Tesya sudah menunggu kepulangan anaknya. Tadi ia sempat tertidur sebentar namun tidak lama ia terbangun karena memikirkan anaknya.
Duduk sambil membaca koran yang Tesya lakukan untuk mengusir rasa bosan. Tak lama kemudian Disti datang bersama seorang cowok. Tesya teringat ucapan anak tirinya bahwa lelaki yang bersama Disti bukanlah laki-laki baik. Emosinya seakan memuncak begitu saja.
"Disti duduk jelaskan pada mama siapa laki-laki yang kamu bawa ini," ucap Tesya dengan tegas.
Disti terlihat bingung dengan mamanya yang tak biasanya berbicara tegas seperti itu. Mamanya bahkan jarang sekali marah. Namun dari nadanya tadi, Tesya terlihat tidak suka dengan kedatangannya yang membawa seorang cowok.
"Kenalin ma, Adit pacar aku."
"Halo tante, salam kenal," sapa Adit pada Tesya.
"Apa yang terjadi dengan Bia yang tidak suka dengan lelaki ini Disti? Jelaskan pada mama."
"Oh jadi itu yang menjadikan mama bersikap kayak gini? Ayolah ma, masih mempercayai orang nggak berguna seperti dia?" caci Disti dengan geram. Geram dengan tingkah Bia yang semakin memuakkan.
"Jadi gini tante, sore itu saya dan teman-teman juga ada Disti lagi makan didekat taman. Kebetulan kakaknya lewat dan salah paham," kelakar Adit menjelaskan. Feelingnya ia dipandang buruk oleh mama dari pacarnya itu.
Tesya tak percaya begitu saja. "Apa yang kamu lakukan dengan anak saya waktu itu?" Takut jika hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
"Saya hanya berniat meniup kepala Disti karena ada serangga kecil. Saat itu tangan saya kotor jadi saya memutuskan untuk meniupnya."
"Iya ma, dia kan lihatnya dari jauh. Mungkin pikirannya aja yang terlalu kotor," tambah Disti.
Kesal dengan kelakuan kakaknya yang semakin menjadi. Rupanya rasa iri terhadapnya masih bersarang di otak orang tidak berguna itu. Tidak hanya menjadi penyebab dirinya dan Adit putus namun juga berhasil menjelekkan pacarnya didepan mamanya.
"Anak itu benar-benar membuat saya kesal. Huh! Disti buatkan Adit minum, mama mau menemui orang nggak tahu diri itu!" geram Tesya.
Wanita itu bangkit dan menuju kamar putri tirinya. Harus diberi pelajaran karena berhasil membuatnya malu di hadapan pacarnya Disti. Malu karena menuduh orang lain sembarangan tanpa disertai bukti yang ada.
Brak!
Pintu dibuka dengan kerasnya tanpa memedulikan jika pintu tersebut akan rusak. Emosinya benar-benar sudah mendidih yang tidak sabar untuk ditumpahkan begitu saja.Tanpa basa basi lagi tangannya sudah mencengkeram rambut Bia dengan erat. Geram dengan kelakuan anaknya yang tidak ada akhlak sama sekali.
"Apa yang kamu katakan pada saya membuat saya malu di depan calon mantu saya. Kamu sudah berani memfitnah calon mantu saya di depan saya. Kamu iri dengan anak saya huh!" cerca Tesya tanpa ampun. Sedikitpun tak merasa kasihan melihat Bia merintih kesakitan.
"Ampun ma ampun," pinta Bia dengan memegang tangan Tesya supaya mau melepaskan cengkeraman nya itu.
Tindakan Tesya semakin sadis. Wanita itu mencubit lengan Bia tanpa ampun. Bahkan sempat menampar pipi Bia dengan kerasnya.
"Sakit ma," adunya ketika telapak tangan mamanya sudah mendarat mulus di pipinya.
"Kamu sudah bikin saya malu, kamu tahu itu, huh!"
Kilatan marah jelas terpancar dimata Tesya. Bagaimana gadis tidak berguna itu berhasil membuatnya marah terhadap anaknya kandungnya sendiri.
***
Seperti biasa Biasa berangkat ke sekolah menggunakan taksi. Dan harus merepotkan supir itu untuk mengangkatnya untuk bisa masuk ke mobil.
Namun kali ini ia berangkat menggunakan sweater yang melekat ditubuhnya. Lengannya terlihat lebam akibat cubitan mamanya kemarin.
Namun untuk lebam di pipi itu tak menjadi masalah. Ia bisa menutupinya dengan make up.
Namun di lengannya itu benar-benar nyata dan jelas. Make up yang ia pakaikan seolah terbuang secara percuma. Luka itu masih ada dan masih ketar jelas.
Bia sudah keluar dari taksi dengan bantuan sopir itu. Ia bahkan membayarnya lebih karena telah merepotkan.
Dengan perlahan Bia menjalankan kursi rodanya dengan pelan. Selain lebam kebiruan lengannya juga sakit jika digerakkan.
Tak mau memaksakan Bia memilih minggir untuk istirahat terlebih dahulu. Semua benar-benar kacau diluar dugaan. Semua yang berawal dirinya ingin yang terbaik untuk adiknya namun malah dirinya yang disalahkan.
Bukan karena Tesya yang membencinya. Namun karena ia mengambil kesimpulan tanpa tahu permasalahan lebih jauh. Wanita tua itu memberinya sedikit pembelajaran. Dunia memang sekeras itu bung.
"Bia, ngapain lo disini," tegur Kana.
Kaget sekaligus gelagapan melihat sahabatnya yang menghampiri dirinya. "Eh, ini baru mau masuk kelas."
"Yaudah yuk."
Kana mendorong kursi roda Bia membawanya masuk ke dalam kelas. Bentar lagi bel akan berbunyi. Tidak cukup bila Bia harus tertatih sendiri untuk menuju kelas.
***
Seperti biasa di aktivitasnya Bia mengepel lantai dengan semampunya. Hingga tak sadar masih ada air yang menggenang. Sesuatu buruk pun terjadi.
Tesya sudah terjatuh. Bia terpekik kaget.
"Papa, mama jatuh pa!" teriak Bia menggema diseluruh penjuru rumah.
Tak memedulikan keadannya, Bia juga ikut menjatuhkan dirinya supaya bisa menolong mamanya. Ia kalut dan benar-benar ketakutan melihat mamanya yang tengah kesakitan memegang perut yang terdapat sebuah kehidupan didalam sana.
Air matanya turun begitu saja. Melihat wajahnya Tesya yang tengah menahan rasa sakit mengingatkan kejadian tiga tahun yang lalu, dimana Bia dan Reva kecelakaan.
Dalam peristiwa itu ia hanya bisa menyaksikan mamanya yang tengah meminta tolong pada orang-orang namun tidak ada satupun yang memberikan pertolongan pertama. Yang sialnya ia juga tidak mampu untuk menolong mamanya sendiri.
"Mama! Astaga kenapa bisa jadi seperti ini!" teriak Ravi melihat kondisi istrinya yang menahan rasa sakit dengan kedua tangan yang tengah memegang perutnya.
Ravi segera menggendong Tesya untuk menuju kerumah sakit. Disti dan Elvi yang melihat mamanya pun segera mengikuti kedua orang tuanya itu.
Namun Ravi melarang anak-anaknya untuk ikut. Dan meyakinkan bahwa mamanya akan baik-baik saja.
Disti kembali masuk menemui Bia. Si biang kerok gadis pembawa sial.
"Apa yang lo lakuin sama mama gue!" teriak Disti didepan muka Bia.
Bia menggeleng kuat. "Aku tidak tahu, sepertinya tadi terpeleset." Suara Bia berubah menjadi bergetar. Ketakutan semakin menyerangnya.
Disti mendorong bahu Bia dengan kuat. Muak dengan kelakuan yang membuat keluarganya hancur begitu saja. Semenjak ia tinggal bersama gadis tidak berguna itu hidupnya menjadi berantakan. Masalah datang silih berganti yang penyebab utamanya ialah Bia sendiri.
Tak hanya sampai disitu saja Disti bahkan menampar wajah memuakkan itu untuk berkali-kali. Meluapkan kekesalan yang selama ini sudah terbendung.
Tak lagi menghiraukan Elvi yang melihat apa yang ia lakukan. Semuanya sudah terjadi. Bia pantas mendapatkan hal yang setimpal bahkan harus lebih dari itu.
Setelah puas menyiksa Bia Disti meninggalkan rumah begitu saja. Mungkin tujuannya akan pergi kerumah sakit menyusul papanya yang membawa mamanya kerumah sakit.
Sedangkan Bia, gadis itu hanya bisa menangisi semua yang telah terjadi. Akibat kelalaiannya Tesya harus terjatuh dan kesakitan. Dirinya hanya bisa menonton tanpa bisa menolong.
--
1061 kata
Apakah feelnya dapet?
Dan jangan lupa untuk meninggalkan jejak❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
NonfiksiLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...