Sekarang bisa dipastikan Ravi sangat jauh dari keluarga termasuk istrinya sendiri. Sudah seminggu lebih Ravi pulang larut malam dan berangkat ke kantor disaat matahari belum menunjukkan sinarnya.
Sarapan serta makan malam juga dilakukan sendiri-sendiri. Sekarang tidak ada yang memantau orang rumah untuk menjaga kekeluargaan. Lelaki yang bertugas sebagai kepala rumah tangga seolah pergi dan pulang dengan keadaan asing.
Berkali-kali Bia mencoba bicara, Ravi juga dengan seribu alasan untuk menolaknya. Cara kasar digunakan ketika Bia tidak menghargai keputusannya.
Ravi benar-benar beda sekarang. Tak jarang juga Tesya mendapat omelan hanya karena lupa meletakkan jas yang akan dipakai untuk meeting dengan client penting.
"Pa, Mama ikut kekantor ya, dirumah bosen nggak ada temennya."
"Nggak bisa, suruh aja Disti pulang cepat untuk menemanimu."
Belum apa-apa Ravi sudah membatasi dirinya. Kalau seperti ini pasti rumah tangganya akan berujung ke pengadilan dan Tesya tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi. Cukup sekali seumur hidup untuk bercerai dan Tesya tidak ingin mengulanginya untuk kedua kali.
Hidup sendiri dan menafkahi anak sendirian tidak mudah. Semua waktu tersita untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk memanjakan diri sendiri itulah yang membuat Tesya benci dengan kesendirian dan memilih menikah lagi.
Lihat, Ravi sudah keluar tanpa pamit dan basa-basi dengan Tesya. Tidak ada jabat tangan antara suami dan istri. Tidak ada keromantisan yang biasanya terjadi ketika esok hari. Tidak ada drama kangen-kangenan dari Ravi untuk Tesya. Semua berubah seratus delapan puluh derajat tanpa kurang sedikitpun.
Semesta sungguh hebat membuat pikirannya kacau dalam waktu sesingkat ini.
"Kamu anak nggak guna, ngapain kamu diam disitu, mau ngetawain Mama, hah?"
Amukan ini lagi-lagi Tesya keluarkan. Wanita itu menatap anak tirinya dengan dendam yang ingin terbalaskan.
Bia hanya menunduk lalu pergi kembali memasak menyiapkan sarapan pagi. Niat untuk berbicara berdua dengan Ravi ia urungkan begitu saja saat melihat Tesya lebih dulu menghampiri Ravi.
Selesai menyiapkan sarapan, Bia pergi mandi dan berangkat ke sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu. Niat ingin menghindari Fahri harus dilaksanakan dengan baik. Berusaha supaya lelaki itu mau membatalkan acara pertunangan.
Meski bukan pertunangan untuk menyelamatkan perusahaan ataupun sebagai jaminan namun tetap saja Bia tetap keberatan dengan ini semua. Orang tuanya tidak tahu kalau dirinya dan Fahri sama sekali tidak ada rasa sedikitpun. Bagaimana nantinya jika akan membina rumah tangga tanpa adanya cinta.
Bia mendapatkan taksi dengan dibantu ibu-ibu yang merupakan salah satu tetangganya. Tak lupa mengucapkan terimakasih Bia segera pergi menuju kesekolah. Biarlah uang jajannya habis untuk membayar ongkos taksi yang penting niatnya lurus tanpa ada kendala.
***
Kana memperlihatkan gambar yang baru saja tadi pagi diambil. Sukulen lah penyebabnya. Gadis itu heboh menceritakan jika mendapat sukulen dari temannya Fahri. Lagi-lagi untuk menghindari nama itu sedikit sulit. Ada saja kesempatan untuk membahas nama itu terus menerus.
"Diam, Na. Lo sudah menceritakan seribu kali kalau lo lupa," tegur Bia.
Kana nyengir dengan menunjukkan kedua jarinya, telunjuk dan tengah. "Oh iya, gimana lo sama kak Fahri. Ngapain aja lo sama kak Fahri datang kerumah lo. Nggak mungkin langsung pulang kan. Nggak lo banget kalau ngusir tamu tanpa singgah dulu."
Bia memicingkan matanya heran. Feelingnya mengatakan jika temannya itu tahu sesuatu dan sengaja memancingnya. Ah, Fahri memang tidak bisa diam orangnya. Bia menyesal tidak memperingatkan Fahri untuk tidak bercerita tentang pertunangannya dengan siapapun.
"Gitu banget tatapan lo, gue jadi mikir yang aneh-aneh ini. Ceritainlah sebelum gue ngarang sendiri dan menyebar diseluruh penjuru sekolah. Pastinya lo nggak mau itu terjadi 'kan?"
Biar menetralkan suaranya sebelum menjawab pertanyaan Kana. Butuh pasokan udara yang banyak untuk menghadapi Kana dalam situasi kayak gini. "Yang pertama, lo tahu darimana kalau kak Fahri datang ke rumah gue?"
Butuh beberapa detik untuk mengingat, lalu Kana berkata, "malam itu gue mau ngehubungin lo tapi yang angkat malah kak Fahri, gue pikir lo berdua jalan tanpa gue ketahui, ternyata malah handphone lo ketinggalan di mobilnya kak Fahri. Yasudah langsung gue suruh ngembaliin sekalian mumpung kak Fahri nya belum sampai rumah."
"Tapi dengan saran lo gue malah terjerumus ke hal yang bikin gue pusing mikirnya tiap hari," keluh Bia yang diakhiri dengan decakan.
"Maksudnya?" Kana tidak paham. "Lupain," putus Bia ketika menyadari jika Kana belum tahu menahu tentang pertunangannya. Dan itu lebih baik dibandingkan dengan Kana tahu semuanya dikondisi yang sekarang ini. Bukan maksud menyembunyikan namun Bia hanya belum siap dan belum yakin sama pertunangannya sendiri.
"Tadi lo belum ngomong dengan jelas. Dari siapa lo dapat sukulen?"
"Ega, temannya kak Fahri. Yang dadanya kotak-kotak, jadi pengen pegang kan malah."
"Dijaga mulutnya, Na. Nggak sopan kayak gitu."
Kana nyengir tidak jelas. Bia menggelengkan kepalanya dan tidak meladeni lagi ucapan ngawur dari Kana. Bisa-bisa dirinya ikut gila kalau terus-terusan menanggapi ucapan bodoh temannya.
"Perhatian semuanya! Ada tugas dari pak Bagus yang sudah gue share ke grup kelas. Tugas dikumpulkan waktu istirahat, kalau lama gue tinggal."
Kana mendengus kesal mendengar pengumuman dari ketua kelasnya. Akhir-akhir ini pak Bagus kumis sering tidak masuk kelas dan meninggalkan segudang tugas.
Selain malas mengerjakan, Kana juga malas menyontek dan mengasihani jemari tangannya yang dipaksa untuk menulis hingga lembaran kertas. Sekarang Kana tidak menyukai pelajaran pak Bagus kumis lagi kalau tugasnya tiada henti seperti ini, berbeda ketika pak Bagus yang terkenal jarang memberi tugas dan hampir tidak pernah ada tugas kecuali untuk syarat naik kelas.
-863-
Sampai jumpa di chapter selanjutnya.
Share cerita ini ke teman kalian jika kalian menyukai cerita ini.
Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
Não FicçãoLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...