21. A Conversation

18.5K 1.4K 72
                                    

Aku menyesap kopi itu dalam-dalam, menikmati setiap teguknya sembari menatap pemandangan kanal di depanku. Pagi ini tidak begitu ramai, mungkin karena ini bukan akhir pekan dan sudah lewat dari jam sarapan. Hanya segelintir turis sibuk mengabadikan potret diri mereka di kanal itu, sambil berbicara dalam bahasa asing yang beragam.

Aku baru saja mencomot sebuah bitterballen ketika kursi kosong di sampingku diduduki seseorang. Dengan ujung mata aku melirik Mas Arsya meletakkan ranselnya di bawah meja dan menempati kursi kosong itu.

"Telat sepuluh menit," seruku.

"Sorry. Mbak Rani mual lumayan hebat pagi ini, jadi butuh waktu buat nenangin." Mas Arsya menjawab pelan. "For me?"

Aku melirik kopi hitam tanpa gula yang kupesan untuknya. Itu kopi kesukaannya, dan sampai sekarang aku masih enggak paham kenapa dia bisa minum kopi pahit itu.

Mas Arsya meneguk kopinya, dan aku memanfaatkan waktu itu untuk mempelajari keadaannya. Dia tampak lelah, dengan kantung mata yang tidak bisa disembunyikan. Namun, ada binar lain di matanya, yang membuatku yakin kalau kakakku ini baik-baik saja.

"Mbak Rani di mana?" tanyaku.

Mas Arsya menunjuk gedung bertingkat dua di seberang kanal. Gedung itu punya bentuk khas Belanda, dengan bentuk ramping dan atap tinggi berbentuk segitiga, lengkap dengan jendela besar di kedua lantai, dengan bangunan lain berbentuk sama di sepanjang sisi kanal.

"Pemotretan di sana."

"Dia masih kerja?"

Mas Arsya terkekeh. "Katanya mumpung belum ada baby bump. Cuma menyelesaikan sisa kontrak."

Aku tersenyum pelan. Kakak iparku itu selalu bisa mengejutkanku. Termasuk, ketika dia bisa menerima kakakku dengan tangan terbuka, itu jelas sebuah kejutan besar untukku.

Selama ini aku hanya mengenalnya sebagai model sekaligus aktris yang terkenal. Sama sekali tidak menduga kalau bintang besar seperti dia kemudian jatuh cinta kepada kakakku. Hidup mereka bagai langit dan bumi. Kalau dipikir-pikir tidak ada satu pun kesamaan di antara mereka.

Banyak yang bertanya kenapa mereka bisa saling jatuh cinta? Seorang model internasional dan dosen sederhana. Itu sebuah lelucon. Atau karangan di novel semata. Di dunia nyata? Itu jelas sebuah kemustahilan.

Namun, kakakku ini membantah semua kemustahilan itu.

Seandainya aku juga bisa melakukan hal yang sama, menolak semua kemustahilan dan mewujudkan sesuatu yang tidak pasti, menjadi sebuah kemungkinan.

"Enough about me. How are you?" tanya Mas Arsya sambil mencomot sebuah bitterballen. "Kuliah lancar?"

Aku mengangguk. "Sebentar lagi kelar."

"Jangan balik ke Indonesia dulu sampai keponakanmu lahir." Mas Arsya terkekeh.

"I will," sahutku. "Boy or girl?"

"Girls."

Aku mendelik. "Kembar?"

"Yup." Mas Arsya tersenyum semringah. "Rani mau punya anak dua sebelum ulang tahun ke-35. Ternyata langsung dikasih dua. Rezeki."

Melihat Mas Arsya tersenyum lebar seperti ini, kebahagiaannya ikut menular kepadaku. Selama bertahun-tahun aku selalu melihatnya menanggung kesusahan karena ayahku yang tidak bertanggung jawab. Sekarang sepertinya dia tengah menabur karma baik untuknya dalam bentuk Mbak Rani.

Dan calon anak mereka.

"How about you?" Mas Arsya menatapku dengan tatapan serius.

"Ya gini-gini aja, Mas. Pusing sama tugas kuliah."

Beautiful Mistake: A Short Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang