Chapter 25

505 33 0
                                    

Ravi duduk di teras untuk menunggu kedatangan seseorang yang amat ia tunggu. Sudah dua jam lebih ia duduk di teras untuk menunggui seseorang. Tapi orang yang ia tunggu belum memberikannya kabar sedikitpun.

Tadinya ia sudah mencoba menghubungi tapi hanya suara operator yang menjawab. Mau tak mau dirinya harus bersabar menunggu kedatangan seseorang itu.

Sudah tak terhitung lagi ia melihat jam tangannya. Rasa khawatirnya semakin menjalar. Karena hari semakin malam.

***

Setelah asik bercanda ria bersama, Bia tiba di rumah sekitar pukul delapan lebih. Karena jarak cafe yang mereka datangi ke rumah Bia memakan waktu satu jam lebih.

Bia merasa khawatir jika papanya nanti akan marah. Untuk memberi kabar dirinya pu tidak bisa. Ponselnya mati habis baterai saat masih di sekolah tadi yang semalam ia lupa men-charger nya.

Dan Fahri, lelaki itu tidak membawa ponsel hari ini. Katanya dia hanya akan membawa ponsel jika ingat saja. Jika lupa ya seperti sekarang, sama sekali tidak bisa memberi kabar orang rumah jika harus pulang terlambat dari seperti biasanya tiba di rumah.

"Makasih ya kak, kak Fahri langsung pulang aja, ini udah malam nanti dicari orang rumah."

"Di teras udah ada bokap lo, gue bantuin ngomong ya, takutnya nanti bokap lo salah paham," bujuknya. Sejak masih di perjalanan Bia sudah menolak untuk di bantu menjelaskan ke orang tuanya. Katanya dengan Bia masih bisa mengatasi semuanya.

"Nggak usah, kak Fahri pulang aja, hati-hati ya di jalan."

Fahri masih bungkam memandangi Bia yang sudah masuk ke dalam gerbang rumahnya. Tak lama ia pun segera masuk ke mobil untuk kembali ke rumah. Ada benarnya yang Bia katakan, pasti sekarang mamanya tengah mengkhawatirkannya karena belum pulang ke rumah dari tadi sore.

"Dari mana saja kamu, Bia? Kenapa jam segini baru pulang, ponsel kamu sudah tidak ada fungsinya lagi untuk menghubungi papa?" Pertanyaan Ravi menyambut kedatangan Bia.  Raut wajah tegasnya Ravi membuat Bia sebagai anak tidak tanggung jawab terhadap tugasnya untuk selalu mengabari orang tuanya.

"Maaf pa, hape Bia baterai-nya habis."

"Kemana kamu baru pulang? Udah nggak pakai seragam lagi, emang udah sengaja bawa pakaian ganti dari rumah?" cerca Ravi. Bia hanya menunduk pasrah, papanya lagi marah karena dirinya telah mengkhawatirkannya.

"Maaf pa." Hanya kata maaf yang terus Bia lontarkan. Dulu mamanya sangat mewanti-wanti dirinya jika ada seseorang yang marah jangan sekali-kali untuk menjawabnya, katanya dirinya hanya perlu meminta maaf. Lambat laun orang marah itu akan luluh dengan penyesalan yang ia ucapkan.

Mendengar kata maaf yang di ucapkan Bia berarti benar dengan dugaannya yang anaknya memang sudah sengaja membawa pakaian ganti dari rumah. Ravi mengusap wajahnya kasar. Bingung dengan kelakuan anaknya yang semakin susah di atur.

"Papa, ngapain di luar? Loh kak Bia baru pulang?" heran Disti yang baru saja bergabung. Ravi menggeser tubuhnya supaya tidak menutupi Disti yang berada di belakangnya.

"Bia, masuk mandi terus makan, nanti papa temenin," titahnya.

"Kak Bia baru pulang pa?" tanya Disti lagi setelah Bia masuk ke rumahnya itu.

Ravi mengangguk singkat, "iya."

"Kok tumben jam segini udah pulang," gumamnya. "Kak Bia sering pulang malam seperti tadi?" tanya Ravi untuk memperjelas apa yang di dengar dari mulut Disti barusan.

