Bia terbangun dari tidurnya. Tetapi yang menjadi masalahnya kini ia menyadari telah tertidur dikelas yang sialnya malah ada Fahri yang sama terpejam disebelahnya. Dari hening yang didengar Bia tebak pasti ini sudah memasuki waktu pulang sekolah.
Melihat ada pergerakan dimata Fahri, Bia dengan cepat kembali memejamkan matanya berpura-pura tidur. Bagaimana ia bisa santai dengan posisi seperti ini. Dan bagaimana cara mengatasi kecanggungan yang terjadi nanti. Tentu gadis itu malu setengah mati. Apalagi hanya ada mereka berdua dikelas.
Usapan dikepalanya terasa jelas. Fahri lah penyebabnya. Jika terus-terusan Bia akan salah tingkah menghadapi lelaki tidak berperasaan itu. Yang dengan lancangnya membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
Gadis itu memang sakit tapi sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Dan sekarang jantungnya berpacu lebih cepat. Efek apa yang telah ia rasakan?
"Mau sampai kapan pura-pura tidur?"
Bia tersentak kaget dan refleks membuka matanya.Terdengar suara menahan tawa namun bukan berasal dari Fahri. Karena muka lelaki itu terlihat jelas dimatanya. Ada siapa dikelas ini hingga ada suara yang datang secara tiba-tiba tadi.
Mencari sumber suara tadi, Bia menemukan Kana yang berada disebelah kanannya. Pantas saja tidak kelihatan karena temannya itu telah ia punggungi ketika tidur tadi.
Bia menyesal telah berpura-pura tidur kembali dan menanggung rasa malu ini. Kalau gadis itu tahu ada orang lain selain mereka berdua Bia tentu tidak mau repot-repot untuk kembali berpura-pura tidur. Sungguh menjengkelkan.
"Salting-salting aja kali, Bia. Kayak sama siapa aja lo. Gimana enak nggak tidurnya, pantes lama orang dari tadi lo nya ditatap terus sama kak Fahri sampai pedes mata gue liat pemandangan tadi. Bikin iri, mana nggak ada pacar lagi gue." Celetukan Kana berhasil membuat Bia melotot seraya menggerakkan tangannya seolah ingin menonjok.
Kana cuek, semua yang diucapkan memang benar adanya.
"Ayo pulang, gue anterin," intruksi dari Fahri mengambil alih perhatian dua cewek sekaligus.
Gelengan Bia lalu disusul tolakan mendapat tatapan aneh dari Kana. "Enggak kak makasih, gue mau pulang sama Kana aja. Ya kan, Na?"
"Gue aja mau dianter kak Fahri, gimana ceritanya lo minta anter ke gue?"
Mampus! Bagaimana menghindari lelaki itu supaya tidak berkeliaran di komplek rumahnya. Nanti bisa-bisa Fahri bisa diseret Ravi dan dimintai untuk menikahi anaknya. Tidak, Bia tidak mau, masa depannya masih panjang. Lagian masalah yang ada hanyalah salah paham.
"Supir lo nggak jemput?"
"Minta penjelasan sama kak Fahri sana, sudah ah ayo pulang, punggung gue sudah pegel banget ini pengen rebahan. Kasur, bantal, guling gue udah menanti dirumah."
Bia pasrah, Fahri juga sudah mengambil alih untuk mendorong kursi roda Bia. Alasan apa yang nantinya akan gadis itu gunakan ketika bertemu dengan papanya.
"Bia, lo hari ini beda banget dari biasanya. Meski lo nggak banyak omong tapi dari gerak-gerik yang lo berikan cukup aneh dimata gue. Ada apa? Tumben nggak cerita."
Bia menoleh kebelakang lalu menggeleng dengan tegas. Memperjelas jika gadis itu baik-baik saja tidak seperti yang dicurigai oleh Kana. Meski yang Kana katakan ada benarnya.
"Bener yang diomongin Kana, lo kelihatan lagi banyak masalah," tambah Fahri yang tidak teralihkan fokusnya saat menyetir mobil.
Gadis itu tersenyum kecil, "iya ada masalah sedikit."
"Nggak apa-apa cobaan hidup, hadapi dengan tenang, jangan gegabah." Bia mengangguk mendengar penuturan Fahri.
Tapi dibalik patuhnya Bia, gadis itu tetap berpikir bagaimana nanti jika bertemu papanya. Ditambah Tesya yang ikut serta ke kantor pasti Ravi tidak akan pulang terlambat. Dan dirinya tidak bisa meminta tolong pada siapapun untuk sekarang.
***
Ucapan Ravi semalam tidak memang tidak main-main. Baru sampai rumah Bia sudah disidang habis-habisan. Beruntung tadi ia memiliki alasan untuk singgah ditempat Kana terlebih dahulu dan pulang naik taksi dengan modal pinjaman dari Kana.
Sudah hampir sebulan uang jajan dan jatah untuk naik kendaraan dikurangi. Semuanya tidak terlepas dari kesalahannya sendiri yang sengaja dibesar-besarkan oleh orang rumah. Namun Bia tetap tahu bahwa orang tuanya menginginkan yang terbaik untuknya.
Ravi menahan amarah yang bergejolak. Didampingi istrinya yang tak henti-hentinya mengusap lengan suaminya.
"Lihat, temanmu tidak ada tanda keseriusan untuk kamu. Dia hanya mempermainkan kamu dan menjerumuskan untuk hal yang nggak baik. Jangan mudah percaya sama laki-laki zaman sekarang. Mereka hanya mengandalkan nafsunya bukan hatinya."
"Tapi Pa, kak Fahri nggak ada hubungan apa-apa sama Bia, kami cuma sebatas kakak kelas dan adik kelas. Kak Fahri juga hanya membantu Bia disaat sedang kesusahan. Selebihnya nggak ada Pa."
"Sudahlah, kamu tidak usah membela laki-laki itu. Kalau memang dia serius pasti dia datang kesini untuk memintamu pada kami," timpal Tesya.
Pejaman mata tak kunjung membuat emosinya meredam. Justru Bia malah seakan terbakar oleh ketidakpercayaan kedua orang tuanya. "Ma, Pa,-" Suara Bia tertahan ketika ada yang mengetuk pintu dan terbuka pelan.
"Maaf om, tante, saya lancang, sebelumnya boleh saya duduk terlebih dahulu?"
Bia membulatkan matanya. Jantungnya berpacu lebih cepat. Bagaimana ceritanya Fahri ada dirumahnya padahal tadi ia jelas melihat Fahri pulang ketika ia sudah sampai dirumah Kana.
"Ya, ada apa kamu kesini?"
"Begini om, tante, maksud kedatangan saya ini untuk meminta restu untuk melamar Luana Ravabia Azada, putri om dan tante. Jika kalian setuju makan dengan secepatnya saya akan membawa orang tua saya untuk melakukan pertunangan dengan Bia," ujar Fahri dengan mantap dan tidak ada keraguan yang kentara diraut wajahnya.
Bia menepuk tangan Fahri dengan kesal. Bisa-bisanya lelaki itu dengan lancangnya mengutarakan hal yang tidak kelas seperti tadi. "Apa-apaan sih kak, kak Fahri jangan ikut campur dan memperkeruh suasana dong kak. Gue sudah capek kak, tolong jangan buat masalah baru."
Fahri tidak menanggapi gerutuan Bia dan memilih melanjutkan niatnya. "Bagaimana om? Tante?"
"Baik, om tunggu kedatangan orang tua kamu. Kalau sampai kamu main-main sama om, om tidak akan segan menjauhkan kalian berdua."
Ravi bangkit meninggalkan Fahri dan Bia yang disusul oleh istrinya, Tesya.
Bia meraup wajahnya dengan kesal. Dan sedikit menggeram dengan suara tertahan. Semesta seolah mengatakan selamat datang untuk menghadapi masalah baru.
-959-
Jangan lupa pencet bintang!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya 🤫
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
No FicciónLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...