Seusai seminggu dirawat dirumah sakit, akhirnya Tesya kembali tiba dirumah sore ini. Tentu masih dibalut dengan suasana mencekam semua anggota keluarga terhadap Bia. Bocah kecil yang biasanya kerap bermain dengan Bia pun sama halnya dengan yang lain. Dingin dan tidak bersahabat.
Kehadiran Bia diruang tamu ini juga tidak dihiraukan oleh siapapun. Terbukti saat Bia ingin membantu membawakan tas yang masih berada di genggaman Ravi lelaki tua itu melengos dan pergi begitu saja.
Ini sudah resikonya. Kehilangan calon adik adalah ulah dirinya yang tidak berhati-hati dalam mengepel. Mau menyalahkan Tesya juga rasanya tidak mungkin karena wanita itu terpeleset akibat air pel yang menggenang di lantai ditambah pelicin lantai yang biasa ia gunakan.
Bia undur diri menuju kamarnya. Mungkin jika ia tidak menyambut Tesya suasana tidak seburuk sekarang.
Berdalih belajar untuk melupakan kejadian tadi tidak memberikan efek apapun. Justru yang ada dipikirannya malah mengenai dirinya dibenci seluruh penghuni rumah.
Rasa kangen dengan kehadiran Mama Reva menjalar sesak di dadanya. Rasa kasih sayang jelas tercetak indah direlung hatinya. Meski berbeda dari Mama Tesya tetap saja Bia sayang keduanya.
Anggap saja Bia bodoh masih bisa menerima mama tirinya meski mendapat hal-hal yang kurang mengenakkan. Semua itu terjadi jelas ada sebab yang melatarbelakangi. Yang sayangnya Bia sendiri tidak tahu mengapa gadis itu masih baik ketika diperlakukan tidak baik.
"Kakak dipanggil papa tuh disuruh masak, katanya buruan jangan main dikamar terus."
Elvi berhenti tepat di depan pintu tanpa mau masuk terlebih dahulu dan pergi ketika maksudnya sudah tersampaikan.Bia segera menuju dapur untuk segera memenuhi permintaan papanya.
Tak lama kemudian sudah tersaji beberapa menu makanan. Tidak aneh-aneh hanya sayur sop, gorengan tempe dan sambal kentang. Terbilang sederhana untuk kalangan seperti mereka.
"Selamat makan papa, mama sama kak Disti," ujar Elvi dengan riang.
Bahkan gadis kecil itu tidak menyebutkan dirinya dalam dialognya. Tidak lama-lama Bisa segera melahap habis makanannya dan berlanjut cuci piring.
Sedangkan dimeja makan masih utuh anggota keluarga kecuali Bia.
Ravi tampaknya masih belum bisa berbaur dengan keadaan. Raut wajahnya masih menampakkan kekesalannya. Ketika makanannya habis pun segera beranjak menuju kamarnya. Dan diikuti Elvi yang akan melanjutkan belajarnya untuk besok.
"Ma, kayaknya Papa marah banget deh. Nggak biasanya papa marah kayak gitu. Lebih serem ini Ma," singgung Disti pada Tesya–mamanya.
Tesya tersenyum kemudian menanggapi, "bagus dong, lebih mudah malah menyingkirkan anak tidak berguna itu. Tinggal nunggu hari aja anak itu akan keluar dari rumah ini."
"Rasanya aku tidak sabar menikmatinya hidup dirumah tanpa kakak tidak berguna itu. Hidupku terasa buruk jika kakak itu masih berkeliaran disekitarku."
"Sabar sayang, waktu itu akan segera tiba."
***
Lagi-lagi pagi ini Bia dijemput oleh Fahri. Namun kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Ravi–papanya Bia menyaksikan langsung putrinya masuk ke dalam mobilnya Fahri namun tidak memberikan respon apa-apa. Malah terkesan cuek. Padahal sebelumnya Ravi sangat benci dengan Fahri karena membuat Bia menjadi bandel dan sedikit nakal.
Sapaan yang Fahri lemparkan pun tidak Ravi hiraukan. Tidak dipikir pusing mungkin Ravi sedang banyak pikiran hingga membuat lelaki tua itu tidak fokus, pikir Fahri.
Disamping itu Bia juga melupakan rencana awalnya untuk menjauhi Fahri. Mungkin papanya kini telah mati rasa terhadap dirinya setelah adanya kejadian fatal.
Bia tidak apa-apa. Mungkin ini bentuk hukuman dari Ravi untuk dirinya yang tidak mau menurut. Bentuk kasih sayang yang tiada batas untuknya.
"Kenapa melamun? Lagi banyak pikiran banget ya."
Bia terkesiap. Lalu berkata, "siapa? Gue dari tadi lihatin tetangga sebelah yang lagi nyiram tanaman." Fahri menghembuskan nafas pelan. "Yaudah lain kali kalau mau cerita nggak apa-apa. Kalau nantinya gue nggak bisa ngasih saran setidaknya masalahnya enggak lo pendem sendirian dan mengakibatkan lo stress berkepanjangan."
Jika sudah bersikap seperti ini, sanggupkah Bia untuk menghilang dari kehidupan Fahri? Sikap dewasanya yang seperti ini yang membuat Bia betah jika bersama cowok itu.
Lelaki itu seperti bunglon. Bedanya Fahri bisa menempatkan kepribadiannya dalam suasana yang berbeda-beda. Lebih cepat menyesuaikan diri nya dengan keadaan disekitarnya.
Banyak juga fans yang mengaguminya secara diam-diam. Sifat seperti itulah yang menjadi pemicu utamanya memiliki banyak fans. Bagaimana tidak luluh jika setiap perkataan yang keluar dari mulutnya mempunyai penilaian sendiri-sendiri di mata masing-masing orang.
"Tuhkan ngelamun lagi, udah dipanggil lima kali loh."
"Iya maaf, ada apa emangnya?"
"Nggak jadi lanjutin aja ngelamunnya, kalau sudah selesai bilang biar nanti gue yang akan mengisi kekosongan dipikiran lo."
"Kenapa nggak sekarang aja?"
" Emang sudah siap?"
Bia bungkam. Bibirnya mengatup pelan. Tidak menyangka Fahri akan menjawab dengan wajah serius seperti itu. Percayalah Bia sekarang takut menatap Fahri jika obrolannya menjadi seperti ini.-744-
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Pencet bintang dipojok kiri bawah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
NonfiksiLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...