"Bia ayo makan belajarnya di lanjut nanti," kata Ravi yang berada di ambang pintu Bia. Gadis itu jarang menutup pintu kamarnya kecuali lagi tidur. Terkadang kalau lupa pun pintunya masih kebuka walau penghuninya sudah terlelap.
Bia menoleh pada pintu yang terdapat papanya, "iya pa."
Setelah meletakkan polpennya Bia mendekat ke arah papanya. Dengan sigap Ravi segera mengambil alih kursi roda Bia.
Di meja makan sudah terkumpul semua anggota keluarga. Semuanya fokus pada makanannya masing-masing. Berhubung tadi papanya berpesan ketika udah selesai makan jangan pergi dulu jadi Bia hanya menunggu yang lain selesai makan.
Tak lama makanan dalam piring papanya pun habis dan memulai untuk bicara. Setelah meneguk beberapa kali air putih pandangan papa berubah menjadi serius.
"Papa ada berita gembira bagi kita semua, delapan bulan lagi kita akan punya keluarga baru, mama kalian sekarang sedang mengandung," ucap Ravi seraya mengusap rambut istrinya.
Tesya tersenyum senang dengan adanya kehidupan di perutnya itu. Setelah sekian lama wanita itu menunggu kehadiran anggota baru di keluarganya akhirnya sebentar lagi akan terwujud. Dengan adanya calon buah hati ia akan lebih mudah untuk menyingkirkan Bia dari suaminya.
Mata Elvi berbinar senang, "Elvi bakal punya adik ma?"
"Iya dong, seperti yang Elvi mau." Elvi bertepuk tangan kesenangan lalu menghampiri mamanya untuk segera di peluk. Tangannya pun meraba perut mamanya yang ada calon adiknya.
Bia tersenyum haru, keinginannya untuk memiliki adik baru terkabul sekarang. Dulu saat ia masih SMP selalu bilang ke mama Reva jika pengen ada anggota baru di keluarga. Namun sayang, mamanya sudah keburu pergi dipanggil sang Pencipta.
"Ma, pa nanti Disti ya yang kasih nama dede-nya," celetuk Disti.
Ravi mengabaikan pertanyaan Disti dan beralih bertanya ke Bia terlebih dahulu. "Bia, kamu mau kasih nama buat calon adik kamu?" Bia mengangguk mengiyakan.
Ravi termasuk dalam kategori papa yang sangat mengerti apa yang anaknya inginkan. Dulu ia juga sempat di ceritain Reva perihal Bia yang ingin mempunyai adik. Jadi sekarang mumpung akan punya adik Ravi mempersilakan Bia untuk memberikan nama nanti.
"Disti maaf ya, tapi papa mau kakak kamu yang memberi nama nanti," Ravi mencoba menjelaskan. Disti tersenyum lesu. Lagi-lagi kakaknya itu merusak sesuatu yang ia inginkan.
Tesya tersenyum sinis mendengar penuturan dari suaminya. Ternyata masih sama seperti dulu selalu memprioritaskan anak kandungnya. Suaminya itu susah untuk adil kepada Disti dan Elvi ketika ada Bia. Semua gara-gara gadis yang tidak bisa berbuat apa-apa itu. Gadis menyusahkan dan menghancurkan kebahagiaan orang lain.
***
Hasil dari perundingan semalam untuk merayakan adanya calon anggota baru dalam keluarga hari ini akan pergi berlibur. Nanti Bia dan keluarganya akan pergi ke pantai atas usulan Disti dan Elvi.
Bia tengah bersiap-siap untuk berangkat ke pantai. Dirinya baru selesai mandi dan sekarang baru menyisir rambutnya. Topi yang akan ia pakai nanti sudah tersedia di atas kasurnya. Tapi ia harus menunggu papanya dulu. Karena Ravi masih di kantor untuk mengantarkan berkas penting yang akan di revisi pegaiwainya.
"Bia, mama minta tolong ya," kata Tesya yang sudah masuk kamarnya.
"Minta tolong apa ma?"
"Tolong belikan susu hamil buat mama, pagi ini rasanya mau muntah terus," ujar Tesya yang di iringi seolah-olah perutnya bergejolak dan ingin memuntahkan sesuatu.
Bia menatap mamanya dengan cemas takut jika terjadi sesuatu. "Nanti ya ma sekalian pergi ke pantai," negonya. Karena jika sekarang ia pergi takutnya semua orang menunggunya lama karena harus ke minimarket dulu.
"Mama udah nggak kuat lagi Bia, papa juga masih lama katanya di kantor, ini uangnya." Tesya segera berlari keluar saat uangnya sudah Bia terima. Perutnya kembali bergejolak dan harus segera ke wastafel.
Selesai menyisir rambutnya gadis itu segera bersiap untuk pergi ke minimarket. Seperti biasa ia hanya menggunakan kursi rodanya untuk sampai di minimarket.
Setelah sampai di mana susu hamil di letakkan gadis itu segera mengambil ponselnya untuk mencocokkan susu yang mama Tesya inginkan. Bia segera menuju kasir untuk melakukan pembayaran karena susu hamil sudah ia dapatkan.
Tepat sekali saat ia menyodorkan satu kotak susu ada dua ibu-ibu yang mengantri di belakangnya.
"Ih, masih kecil kok udah beli susu hamil ya, jangan-jangan hamil di luar nikah ya, jeng." Bia mendengar celotehan yang masuk di telinganya. Karena penasaran siapa yang diomongkan ibu-ibu di belakangnya, Bia mencari seseorang yang memang sedang membawa susu hamil. Namun nihil ia tak berhasil menemukan.
Beberapa detik ia baru tersadar. Disini ia di tugaskan untuk membeli susu hamil untuk mamanya. Jadi yang diomongkan ibu-ibu tadi adalah dirinya. Tak mau mendengar omongan pedas lebih lanjut, ia segera memberikan selembar uang ratusan ribu dan berlanjut keluar dari minimarket itu.
Di tempat lain tepat di rumahnya Bia sendiri semua keluarganya tengah berkumpul di ruang tamu untuk mengecek barang-barang yang akan di bawa. Merasa ada yang kurang Ravi menanyakan keberadaan Bia yang tidak ikut kumpul disini.
"Bia kemana ma, masih siap-siap?" Ravi masih celingak-celinguk mengecek keberadaan anak kandungnya itu.
"Bia pergi pa katanya ada kerja kelompok dadakan, tadi mau ngomong papa langsung tapi sudah di jemput temannya," kelakar Tesya memperjelas. Padahal itu tidak benar sama sekali.
Bia sengaja ia suruh untuk pergi ke minimarket supaya batal ikut liburan ke pantai dengannya. Semuanya karena gadis itu semalam membuat Disti kesal karena di tolak papanya untuk memberi nama calon adiknya nanti. Dan saat Tesya merasa mual tadi hanyalah mual buatan.
"Loh, yasudah ayo berangkat biar bisa lebih lama di pantainya," intruksi Ravi. Semuanya masuk mobil dan Ravi segera menjalankan mobilnya menuju pantai yang diinginkan Disti.
Bia sampai rumah dalam keadaan tertutup. Padahal tadi pas berangkat pintunya terbuka lebar. Setelah berhasil membuka pintu Bia masuk dan segera mencari mamanya.
"Ma, ini susunya, mama dimana?" Tidak ada sahutan. Jendela yang biasanya Bia tempati pun sudah tertutup rapat.
Tak lama ia mendapatkan pesan dari seseorang.
Mama : Kamu jaga rumah, kami sudah berangkat.
Ekspresi wajah Bia mendadak lesu. Dirinya ditinggal liburan, apakah mamanya tadi lupa jika dirinya diperintah untuk membeli susu hamil dulu. Masih tak terima dengan dirinya yang ditinggal pergi Bia segera menelfon mamanya. Sudah beberapa kali ia mencoba memanggil namun tidak ada satupun yang berhasil diangkat. Beralih menelfon Ravi tapi ponselnya tidak aktif.
Sekarang dirinya hanya bisa menerima nasibnya yang malang ini. Mau tak mau ia harus menerima apa yang terjadi. Mau protes pun bingung harus protes ke siapa.
#Ditulis 1020 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
Non-FictionLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...