Pagi ini Kana bersemangat karena akan menjemput Bia setelah sekian lama tidak pernah berangkat bersama. Hal itu karena Bia yang selalu menolaknya dengan alasan tidak enak terus merepotkan.
Sebagai sahabat justru Kana merasa senang bisa membantu. Dibutuhkan oleh sahabat.
Konon katanya belum ada status sahabat jika belum melalui susah senang bersama. Sudah banyak hal-hal menyenangkan yang dilalui bersama. Kondisi Bia yang tidak sempurna tak membuatnya malu berteman dengan gadis itu.
Dalam perjalanan Kana tak henti-hentinya tersenyum lebar. Bahkan supirnya yang mengantarnya pun ikut terheran-heran dengan kelakuan anak bosnya itu.
Rencana ini sudah direncanakan sebulan yang lalu. Tapi baru terealisasikan sekarang. Bia lah yang membuat alasan bermacam-macam sehingga gagal untuk berangkat bersama.
Tak lama pun ia sampai di depan rumahnya Bia. Gerbangnya masih tertutup rapat dan terkunci. Kana harus menghubungi Bia jika dirinya sudah sampai.
Namun samar-samar ia mendengar percakapan yang tidak enak didengar. Ia putari dengan matanya rumah-rumah disekitarnya terlihat masih sepi, mungkin penghuninya masih sibuk di dalam.
Matanya terfokus pada dua orang yang tak jauh darinya. Namun terhalang oleh dedaunan. Sebisa mungkin Kana berusaha memfokuskan pandangannya.
Setelah terlihat jelas dirinya kaget melihat hal yang diluar dugaan.
Disana di depan rumah sahabatnya itu terdapat gadis yang duduk di kursi roda yang tak lain ialah Bia sendiri bersama Tesya yang menunjuk-nunjuk wajah Bia.
Melihat kemarahan Tesya membuat Kana ngeri melihatnya. Ingin rasanya ia mendinginkan amarah mamanya Bia tetapi ia tidak bisa masuk. Saat terlintas dipikirannya untuk memanjat pagar, pikirannya berkata jangan. Mereka punya urusan sendiri dan kita tidak boleh mencampuri.
Tak sampai disitu, Tesya juga terlihat menjewer telinga Bia. Wanita itu tidak ada sedikitpun rasa kasihan melihat wajah Bia yang kesakitan.
Melihat itu Kana jadi nafsu untuk mencakar-cakar wajah Tesya. Ternyata punya ibu tiri tidak se-enak yang Kana bayangkan.
Salah apa Bia sampai-sampai bisa diperlakukan seperti itu? Banyak pertanyaan yang Kana pendam. Ia harus menanyakan nanti dalam perjalanan ke sekolah.
Setelah sekian lama Kana menunggu perdebatan atau lebih tepatnya kemarahan Tesya usai jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Bia tersenyum sambil membuka pacarnya itu.
Kana langsung berhambur memeluk sahabatnya. Memberi ketenangan.
Bia tak menolaknya namun ada rasa bingung dengan sahabatnya itu. "Tumben, ada apa?"
Kana lebih dulu menjauh dari Bia,"nggak kok, ayo gue bantu."
Mungkin harus ada waktu lain untuk mempertanyakan apa yang dilihatnya tadi. Tidak mungkin sekarang karena mungkin saja bisa membuat mood Bia turun seketika.
Bia berhasil duduk di kursi penumpang. Disampingnya sudah ada Kana yang menemaninya. Gadis itu bersandar di bahu Bia. Tentu Bia aneh dengan kelakuan Kana yang tiba-tiba berubah manja terhadapnya.
"Ngapain sih, tanaman sukulen lo mati?"
"Enak aja, nggak ya, sehat-sehat semua kalau gue yang urus," balas Kana.
Dengan seenaknya Bia mendoakan tanaman kesayangannya mati. Itu tidak akan mungkin terjadi. Karena ia sudah merawatnya dengan sepenuh hati.
Tapi mengingat pertengkaran tadi, Kana jadi ingin tahu apa yang terjadi. Jiwa ingin tahunya berkobar-kobar. Seperti api yang bertemu dengan lembaran kertas.
"Lo... sama mama lo ada masalah apa, tadi gue lihat lo dimarahin."
"Oh, yang tadi. Gue lupa buang sampah karena keasyikan sama tugas-tugas sekolah." Bia menjawab dengan tenang. "Lo denger semuanya tadi? Udah lama dong lo nungguin gue," imbuhnya.
"Nggak begitu lama juga kok, tadi dengernya cuma samar-samar doang, mama lo nggak keras ngomongnya," kata Kana menjelaskan.
"Pasti lama, makanya besok-besok lo berangkat duluan aja nggak usah jemput gue segala. Emang lo pacar gue," gurau Bia cengengesan.
Kana mengangguk paham. "Iya kalau gue nggak jemput kak Fahri kan biasanya yang jemput."
"Cuma kebetulan berangkat bareng aja," alibinya. Padahal sudah sering berangkat bareng karena Fahri yang memaksanya. Tidak mungkin kan ia membongkar semuanya padahal Bia sedang berusaha menjauhi laki-laki itu.
"Alasan, gue sering lihat lo turun dari mobilnya kak Fahri ya. Ngomong-ngomong kalian ada hubungan apaan tuh," kata Kana yang berusaha menggoda. Alisnya ia naik turunkan. Menggoda orang yang sedang kasmaran adalah salah satu hobinya. Apalagi melihat seseorang salting.
"Udah bahas yang lain aja."
"Kenapa? Lo lagi jauhin kak Fahri ya?"
"Nggak biasa aja."
"Masa sih, kemarin kak Fahri nanya ke gue kenapa lo jauhin dia."
"Lo jawab apa?"
"Iya bilang nggak tahu gitu kan lo nggak pernah cerita."
***
"Bia! Tunggu!" teriak Fahri di koridor sekolah.
Sekolah sudah sepi, murid-murid sudah pulang sedari tadi tinggal beberapa yang disibukkan dengan kegiatan ekskulnya.
Bia tidak mau memberhentikan kursi rodanya. Ia ingin semakin cepat untuk sampai depan lalu menyetop taksi. Berbicara dengan Fahri sekarang rasanya tidak diperlukan.
Setelah berlari Fahri akhirnya bisa menjangkau kursi roda Bia. Ia berdiri tepat di depan Bia. Menatap intens mata gadis itu.
"Sorry kalau kehadiran gue buat lo kayak gini. Gue nggak bermaksud, semoga lo bisa maafin gue. Gue pamit ya, sekali lagi maaf dan terimakasih."
Fahri berbalik dan akan segera menuju parkiran. Namun suara Bia menghentikan langkahnya.
"Lo mau kemana?"
"Pindah sekolah kalau jadi, tapi gue masih mikirin gimana baiknya."
Fahri menjawab dengan tak berbalik sedikitpun. Bia yang berada dibelakangnya tak ia hiraukan. Ia harus menyelesaikan semuanya. Dengan mengakhiri kedekatan antara dirinya dan Bia.
Alasan apa yang membuat cowok itu memutuskan untuk pindah sekolah. Bia menggapi dengan bingung. Apalagi Fahri sudah kelas dua belas. Beradaptasi bukanlah hal mudah.
"Kenapa?" beo Bia pada akhirnya.
"Nggak. Lo juga nggak ngasih tau kan alasan lo ngejauhin gue. Tapi sekarang gue udah tau semuanya."
"Terus lo pindah sekolah karena apa?" desak Bia sekali lagi.
"Pengen aja."
"Nggak mungkin pasti ada alasan."
"Ya, lo bener. Lo juga ngejauhin gue ada alasan. Sama kayak gue, gue mau pindah juga ada alasan."
"Kenapa mesti harus pindah?"
"Kenapa juga lo mesti ngejauhin gue?"
"Gue tanya kenapa lo pindah, jawab dulu pertanyaan gue."
"Gue juga belum mendengar dari lo langsung kan kenapa lo ngejauh dari gue. Kita impas kita sama."
"Kenapa lo mikir gue ngejauhin lo?"
"Faktanya emang gitu."
Fahri mengakhiri semuanya. Cowok itu sudah melangkah meninggalkan Bia. Tentunya dengan kekecewaan. Bahkan saat dirinya akan pindah sekolah, Bia masih tidak menjelaskan alasan mengapa menjauh darinya. Meski ia sudah mendengar fakta dari mamanya Bia.
Bia menatap nanar kepergian Fahri. Cowok itu rupanya marah dengan dirinya. Tapi karena apa, menjauh pun seharusnya Fahri tak mempermasalahkannya.
Mungkin membiarkan Fahri tenang adalah pilihan yang bagus. Besok ia akan berupaya supaya bisa bicara empat mata dengan Fahri. Dan menjelaskan semuanya. Semoga bisa mengerti.
#Ditulis 1035 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Segenggam Luka (COMPLETED)
NonfiksiLuana Ravabia Azada, kerap dipanggil Bia. Sesuai namanya, dalam menjalani kehidupannya sangatlah kuat dan tangguh dalam menghadapi suasana sekitar, sekalipun itu buruk. Gadis SMA yang bisa menikmati sekolahnya hanya dengan duduk di kursi roda tanpa...