Akhirnya Bia mendapatkan alamat rumah Fahri setelah berdebat panjang dengan Rama, salah satu teman Fahri. Itupun juga berhasil didapatkan berkat bujukan Kana juga. Untuk saat ini, Bia terbantu oleh Kana. Kalau saja mereka tidak dekat dirinya juga tidak akan mendapatkan alamat rumah Fahri.
Setelah berhari-hari tidak dapat menemui Fahri, Bia ingin langsung mengunjungi rumahnya. Ingin melihat keadaan lelaki setelah menerima keputusan tidak jelas dari Fahri.
Didepan rumah dengan pagar yang menjulang tinggi itu, Bia diam dengan kepukauannya. Ternyata lelaki yang sempat menjadi tunangannya itu tergolong dalam kaya raya. Dulu, Bia juga sempat menjadi orang yang beruntung seperti Fahri sebelum dirinya kecelakaan dan berakibat lumpuh seperti sekarang.
"Permisi!"
Tidak ada tanda-tanda terdapat orang didalam rumah besar ini. Teriakan yang Bia lontarkan juga sudah menjadi kesekian kalinya. Sepertinya usahanya kali ini tetap tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan."Mungkin lagi pergi keluar kota. Tapi nggak mungkin rumahnya dibiarkan kosong gitu aja. Apa penjaganya lagi sibuk ya?" gumam Bia dengan pandangan lurus.
Dengan spontan Bia memegang dadanya akibat terkejut oleh bunyi klakson. Rupanya sang pemilik rumah besar itu pulang.
Dan benar saja, tidak lama seorang wanita paruh baya keluar dari kursi sebelah sopir.
"Bia, nyari apa kamu?" Suara itu berasal dari wanita paruh baya yang Bia kenal sebagai Ibunya Fahri.
"Eh. Sore tante, maaf datang tiba-tiba seperti ini. Kalau boleh tahu, kak Fahri ada nggak ya?"
Bundanya Fahri tersenyum tipis. "Nggak ada. Dan kamu nggak bisa nemui anak saya lagi. Saya rasa keputusan yang Fahri berikan memang sudah tepat. Bagaimana dengan pacar baru kamu? Bahagia?"
Insting Bia tidak sepenuhnya tepat sasaran. Gadis itu seakan pasrah ketika mendengar pembicaraan dari Bunda Fahri. Namun yang masih perlu diluruskan, siapa yang menjadi pacar barunya Bia. Padahal kenyataannya Fahri lah yang pertama kali masuk dalam kungkungan hatinya. Tapi sekarang? Entahlah semuanya menjadi semakin rumit.
"Maksud tante... Adit?"
"Nah iya, Adit ya namanya. Nama yang bagus, semoga bahagia, anak saya nggak papa dia juga udah bahagia sekarang. Nggak perlu khawatir lagi. Lebih baik kamu yang pergi dari kehidupan kami kalau kamu memang mempunyai hati yang baik. Dan saya percaya itu."
"Tante?" panggil Bia. "Aku sama Adit nggak ada hubungan apa-apa. Tante sama kak Fahri salah paham."
"Lupakan! Lebih kamu pergi dari hadapan kami!" geram Bunda Fahri yang sudah menampilkan wajah garangnya. Sementara Ayahnya Fahri yang baru bergabung mengisyaratkan untuk memenuhi ucapan Bundanya Fahri barusan.
Dengan gamangnya perlahan Bia mulai meninggalkan sepasang suami-istri dengan perasaan campur aduk. Sedih ketika Bundanya bersikap berbeda dari yang sebelumnya terlihat ramah. Dan tersenyum kecut ketika mendapati Ayahnya Fahri yang sama sekali tidak mencegahnya sedikitpun.
Disaat seperti inilah kehidupan yang sebenarnya. Siapa yang mau menerima kondisi cacatnya itu. Semuanya memang akan menuntut anaknya untuk mencari pendamping yang sempurna.
Hari sudah mulai berganti dengan malam. Namun gadis tidak sempurna itu masih menyusuri jalanan untuk kembali ke rumah. Bukan tanpa alasan untuk tidak menaiki angkutan untuk kembali ke rumah. Tapi di saat seperti ini merenungi semua yang telah terjadi dengan ketenangan jauh lebih baik. Setidaknya dengan hari ini gadis itu bisa introspeksi untuk menghadapi masalah untuk esok hari.
Tidak peduli berjam-jam menahan kulitnya yang mulai kering akibat udara malam. Gadis itu masih setia dengan pikirannya. Dengan pasti kursi rodanya berjalan dengan tenang tanpa ingin terburu-buru. Hingga suara yang tiba-tiba menginterupsi mampu membuat Bia mau mengamati sekitar.
"Bia!"
Didapatinya Adit yang duduk menyila di salah satu pedagang kaki lima."Malam-malam gini masih pakai seragam abis dari mana?"
"Ada urusan sebentar."
"Dari jam pulang sekolah sampai sekarang waktunya bukan sebentar lagi. Urusan apa yang mengharuskan lo pulang jam segini, sendirian lagi. Nggak takut dijahatin preman jalanan."
"Lo benar juga. Yaudah gue pulang dulu ya. Takutnya semakin malam. Takut Papa juga nyariin." Bia tersenyum tipis lalu kembali melajukan kursi rodanya.
"Tunggu! Bareng gue aja! Bahaya lo malam-malam gini sendirian."
Tidak menolak juga tidak mengiyakan. Bia menjalani dengan apa adanya. Setelah keduanya siap menuju kerumah Bia, gadis itu membiarkan Adit mengambil alih kursi rodanya. Jujur tangannya juga sudah pegal mungkin malah mulai keram saking lamanya melajukan kursi rodanya sendiri.
Karena perjalanan masih jauh, Adit lebih memilih menyetop taksi dan melanjutkan perjalanan menggunakan taksi. Akan sangat berisiko kalau tetap membiarkan Bia kelamaan terkena angin malam. Cewek itu juga perlu istirahat yang cukup untuk mengembalikan staminanya.
"Bia!"
"Ya?"
Adit menggeleng pelan. Ragu akan omongan yang akan terlontarkan selanjutnya. Lelaki itu kembali menatap jalanan yang semakin ramai dipimpin anak muda.
"Kalau seandainya ada yang suka sama lo terus ngajakin lo pacaran, lo gimana?"
Gadis itu mengedikkan bahunya acuh. Kemudian berkata, "tergantung siapa orangnya."
"Kalau itu gue?" sahut Adit yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.
Selain kesempatan tidak selamanya datang dua kali. Menganggurkan kesempatan juga tidak baik, takutnya hal kecil seperti itu mendarah daging dan sulit dirubah.
"Ngelawak, Dit?"
"Serius."
-786-
Sstt sampai ketemu di chapter depan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
Não FicçãoLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...