Chapter 9

737 51 0
                                    

Sehabis dari perpustakaan Fahri dan Bia menyempatkan untuk ke kantin. Itu juga merupakan ajakan dari Fahri. Lelaki itu membeli air mineral tapi tidak untuk dirinya melainkan untuk Bia.

Sepanjang praktik yang dilakukan sebagian dari mereka semua yang berkumpul, Bia hanya melihat dengan menopang dagu. Mungkin benar yang dilakukan Fahri tadi membelikannya air karena sekarang tubuhnya terasa kurang sehat.

Kana yang sibuk dengan zat-zat yang dihadapannya juga tak mampu melihat Fahri dengan puas. Cewek itu mendapat giliran untuk praktik hari ini. Sedangkan Bia minggu depan. Dan otomatis minggu depan Fahri dan Bia akan berada satu ruangan dengan satu kelompok.

Menurut Fahri, cewek yang berada disampingnya lumayan lucu. Dengan menopang dagu membuat pipi gembul itu menyuruh dirinya untuk dimainkan. Seperti squisy.

Fahri tersenyum lebar kala telapak tangannya mengusap puncak kepala Bia. Senang rasanya bisa memberikan secuil perhatian. Berbeda dengan Bia, justru cewek itu mendongak meminta penjelasan. Tapi Fahri tak mau membicarakan apapun. Karena sekarang, tangannya sudah nyaman berada di puncak kepala cewek itu.

"Ngapain tangan lo diatas kepala gue, nanti pak Alam bisa marah kalau lo seenaknya kayak gini." sebal Bia. Sedari tadi Fahri sibuk sendiri dan yang paling parah Bia di ikut andilkan dalam kesibukan Fahri yang tidak bermutu.

"Diem, kalau lo berisik lo yang akan kena marah."

"Tapi tangan lo minggir dulu, berat tahu!"

"Fahri, kalau pacaran harus tahu tempat kamu. Ini waktunya pembelajaran bukan istirahat." Bia gelagapan tertangkap basah. "Iya pak, tadi kepentok rak di perpustakaan."

Kesalnya Bia semakin menjadi. Kepalanya baik-baik saja. Yang dikatakan Fahri hanyalah bualan. Yang Bia ketahui sekarang, cowok itu juga pandai berbohong.

Fahri meringis pelan. Lengannya memerah bekas cubitan Bia. Cewek itu masuk dalam kategori ganas. Selain sok tahu, Bia juga termasuk cewek yang nggak punya hati.

"Sukurin, makanya nggak usah bohong," ledek Bia.

"Sakit woi, gue aduin pak Alam dihukum lo."

"Nggak peduli."

"Pak Alam, Bia ngajakin saya bolos, pak." Adu Fahri seraya mengangkat tangan. Bia meraih tangan Fahri yang diangkat tinggi itu. Dengan susah payah Bia menghentikan aksi gila Fahri terhadapnya.

Bia tidak terima nama baiknya dicemarkan begitu saja. Namun pak Alam sudah mendengar celotehan Fahri yang jauh dari fakta. "Bia, apakah benar yang dikatakan Fahri barusan?"

"Kak Fahri! Lo gila?" Bia ingin menerkam Fahri begitu saja. Jika ini tidak dihadapan banyak orang sudah dipastikan muka lelaki itu akan berlumuran darah karena cabikannya.

"Iya gue gila karena lo." Fahri tertawa saat melihat Bia yang semakin melebarkan matanya geram. "Nggak pak, saya tadi cuma salah dengar. Bia tadi mengatakan saya bodoh karena tidak bisa menjawab teka teki yang dia buat." Sambung Fahri menjelaskan ke pak Alam. Guru itu mengangguk paham lalu berlanjut mengitari muridnya yang praktik.

"Kak Fahri, lepasin tangan lo dari kepala gue, ini berat banget kak. Taruh meja kan bisa."

"Nggak mau udah terlanjur nyaman."

"Berat kak."

"Gini aja, lo mau di suruh pergi kalau pada posisinya lo itu nyaman dengan seseorang. Apa lo bakal nurut dan nggak mau berjuang sedikitpun?"

"Kalau itu yang terbaik kenapa enggak?" Tantang Bia. "Baik buat lo, tapi nggak baik buat gue. Bagi gue, lo itu satu-satunya cewek yang harus gue pertahanin supaya tetap berada di sisi gue."

°°°

"Gue kesel sama kak Fahri, pengen gue lelepin di sungai biar mati sekalian. Dia itu salah satu manusia yang harus dimusnahkan di bumi."

Makian dan segala umpatan sudah Bia tahan sedari tadi. Fahri itu cowok yang nggak punya akhlak. Bisa-bisanya ngomong yang menjurus membuat para cewek-cewek baper. Untung saja tadi Bia  yang kena. Coba saja kalau Kana, bisa ambrol atap sekolah ini.

"Nggak baik ngomongin orang ganteng, nanti kalau tambah baik, rajin, ganteng, ramah, baik hati, nyesel lo ngomong kayak gitu."

"Lo itu nggak tahu apa yang diomongin kak Fahri ke gue. Makanya masih bisa ngebelain kak Fahri."

Harus dengan kalimat apa Bia mengutarakannya. Segala kalimat yang ia keluarkan tak mampu membuat Kana percaya. Dan sepanjang Bia mengomel tidak jelas, Kana dengan tidak tahu dirinya menjelaskan betapa baiknya seorang Fahri.

"Gimana gue bisa tahu kalau lo aja nggak mau cerita. Omongan lo itu dari tadi cuma muter-muter yang intinya lo kesel sama kak Fahri." Sekarang yang terlihat kesal malah Kana. Pikirannya diselimuti rasa penasaran. Karena cerita yang Bia bawa tidak kunjung membawa kejelasan.

"Tapi gue beneran kesel, lo lebih baik nggak usah lagi baper-baper sama dia. Nyesel kalau lo tahu dia yang sebenarnya."

"Nggak mungkin. Kurang perfect apalagi. Itu sudah mendekati kata sempurna. Ibaratnya sudah sembilan puluh sembilan koma sembilan sembilan."

"Gue jamin lo bakalan nyesel pernah bilang kak Fahri hampir sempurna."

"Gue yang akan membuat lo nangis berdarah-darah karena lo udah pernah maki-maki kak Fahri."

Adu mulut antara Bia dan Kana masih berlanjut. Mereka masih memegang teguh argumennya masing-masing. Keduanya tidak ada yang salah. Tapi keduanya tidak mampu menerima argumen lain.

Tidak ada salahnya mencoba menerima pendapat orang lain. Se-enggaknya bisa menampung dan nantinya akan mencari tahu kebenaran. Karena tak selamanya kebenaran berada dipihak kita sendiri. Semua punya takaran masing-masing.

--
#Ditulis 815 kata

Segenggam Luka (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang