Dengan kesibukannya Bia pagi ini disibukkan dengan cuciannya yang menggunung. Kesibukan yang ia hadapi dalam seminggu belakangan melupakan kebiasaan untuk mencuci baju tiga hari sekali.
Untungnya di rumah ini ada mesin cuci untuk membantu meringankan pekerjaannya itu. Ia sekarang sedang menunggu mesin cucinya berhenti berputar. Tangannya menyangga dagunya karena merasa bosan.
Tampilan handphone-nya pun membuatnya malas karena tidak ada yang menarik untuk di lihat. Semuanya nampak membosankan, satu pesan yang masuk pun nggak ada.
Tak lama mesin cucinya berhenti karena sudah selesai mengeringkan pakaian. Selanjutnya Bia mengambil pakaiannya di letakkan di ember untuk segera berjemur. Namun di sela-sela aktivitasnya itu mamanya memanggil dirinya.
"Bia!"
"Iya ma, Bia di belakang!" balas Bia yang ikut berteriak juga.
"Di dapur banyak piring kotor, kamu malah asik sendiri di sini, lantai juga udah banyak debunya. Buruan habis jemur pakaian jelekmu itu segera cuci piring, nyapu terus ngepel," teriak Tesya saat sudah menemukan Bia yang berada di halaman belakang.
"Iya ma, nanti," tempo Bia.
Tesya berkacak pinggang kesal, "buruan lima menit lagi kalau belum sampai di dapur, awas kamu."
Bia segera menyelesaikan aksinya yang sedang menjemur pakaian. Tak perlu terlalu rapi yang penting sudah menggantung. Kemudian Bia buru-buru masuk untuk mencuci piring.
Satu persatu piring sudah tertata rapi di rak dengan kondisi yang sudah bersih. Piring kotor tinggal separuh lagi, ia harus lebih semangat. Mamanya sedang memberikan kepercayaan yang ia harus jaga.
"Cepetan, lantai masih kotor. Teman-temanku mau kesini, malu dong punya rumah yang kotor lantainya, meja-meja juga nanti jangan lupa di bersihin," cibir Tesya yang masih ngelihatin di meja makan. Wanita itu akan mengoceh panjang lebar jika Bia melakukan kesalahan atau lelet dalam melakukan perkerjaan.
Selesai dengan mencuci piring, ia segera mengambil sapu dan kemoceng. Semua yang sekiranya kotor ia bersihkan dengan kemoceng. Sampai tahap terakhir akhirnya ia nyapu dengan susah payahnya karena harus duduk di kursi roda.
"Belakang kamu masih kotor, yang bener nyapunya." Bia memundurkan kursi rodanya untuk kembali menyapunya dengan bersih.
Usai dari kegiatan menyapu kini Bia sudah menenteng pel di tangannya. Dengan perlahan Bia mulai mengepel. Semuanya sudah selesai tinggal teras depan.
***
"Halo, ada apa?"
"Nggak lagi gabut aja, ke taman yuk, berburu makanan laper banget gue di rumah nggak ada makanan." Bia mengiyakan ajakan Shinta yang sedang menelfonnya. Kebetulan hari ini ia tidak memiliki kesibukan apa-apa.
"Oke, jemput ya."
Bia mematikan sambungan telfonnya dengan Shinta. Ia segera bersiap mengambil sweater dan tas selempangnya.
Tak lama Shinta datang ke rumahnya dan segera berangkat ke taman. Mereka hanya berjalan kaki dengan Shinta yang mendorong Bia.
"Kalau nggak ada teman baru ngabarin gue, kemarin-kemarin kemana aja say?" sindir Bia. Shinta tertawa cengengesan. Tetangganya itu selalu benar dalam menebak tentang dirinya.
"Tahu aja lo, sebenernya gebetan gue ada di taman, makanya gue ngajak lo ke taman."
"Nggak ada akhlak banget, lo jadiin gue kambing congek?" Bia melotot tak percaya. Sekalinya diajak pergi dijadikan kambing congek. Kalu bukan Shinta nggak ada lagi teman Bia yang kurang ajarnya minta ampun.
"Ya, seperti itu kurang lebihnya," ucapnya seraya mengibaskan rambutnya.
"Minggir ah gue mau pulang aja, males gue paling juga lo tinggalin nanti," usir Bia yang berusaha untuk memutar kursi rodanya. Ia jadi males menuju taman kalau endingnya ditinggalin. Semuanya hanya menjanjikan lewat kata-kata bukan kenyataan.
Shinta terbahak, "baperan banget lo ternyata, heh gue waktu itu malem-malem lihat lo keluar dari mobil ya masih pakai seragam lengkap. Habis dari mana lo? Anak perawan pulang-pulang malam masih pakai seragam. Di terkam papa Ravi mampus lo," cibirnya.
"Kapan? Nggak ada ya gue pulang malem. Paling itu gue lagi ada masalah di jalan makanya pulang telat."
"Alasan!"
***
Sepulang dari taman tadi Bia berakhir diamuk Tesya karena pergi dari rumah berjam-jam dan baru pulang kisaran jam tiga. Dan sekarang Bia harus menerima hukuman dari Tesya karena kelayapan.
Tangannya sibuk memijit kaki Tesya yang di selonjorkan di sofa. Sembari menikmati pijatan Bia, Tesya memakai penutup mata karena matanya sudah mulai ngantuk. Dan tak lama akhirnya Tesya bisa terlelap tapi Bia tidak mengetahui jika mamanya tertidur. Dikiranya mamanya hanya ingin menutup mata seperti biasa.
"Ma, usia kandungan mama udah berapa minggu?" Tak ada sahutan.
"Nanti adik Bia cewek atau cowok ya, ma?" Masih tidak ada sahutan.
"Ma? Mama?" panggil Bia sedikit keras.
"Berisik. Udah minggir sana," sahut Tesya kesal. Dengan kasarnya tadi kakinya sempat menyepak tangan Bia yang sedang mijit. Untungnya Bia tidak jatuh dari kursi rodanya.
Tak mau membuat mamanya lebih marah lagi Bia pergi menuju kamarnya. Melanjutkan tugasnya untuk besok pagi. Takutnya nanti malam Disti akan meminta tolong padanya untuk mengerjakan tugasnya. Malam nanti ia tidak mau begadang lagi karena matanya sudah mulai menghitam.
***
"Tumben gue belum dateng lo udah nungguin di depan gerbang seperti ini? Udah nggak sabar ketemu gue ya?" tuding Fahri menggoda. Baru sampai sudah berani menggoda gadis cantik seperti Bia, dasar lelaki buaya.
Tangannya tergerak menyurai rambutnya ke belakang. "Ketampanan gue buat lo nggak kuat ya sampai harus memalingkan wajah kayak gitu."
Bia memandang Fahri malas, "jadi orang jangan kepedean kayak gitu, untung gue nggak baperan jadi aman lah lo buat godain gue." Fahri tersenyum kecut. Ternyata cewek itu tidak terpesona akan pesona yang ia miliki. "Udah ayok, keburu siang macet nanti," sambung Bia.
Keduanya sudah duduk di mobil siap untuk membelah jalanan Jakarta. Udara pagi ini sangat segar untuk dinikmati jadi Bia memutuskan untuk membuka jendela mobil itu. Wajahnya sedikit ia keluarkan. Udara pagi menerpanya.
Suatu kenangan dimana mama Reva dulu mengantarkannya ke sekolah menggunakan motor melintas di otaknya. Dulu ia selalu berangkat pagi dari rumah karena mamanya selaku mengendarai motornya dengan pelan.
Tidak mau larut dalam kesedihan Bia menepis semua pikiran-pikiran tentang kenangannya dulu. Mamanya sudah tenang di surga. Dirinya di sini juga harus bisa membuat bangga mamanya.
"Kak, lo pagi ini ada ulangan?"
Fahri menoleh, "nggak, kenapa?"
"Temenin ke kantin ya, beli minum. Tadi lupa padahal udah disiapin." Fahri tersenyum penuh arti. "Tuh bener kan lo udah kangen banget sama gue sampai lupa bawa tumbler," ledek Fahri.
Bia bungkam tidak mau menjawab pertanyaan yang menurutnya jauh dari kata kebenaran. Godaan receh itu tidak akan mampu membuatnya luluh. Bia bisa jamin itu.
#Ditulis 1010 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
NonfiksiLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...