Disti mengangguk lalu pamit untuk pergi ke kemarnya. Sesampainya di kamar ia tertawa melihat papanya yang mendengar fakta bahwa anak kandungnya sering pulang malam. Semua yang Disti katakan tidak benar. Dirinya hanyalah ingin memberi pelajaran kepada kakaknya karena sudah mencampuri urusannya. Jadi sekarang impas kan?

***

"Sstt... Bia udah belum? Kepalaku udah ngeluarin asap nih, cepetan gue mau keluar duluan bisa mati di tempat gue nanti," bisik Kana dengan pelan takut jika akan ketahuan oleh pak Bagus kumis. "Bentar, dikit lagi, lo diem aja ntar kena semprot pak Bagus," peringatnya.

Pak Bagus kumis terkenal dengan mengawasi dengan ketat. Hingga tidak ada celah sedikitpun yang bisa di manfaatkan untuk saling bertukar jawaban. Banyak siswa yang mengeluh jika pengawas ujiannya pak Bagus, terutama murid yang males mikir. Tapi ini beruntung kepada murid yang pelit akan jawaban.

Pernah dalam sejarah hidup Kana hampir saja ketahuan karena ketahuan sedang kontak berbicara dengan Bia. Untungnya Kana pintar ngeles kalau mau pinjam polpen Bia. Karena tidak percaya dengan alasan klise yang Kana katakan akhirnya gadis itu di suruh membuka tutup polpennya untuk membuktikan benar apa tidaknya yang Kana katakan.

Setelah jantungnya berdebar akan menyaksikan seberapa tintanya yang masih tersisa akhirnya keberuntungan jatuh pada Kana. Tinta polpen Kana memang sudah habis dan tidak cukup jika digunakan menulis satu kait lagi.

Dan mulai dari situ sekarang Kana harus lebih pandai untuk mencontek. Kalaupun nantinya tidak akan mendapatkan contekan dirinya harus siap-siap mendapatkan nilai seadanya karena soal hanya di jawab dengan cap cip cup.

Jantung Kana kembali berdebar karena pak Bagus kumis berada di belakangnya. Untungnya ia sedang membuka yang tidak membutuhkan hitungan. Dengan gayanya ia berpura-pura sedang berpikir keras untuk menemukan jawaban. Padahal sedikitpun ia sama sekali tidak paham apa yang di bacanya.

Akhirnya Disti bisa menghela nafas lega, pak Bagus kumis sudah melanjutkan aksi jalan-jalannya untuk melihat siswa-siswinya sedang mengerjakan soal ulangan darinya.

"Cepetan, jantung gue udah hampir copot nih," bisik Kana.

Setelah Bia memberikan akses untuk Kana supaya bisa lebih mudah untuk menyalin jawaban, dengan lirikan matanya Kana mampu menulis ulang dengan cepat.

"Pak, sudah selesai." Seperti pada umumnya jika ada salah satu yang sudah menyelesaikan soal-soal ulangan semua temannya akan mendongak melihat orang itu.

"Ya, keluar."

Setelah membalik lembar jawaban Kana berlalu keluar. Sedangkan Bia masih di kelas untuk memikirkan jawabannya sudah benar apa belum.

Kana tergesa-gesa untuk segera sampai di kantin dan memesan es jeruk. Setelah dapat segelas es itu ia tempelkan di dahinya untuk meredakan rasa panas. Ruangan kelasnya tiba-tiba menjadi ruangan paling panas yang pernah ia tempati.

"Auto meledak pala gue kalau ulangan terus," gerutunya kesal.

Tak lama bel istirahat berbunyi dan Bia akhirnya menemuinya di kantin. Kana mengeluhkan tentang kepalanya yang ingin meledak karena sudah mengeluarkan asap. Rambutnya tiba-tiba lepek karena ruangan panas yang ia tempati tadi. Jantungnya berubah berdetak lebih kencang hingga membuatnya sakit.

"Jangan lebay, kasian orang tua lo kalau lihat lo kayak gini," tukas Bia kasihan.

Kana menggeleng-gelengkan kepalanya. Hari ini benar-benar sangat sial baginya. Bisa-bisanya ia lemah hanya karena menghadapi soal-soal kimia.

"Gila, ini bener-bener ujian hidup yang sesungguhnya," cetus Kana.

#Ditulis 1026 kata

Segenggam Luka (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang