Chapter 3

1.2K 91 1
                                    

"Kemarin gimana ceritanya lo bisa diantar kak Fahri. Lo hutang cerita sama gue."

"Cuma dibantuin doang kok, nggak usah lebay gitu, nanti malah yang lain mikir yang nggak-nggak."

"Ya kalau enggak-enggak gimana?"

"Nggak ada, nggak ada apa-apa."

"Halah, pasti ada apa-apa ini, lo aja gak berhenti senyum dari tadi. Dikira orang gila sama temen-temen, ditendang lo dari kelas ini," canda Kana.

Dari kemarin, Bia tidak mau menjelaskan kronologinya secara rinci. Tiap kali ditanya jawabannya cuma membantu tidak lebih.

Lama-lama Kana jadi kesal sendiri. Kalau sahabatnya tidak mengancamnya, sekolah ini akan dihebohkan dengan kedekatan Bia dan Fahri kemarin. Tapi sayang disamping dirinya diancam, dirinya juga sudah berjanji untuk tidak menyebarkan berita itu.

Walaupun kemarin masih keadaan kegiatan belajar sudah dimulai tapi anak basket juga menyaksikan kejadian tersebut. Ya walaupun untuk sekedar tolong menolong itu biasa menurut Fahri tapi tidak untuk fansnya.

"Udah diam aja, nanti yang lain tahu kan bisa bahaya, hidup gue juga yang bakalan nggak tenang." Walaupun belum menemukan jawaban yang ia butuhkan tapi dirinya menurut saja. Fans di sekolahnya ini sangat bar-bar. Mereka akan membully siapa saja yang dekat dengan Fahri. Dari pada kena serangan dengan alasan tidak masuk akal, sebagian cewek-cewek memilih untuk menyukai diam-diam dan berharap suatu saat Fahri bisa membalas perasaannya.

"Oke ganti topik. Gue kemarin beli tanaman sukulen. Cantik banget, gue suka. Mau lihat? Gue ada fotonya." Bia menggeleng, Kana mengangguk paham.

"Kana pinjam rautan ya, punya gue ketinggalan." Teman kelasnya yang bangkunya tepat di sebelahnya yang terpotong oleh jalan menepuk pundaknya. Kana ngangguk mengiyakan. "Oke ambil sendiri."

Disisi lain, Fahri dan teman-teman se-club basketnya sedang beristirahat. Permainan dihentikan sebentar karena pelatihnya dipanggil oleh kepala sekolah.

"Ngapain kemarin sampai lo bela-belain rela diamuk demi bantuin cewek yang dikursi roda?" Tanya Evan yang merupakan sahabat karibnya.

"Dia butuh bantuan," jawab Fahri seadanya. Memang benar kemarin Bia sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan.

"Iya juga, gue mikir malah lo ada gimana-gimana gitu sama dia, tapi lo itu orangnya nggak tega-an, nggak jadi deh gue mikir yang enggak-enggak, kecuali kalau besok-besok lo nolongin dia lagi, baru gue mikirnya kemana-mana," kelakar Evan.

Fahri menanggapi dengan santai. Tidak perlu ada yang diperdebatkan karena nyatanya dirinya hanya menolong saja tidak lebih. Berbeda dengan Ega, cowok itu terlihat tidak paham dengan ungkapan Evan.

Melihat raut wajah Ega yang masih mencerna ucapannya, sebagai cowok yang baik hati dan rajin menabung, Evan kembali menjelaskan apa yang diutarakannya tadi. "Maksudnya gini, dengerin baik-baik nanti jangan tanya lagi, capek gue ngomong terus. Teman lo si Fahri nolongin cewek kemarin kali aja dia naksir, makanya nolongin,"

"Nggak mungkin," tukas Ega. Dirinya tahu betul bagaimana Fahri. Dia tidak mungkin suka sama cewek yang kemarin ditolongnya. Apalagi cewek itu hanya mampu duduk di kursi roda. Bahkan cewek-cewek yang sebelumnya pernah Fahri tolong lebih sempurna dari cewek kemarin.

Namun takdir akan bersanding dengan siapa tidak ada yang tahu. Bisa jadi malah Fahri akan bersama dengan gadis kemarin. Atau mungkin enggak. Semuanya tergantung sang pencipta.

Fahri tidak mau ikut campur, biarlah temannya berpikir macam-macam. Dirinya tidak peduli, toh jika ia menolong seseorang pasti orang lain yang melihatnya akan berpikir keduanya dekat. Padahal hanya sebatas tolong menolong, orang lain terlalu ikut campur. Dan itu membuat Fahri tak suka.

"Nggak usah dibahas nanti kedengeran sama yang lain urusannya jadi ribet," titah Fahri lalu menggiring kedua temannya masuk kelapangan karena pelatihnya sudah membunyikan peluit.

Permainan kembali dimulai. Saat permainan pun masih ada koreksi dari pelatihnya mengenai skill-nya.

Fahri fokus mendribble bola menuju ring. Hap- lemparan bola melesat jauh dari ring, dan menggelinding tepat di depan kursi roda Bia. Kana otomatis menghentikan laju kursi roda. Setelah bisa menetralisir keterkejutannya Kana membungkuk mengambil bola besar itu.

Lagi-lagi keterkejutan menghampirinya, Fahri datang untuk mengambil bolanya. Rambut yang beterbangan ketika diajak berlari membuat Kana memekik tertahan.

"Gak apa-apa kan?" Tanya Fahri setelah sampai dihadapan Bia dan Kana.

"Nggak kak," sahut Kana senang. Kana menyesal kenapa tadi bolanya tidak terkena kepalanya saja. Kalaupun pingsan pun tidak apa-apa. Pasti nanti akan digendong Fahri ala bridal style dan membuat Kana speechless.

Fahri beralih memandang Bia, "lo?"

Yang sebenarnya terkena bola ialah Bia. Tapi kakinya tidak merasakan apapun. Bahkan sekedar rasa nyeri pun tak dapat Bia rasakan.

Bia menggelengkan kepalanya sebagai bentuk jawaban. Tidak usah menjelaskan detail karena itu tidak perlu.

Kana menyerahkan bolanya sembari pamit. Gadis itu kembali mendorong kursi roda Bia. Menuju kantin tentunya, mumpung kelasnya mendapat jatah istirahat duluan. Kantin sepi membuat Bia mau keluar kelas.

"Makan yang banyak, lihat cogan juga  perlu tenaga," celoteh Kana. Bia tersenyum tipis. Dengan tingkah uniknya Kana mampu membuat Bia mampu merasakan dunia pertemanan yang indah.

Hidup tidak segalanya tentang materi. Terkadang dengan lelucon mampu membuat hidup seseorang berwarna. Semua tergantung keadaan. Dikelilingi orang-orang seperti Kana tapi tidak punya cukup materi juga membuatnya susah.

"Udah makan dulu, ngomong terus dari tadi."

Kana tertawa, apa yang dikatakan benar adanya. "Habisnya gue seneng bisa ngobrol sama kak Fahri tadi, apalagi lihat senyuman dia dari dekat, jantung gue Bia, rasanya kayak kesetrum."

"Lebay, nanti kalau kesetrum beneran gue sukurin," cibir Bia dengan gemas.

"Sadis banget lo Bia, nggak suka gue. Huh!"

Keduanya selesai makan bertepatan dengan bel istirahat berbunyi. Banyak siswa-siswi yang berdatangan untuk mengisi kekosongan perut mereka.

Bia mengajak Kana keluar dari kantin. Merasa diperhatikan oleh beberapa siswi membuatnya tidak nyaman.

Tepat di pintu keluar masuk kantin berpapasan dengan anak-anak basket. Mereka semua berjalan dengan Fahri yang mimpin di depan. Sebagai ketua basket tentu saja sangat disegani.

Kana masih mempertahankan senyumnya. Hari ini benar-benar beruntung. Sudah tidak terhitung lagi dirinya bertemu Fahri dalam jarak dekat. Dari mulai pagi sebelum masuk kelas sampai sekarang.

Bia bernapas lega kala sudah keluar dari kantin. Tempat ramai yang ia hindari. Bukannya apa-apa tapi lebih baik menghindar dari tempat ramai saja.

"Duh gue kebelet pipis Bia, udah nggak tahan," adu Kana. "Lo tunggu disini sebentar ya, udah nggak tahan," sambung Kana lalu berlari menuju toilet.

"Gue langsung ke kelas aja, Na!" Balas Bia sedikit menaikkan volume suaranya karena Kana sudah berlari menjauhinya.

Setelah mendapat acungan jempol dari Kana, Bia memulai menjalankan kursi rodanya.

"Manja banget jadi cewek, bisa sendiri tapi masih aja manfaatin temen sendiri, saran gue ya sadar diri aja lah."

"Iya bener, kalau gue jadi temennya juga ogah dorongin, buang-buang waktu."

"Tapi Kana bego atau gimana ya, mau aja dimanfaatin gitu."

"Paling juga diguna-guna. Udah yuk ke kantin aja, sakit mata gue lihat cewek manja itu."

Dua orang siswi melewati Bia tanpa merasakan simpati. Bahkan keduanya telah berbicara terang-terangan dihadapannya.

Dan dengan tangguhnya, Bia tidak merasakan sakit hati. Baginya itu sudah biasa. Berulang kali ia pikirkan ucapan seperti tadi adalah motivasi bagi dirinya. Mereka sebenarnya peduli dengan dirinya. Yang Bia tangkap dari omongan mereka itu supaya dirinya punya semangat untuk sembuh.

#Ditulis 1135 kata

Segenggam Luka (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang