.
Taburan bintangnya jangan lupa!
And happy reading guys!---
"Bia!" Fahri berdiri dengan napas memburu. Segelas sirup yang baru saja akan diminum ia biarkan tumpah begitu saja saking kagetnya.
Rasa lega karena Bia tiba dirumah tergantikan oleh rasa kecewa. Harusnya kalau seperti ini lelaki itu tidak perlu khawatir karena Bia sedang bersama cowok lain. Pantas saja tadi telfonnya tiba-tiba mati dengan sendirinya dan berujung tidak aktif.
Sorot mata yang Fahri berikan tentu rasa kecewa yang berat. Saat Bia mendekat pun Fahri masih tetap berada ditempatnya berdiri. Semuanya tidak baik-baik saja bagi Fahri. Lelaki itu sangat terluka.
"Kok kak Fahri disini? Bukannya pertandingannya sampai sore ya, kak?"
"Bisa tinggalin kami berdua sebentar?!" Intruksi Fahri dengan nada bicara yang berbeda.
Begitu paham, Adit segera beranjak pamit pulang, dan Disti juga masuk kedalam rumah dan pintu dibiarkan terbuka.
"Kenapa kak, kok jadi aneh gini?" tanya Bia sekali lagi ketika tinggal dirinya dan Fahri.
"Mungkin kita sudah tidak bisa bersama lagi, maaf waktu itu gue lancang mau tunangan sama lo tanpa ngomong dulu. Sepertinya sekarang gue udah yakin, baiknya memang kita jalan masing-masing."
Otaknya Bia tiba-tiba merespon dengan lambat. Sekaligus bingung dengan ucapan Fahri yang terlalu tiba-tiba seperti ini. Bia berkata lirih, "kak Fahri kenapa?"
"Maaf, gue minta pertunangan kita selesai sampai disini. Gue pamit."
"Kak!" pekik Bia begitu menyadari Fahri mulai beranjak dari hadapannya. Namun juga tidak membuat Fahri menghentikan langkahnya.
Sampai Fahri kedalam mobilnya dan pergi meninggalkan rumahnya, dari situ air mata Bia mulai jatuh. Gadis itu bingung ada apa dengan dirinya. Kenapa suasana hatinya menjadi sedih seperti itu. Padahal ini yang diinginkan tidak terikat pertunangan dengan siapapun di usia yang sekarang. Gadis itu merasa terlalu dini untuk menjalani pertunangan dan berlanjut duduk di pelaminan.
Sekarang dadanya baru terasa sesak dan ingin berteriak menghentikan Fahri yang sudah melajukan mobilnya jauh. Salah apa dirinya hingga mampu diputuskan seperti ini. Tidak mungkin karena pulang bersama Adit kan. Bia tahu tipikal seperti apa seorang Fahri itu. Tapi kenapa jalan hidupnya berjalan tidak semulus yang orang lain jalani.
Bia menepuk kakinya dengan kuat. Ujaran kebencian yang dilayangkan pada kedua kakinya tidak ada tanda-tanda untuk berhenti. Gadis itu terlanjur kecewa dengan keadaannya yang tidak bisa mencegah Fahri pergi tanpa adanya penjelasan terlebih dahulu.
Sudah dipastikan besok disekolah juga Fahri tidak mau menemui dirinya meski sudah berusaha semaksimal mungkin. Raut wajahnya tadi mengungkapkan kesedihan yang Bia pun tidak tahu kesedihan apa yang tengah Fahri hadapi.
"Kenapa lo gak fungsi disaat seperti ini?!" raung Bia dengan keras diiringi pukulan kuat dikedua kakinya. Tidak peduli dengan beberapa tetangganya yang kebetulan lewat.
Rasa sakit ini sama seperti saat gadis itu kehilangan Mama kandungnya, Reva. Tapi kenapa harus terjadi bersama Fahri. Kenapa dengan lelaki itu. Gadis itu tersenyum pedih. Takdirnya sangat mengenaskan untuk saat ini.
Masih sesegukan menerima kenyataan, dirinya sudah dihadapkan lagi pada adik tirinya.
"Ini yang gue tunggu-tunggu dari kemarin. Harusnya dari awal lo nolak, dari segi fisik aja lo gak mampu ngimbangin."
***
Plak!
Suara tamparan terdengar jelas digendang telinga Bia. Gadis itu juga merasa kesakitan di pipinya. Untuk kesekian kalinya perempuan tidak berdaya diperlakukan tidak baik oleh ibu tirinya.
"Bukannya bersyukur ada orang yang mau nikahin, kamu malah macem-macem kayak gini! Harusnya kamu baik-baikin dia biar bisa kecipratan duitnya. Dikira hidup sekarang nggak butuh biaya mahal!" bentakan Tesya menimbulkan air mata jatuh di pipi Bia.
Sudah tidak terhitung jari lagi ia menangis dihadapan Mamanya. Pertahanan yang ia buat ternyata tidak cukup kuat untuk menghadapi tingkah Mamanya. Semakin kesini siksaan yang Tesya berikan sangat berat dari yang biasanya.
Gadis itu tahu, ini hanya efek dari emosinya Tesya yang tidak terkontrol. Bia tahu Tesya itu sebenarnya sayang terhadap dirinya. Namun hanya kasih sayang yang diberikan cukup berbeda. Benar, kehidupan sekarang lebih keras dari jaman sebelum mengenal teknologi. Hal itu cukup jelas dirasakan banyak orang diluaran sana.
"Mau dapat duit tambahan dari mana sekarang kalau kamu udah diputusin." Tatapan Tesya berubah dingin. Saat inilah Bia harus siap siaga. Tesya bukan wanita sembarangan.
Bunyi benturan cukup keras membuat Bia bernafas lega. Setidaknya lemparan gelas tadi tidak mengenai tubuhnya. Ya, Tesya sudah mulai melemparkan barang-barang kearah pintu kamar mandi. Peristiwa ini terjadi sudah belasan kali.
Dulu, Bia sempat terkena lemparan sendok dan memberikan bekas memar di dahinya. Untungnya bukan barang-barang yang mudah pecah dan terbuat dari kaca. Disaat seperti ini Tesya mulai melancarkan aksinya guna meredakan emosinya. Itu yang Bia tangkap selama melihat Tesya bertindak diluar batas.
Prang!
Sekarang giliran panci yang tergeletak di lantai dapur. Wanita itu tidak akan berhenti jika tatapannya belum melembut atau belum ada perubahan di emosinya. Semakin dicegah justru wanita itu akan bertindak lebih dan sesukanya. Hal itu juga pernah Bia rasakan dulu ketika mendapati Papanya pulang bersama rekan kantornya dan pergi lagi untuk mengantarkannya. Bia yang saat itu tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi mencoba menghentikan namun berakhir terbentur tembok setelah berhasil jatuh dari kursi rodanya akibat dorongan kuat dari Tesya. Sejak saat itu, Bia sekarang hanya mampu melihat tanpa mau melakukan apa-apa dan berdo'a supaya Tesya bisa segera menghentikan aksi gilanya.-830-
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
NonfiksiLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...