Chapter 14

565 55 6
                                    

Bia masih menunggu angkutan umum. Hari semakin petang namun belum ada satupun angkutan yang lewat. Tadi ia kerja kelompok terlebih dahulu dan berakhir pulang petang seperti sekarang. Teman-temannya sudah pulang karena dijemput oleh supirnya ataupun keluarganya.

Kendaraan yang lewat hanyalah milik pribadi. Ia kebingungan. Apalagi anak-anak yang latihan basket sudah pulang sejak tadi.

Gadis itu tidak berani untuk kembali ke kelas hanya untuk men-charger ponselnya yang mati. Tadi saat sedang diskusi ia lupa untuk mengisi daya ponselnya itu.

"Gimana ini, udah mau malem. Mana sepi lagi nggak ada orang yang nunggu juga. Pak satpam juga kemana, nggak ada di posnya," gerutu Bia. Lampu di jalan raya sudah mulai menyala. Beberapa lampu koridor sekolah juga menyala terang. Berarti di sekolah ini bukan hanya ada dirinya. Seenggaknya ia tidak sendirian di gedung ini. Walaupun berjarak jauh karena ia berada di depan gerbang.

Di tempat lain, Ravi di rumah menunggu cemas anaknya. Walaupun ia sangat marah dengan kelakuan anaknya sebagai seorang ayah ia juga masih punya tanggung jawab.

"Udah pa, tenang dulu ini mama buatin teh." Kata Tesya dengan membawakan nampan yang atasnya ada segelas teh. Mau tak mau Ravi duduk di sofa dan meminum tehnya.

"Papa nggak bisa ma, Bia itu anak gadis, apalagi sekarang hanya bisa duduk di kursi roda."

"Mungkin pergi pa, ke tempat temannya. Di rumah terus kan bosan pa. Udah coba ditelfon?"

"Udah, tapi nggak aktif, papa semakin kesal dengan anak itu. Tingkahnya sekarang malah makin nggak jelas."

***

Fahri mengendarai motornya keluar dari sekolah. Namun dari jauh pandangannya jatuh pada seorang cewek dengan rambut yang digerai duduk di kursi. Lebih tepatnya seperti kursi roda. Ia merasa sedikit merinding apalagi ini waktunya hampir maghrib.

Fahri tetap menjalankan motornya mendekati cewek itu. Setelah berhasil turun dari motor ternyata cewek itu adalah Bia. Tadinya sempat kaget karena sebagian wajahnya tertutup rambut.

"Belum di jemput?"

Tapi pertanyaan yang Fahri lontarkan membuat Bia sedikit terkejut dan refleks memegang dadanya.

"Kak Fahri? Ya ampun, kaget gue. Jantung gue hampir copot rasanya. " Fahri tertawa menanggapi. Tak heran jika gadis itu kaget karena dirinya dari kejauhan melihat Bia juga sempat kaget. "Iya nggak ada yang jemput, hape gue dayanya abis. Boleh minjem nggak?" Katanya pada Fahri.

"Boleh. Lo mau charger ke dalem kelas sendirian?"

Bia mengerucutkan bibirnya kesal. "Ih, ya hape lo lah kak yang gue pinjem. Lo aja sana yang masuk kalau mau dengan senang hati ngisi daya hape gue."

"Kelamaan, gue anter aja ya."

"Nggak usah, pinjem hape lo aja kak biar sopir aja yang jemput."

"Gue telfon supir lo tapi lo disini nunggu sendirian mau? Nggak takut sama yang jaga disini?"

Fahri mengusap usap lengannya. Bia yang melihat pun menjadi ketakutan sendiri. Padahal yang Fahri lakukan hanya untuk sedikit menghangatkan tangannya yang terkena udara dingin petang ini.

"Gimana?"

Bia tertunduk lesu. Sedikit nyeri di dadanya. "Terus gimana gue bisa naik motor, gue aja nggak bisa jalan. Boro-boro jalan ngerasain kaki aja nggak bisa." Fahri yang mendengar menegang seketika. Ia teringat ucapan dokter Ogan. Ia tidak bisa, tidak bisa memikirkannya lebih jauh lagi. Kepalanya sudah cukup pusing.

"Eh, eh lo mau ngapain. Turunin gue." Pinta Bia dengan memeluk erat Fahri. Dirinya terkejut karena Fahri dengan seenaknya menggendongnya dan didudukkan di motor.

Fahri segera menaiki motornya dengan tangan sebelahnya yang masih memegang Bia supaya tidak jatuh. Kaki Bia sudah sempurna berada dipijakan motor yang sudah siap untuk diajak berpetualang.

Lelaki itu merogoh sakunya dan mengeluarkan benda persegi panjang dan menghubungi satpam di sekolah ini untuk menitipkan kursi roda.

Setelah selesai dengan urusannya, tangannya menuntun kedua tangan Bia untuk berpegangan pada tubuhnya. Kedua tangan Bia melingkar pada perutnya dengan kepala yang menyandar di bahunya. Dengan terpaksa Bia mau menurutinya, gadis itu juga tidak mau jatuh.

"Pegangan yang kenceng, jatuh gue nggak tanggung jawab ya." Peringat Fahri ketika pegangan Bia semakin melonggar.

Setelah sekian lama Bia tidak pernah menaiki motor lagi kini ia merasakan secuil kenangan buruk dalam menaiki motor. Tangannya mencengkeram erat pada tubuh atletis Fahri. Tidak peduli jika cowok itu merasa perih pada perutnya. Ketakutannya bertambah saat ingatannya jatuh pada saat ia tertimpa motor yang mengakibatkan kedua kakinya lumpuh. Rasa itu sangat membekas, dan sekarang ia seolah merasakannya kembali. Kedua kalinya.

Fahri yang menyadari adanya perbedaan dari Bia segera menghentikan laju motornya. Dilihatnya Bia memejamkan matanya kuat-kuat. Dengan spontan Fahri menarik kepala Bia ke dalam dekapannya. Cowok itu merasa bodoh, seharusnya tadi melajukan motornya dengan pelan bukan sedikit ngebut seperti tadi.

"Tenang, lo nggak papa. Kita aman, semua aman. Lo harus percaya."

***

"Ma, papa mau mencari Bia. Ini udah malam, mama di rumah aja."

"Iya pa hati-hati."

Hatinya semakin gelisah, ini sudah jam tujuh lebih, tapi anaknya tidak sekalipun menghubungi dirinya. Namun saat membuka pintu ia dikagetkan dengan putrinya yang berada di gendongannya lelaki yang tidak Ravi kenal.

"Kenapa dengan putri saya?" Tanya Ravi mengintimdasi. Sebelum Fahri menjawab, Bia sudah menyela. "Nggak apa-apa pa. Cuma tadi nggak ada angkutan jadinya dianterin kak Fahri."

Merasa alasan yang ia dengar cukup logis, Ravi mempersilakan lelaki itu mengantarkan Bia ke kamarnya. Fahri tidak perlu repot menaiki tangga, karena rumah ini rumah minimalis biasa tanpa ada lantai dua. Semua kekayaan yang Ravi punya dulu sudah dihabiskan untuk biaya pengobatan Bia.

Tanpa sungkan Fahri melepas kedua sepatu beserta kaus kaki dari kaki Bia tanpa ada rasa jijik. Gadis itu tadi sempat menolaknya karena merepotkan. Lagi pula ia juga bisa melakukannya sendiri.

"Gue pamit ya, lain kali bawa power bank biar lo nggak nunggu kayak tadi. Untung ada gue, kalau nggak ada mau sampai kapan lo mau nunggu." Kata Fahri yang bangkit dari jongkoknya.

Bia mengangguk. "Iya, makasih ya kak udah ngerepotin. Hati-hati di jalan." Tak lupa dengan senyum manisnya.

Mata sebelah Fahri berkedip menggoda, "iya selalu jaga hati. Kamu juga ya."

"Kak!" Fahri tertawa pecah lalu mengacak rambut Bia dengan gemas. Gadis ini sedikit galak.

Fahri berbalik dan keluar dari kamar Bia yang bernuansa biru berpadukan dengan pink. Dasar cewek, tidak mau lepas dari warna kebanggaannya, pink.

Seakan baru menyadari sesuatu, Fahri berbalik menuju Bia yang duduk selonjoran di tepi kasur. Tangannya sibuk memeriksa pipi Bia sekaligus menekannya. Karena perih, Bia mengaduh pelan. "Sakit."

---

#Ditulis 1012 kata

Segenggam Luka (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang