Ravi mengelus perut Tesya dengan lembut. Disana ada kehidupan. Kehidupan bakal anaknya nanti. Elvi yang berada dipangkuan Ravi pun melakukan hal yang sama. Tapi anak kecil itu tak tahu maksud papanya. Karena bocah kecil itu baru saja bergabung.
Di belakang sofa yang suami istri duduki itu ada gadis berkursi roda yang tak sengaja melihat keharmonisan keluarganya. Tapi gadis itu tak terlalu menghiraukan keberadaan orang tuanya dan berlalu menuju dapur.
"Ma, aku pengen punya adik. Tadi disekolah teman aku pamer kalau punya adik bayi, katanya seru ma, dirumah dengar tangisan adiknya," pinta dan cerita Elvi seraya menyatukan kedua telapak tangannya. Ravi yang menyimak hanya tertawa pelan. Anaknya ini begitu polos.
"Elvi pengen banget, ya? Pengennya cewek apa cowok," sahut Ravi.
"Cowok pa, biar bisa jagain aku. Temanku yang lain pamer terus kalau punya saudara laki-laki itu menyenangkan. Katanya bisa jagain. Aku juga pengen dijagain kayak gitu, tapi kakak Elvi cewek semua," celotehnya.
Tesya tersenyum seraya mengelus rambutnya pelan. Anak kecil ini sungguh menggemaskan. Selain dari tubuh gempalnya celotehan polos membuat selera humornya receh.
"Kakak cewek Elvi juga bisa kok jagain kamu, meski kakak kamu nggak ada yang laki-laki, tapi buktinya kedua kakak kamu sayang sama Elvi," nasihat Ravi. Bocah kecil itu mengangguk mendengar penuturan dari papanya.
"Tapi kalau cewek gimana?" Tesya ikut menanggapi.
"Aku suruh aja jadi cowok," balasnya dengan ekspresi cengar-cengir. Semua temannya memamerkan kakak kakak jagoannya, dirinya ingin balas pamer tapi nggak punya kakak cowok. Giliran minta adik cowok malah mamanya menggodanya.
Disisi lain Bia telah kembali ke kamarnya setelah pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Sebotol air sudah berada di atas meja belajarnya. Kini ia kembali berkutat dengan setumpuk tugas yang menantinya untuk dijamah satu persatu.
Rasa-rasanya semangatnya bertambah untuk segera menyelesaikan tugasnya itu. Penantiannya untuk berkumpul dengan keluarganya sambil nonton tv ialah salah satunya. Melihat adiknya yang tertawa senang tadi membuatnya ingin bergabung. Namun sayang, tugas Disti belum tuntas ia kerjakan.
Bia menghentikan aktivitasnya berkutat dengan buku-buku di depannya. Kemudian tangannya terulur mengambil sebotol air untuk ia minum.
Drrt drrttt drrrtttt
Suara panggilan masuk dari ponsel Bia. Terpampang jelas nama Fahri yang memanggil. Tanpa menutup botolnya kembali ia segera mengangkat telfonnya itu."Halo kak," sapa Bia pertama kali.
"Lo udah makan?" Tanya orang di seberang telepon, tak lain ialah Fahri.
Bia mengangguk, "udah."
"Oh, kalau belum gue bawain nasi goreng, beneran udah makan?"
"Iya kak, ini aja masih kenyang," katanya dengan sungguh-sungguh
"Yaudah, gue matiin ya, selamat beristirahat."
Tut.
Panggilan berakhir."Aneh banget akhir-akhir ini nanyain udah makan apa belum, dikira gue makan kalau disuruh aja kali ya," gumamnya seraya meletakkan ponselnya dan kembali dengan tugasnya.
***
"Kakak!" Elvi berlari menghampiri Bia yang berada di dapur.
"Kak ayo siram bunga, bunganya di depan udah mulai layu, kasian kak, butuh makan dia," tuturnya.
Kebetulan Bia yang sekarang masih disibukkan dengan cucian piringnya yang menumpuk ia terpaksa menunda ajakan adiknya itu. Tadi mamanya sempat marah-marah karena ia melupakan kewajibannya untuk mencuci piring. Dan wanita itu mungkin sekarang sedang berada di kamarnya.
Bia tersenyum, "Elvi tunggu di depan tv ya, kakak selesain ini dulu," tolaknya halus. Elvi mengacungkan jempol setuju lalu meninggalkannya sendirian di dapur.
Selesai dengan cucian di dapur, Bia bersama Elvi menuju ke teras depan. Dengan semangat membara Elvi mengambil selang air yang sudah ia putar kerannya. Berhubung kerannya cuma ada satu, Bia hanya melihat adiknya tanpa membantunya.
Elvi berjalan menuju tanaman yang daunnya lebat. Dengan segala keisengannya ia sengaja mengarahkan selang airnya ke atas. Bia yang terkena cipratan air pun memundurkan kursi rodanya. Tak sampai sekali saja, namun Elvi melakukannya berkali kali. Teras rumah pun sudah dipenuhi air hasil cipratan dari selang.
"Elvi, baju kakak basah semua. Sini kamu udahan main airnya," bujuk Bia. "Nggak mau," balasnya yang masih berada dibalik tanaman berdaun lebat.
Secara perlahan Bia mendekati tanaman yang dibuat bersembunyi adiknya, "Elvi," panggilnya. Elvi berteriak kaget lalu tanpa sengaja mengarahkan selang airnya pas di depan wajah Bia. Dengan spontan Bia hanya bisa menghalau air dengan telapak tangannya. "Elvi, ini kakak." Mendengar suara kakaknya dengan segera bocah kecil itu mengarahkan selang airnya ke bawah.
Baju Bia sudah basah kuyup seperti orang habis kehujanan. Memang persis tapi kini ia terkena hujan buatan yang keluar dari selang. Mau marah pun tidak ada gunanya. Terpaksa nanti ia harus mandi lagi akibat ulah adiknya itu.
"Haha, enak ya kak, mau lagi nggak sekalian mandi," ejek Elvi.
Bia memegang kedua pipi gembul Elvi, "gemesin banget sih kamu, adiknya siapa sih?"
"Kak Bia lah," bangganya.
"Tapi kakak tadi udah mandi Vi, gara-gara kamu kakak harus mandi lagi," gerutu Bia yang ditanggapi tawa cekikikan dari Elvi. "Siapa suruh ngagetin aku," alibinya. Padahal bocah kecil itu tadi sengaja mengarahkan pada Bia. Dirinya juga tahu kalau pelan-pelan Bia menghampirinya.
Tesya yang baru saja keluar dari pintu menatap bingung lantai terasnya karena sudah dipenuhi air tetapi yang membingungkan sore ini tidak ada hujan turun. Namun pandangan wanita itu menangkap keberadaan Bia yang sudah basah kuyup seraya memegang selang. Amarahnya seketika memuncak. Anak tirinya kembali berulah.
"Bia, apa yang kamu lakukan. Kelakuanmu masih saja seperti anak kecil, cepat bereskan ini semua," sungut wanita yang Bia sebut sebagai mama. Tangannya memegang kepalanya yang hampir pecah melihat kekacauan di rumahnya.
"Elvi masuk," titah Tesya.
Kini tinggal Bia dan mama tirinya. Langkah panjang Tesya menghampiri Bia penuh nafsu. Tak peduli dengan kesakitan anaknya, jemarinya sudah mendarat indah di telinga gadis cantik di kursi roda.
Ringisan Bia sama sekali tak Tesya pedulikan. Ia malah semakin mengeratkan cubitannya di telinga Bia.
"Ma, ada apa ini?"
Tubuh Tesya menegang seketika. Suhu tubuhnya menjadi panas dingin. Namun ia bersyukur karena sangat pintar dalam hal menormalkan mimik wajahnya kembali seperti semula. Tangannya berganti mengelus halus rambut anak tirinya, "ini pa, Bia bajunya basah semua. Tadinya mama yang mau siram bunga disini tapi Bia kekeh kalau pengen nyiram bunga. Eh pas mama cek malah bajunya udah basah kayak gini," jelasnya.
"Oh, yasudah ayo masuk, Bia kamu cepet ganti baju, sekalian mandi ini udah sore."
Ravi masuk lalu dibuntuti istrinya. Bia hanya menatap mamanya nanar, wanita itu selalu menampakkan kasih sayangnya dengan memberinya pelajaran seperti tadi. Dan sampai sekarang kelembutan mamanya belum pernah ia rasakan.
#Ditulis 1118 kata
Selamat malam, jangan lupa taburkan bintang🌟
Sampai jumpa di part selanjutnya😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
Non-FictionLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...