10. One Day in Kyoto

19.2K 1.3K 65
                                    

"Kamu lagi di Kyoto?"

Chat itu sudah masuk ke ponselku sejak satu jam yang lalu, tapi aku masih enggan untuk menjawabnya.

"Aku nyusul ya. Kebetulan aku ada flight ke Osaka."

Chat kedua, aku terima 26 menit yang lalu.

Percuma untuk menjawab tidak karena toh dia sudah tahu aku ada di Kyoto. Selama sembilan hari, aku memutuskan untuk solo traveling ke Jepang, memanfaatkan waktu ini untuk reconnecting dengan diriku sendiri.

Aku butuh waktu untuk sendiri. Waktu untuk mengenal kembali siapa diriku. Tiga tahun terakhir terasa berjalan dengan sangat cepat. Aku jatuh cinta, lalu patah hati. Aku kehilangan pekerjaan, lalu mendapat pekerjaan baru. Hingga akhirnya aku merasa lelah dan kepalaku nyaris mau meledak.

Ini hari keempat aku di Jepang. Saat ini aku berada di Kameoka. Sikap spontan membawaku ke desa kecil ini, untuk kemudian naik perahu selama dua jam mengarungi sungai Hozugawa yang tenang. Hanya aku yang benar-benar sendirian di sini.

Aku menatap ponsel itu, sesaat sebelum perahu bergerak.

"Aku di Kameoka, naik perahu di sungai Hozugawa. Dua jam lagi baru sampai Arashiyama."

"Oke. Aku naik kereta ke Kyoto sekarang. Sampai bertemu di Arashiyama."

Pesan itu kubiarkan begitu saja, tidak berniat untuk membalasnya.

Aku pernah mempercayai janjinya. Juga mempercayai dia. Namun, semuanya berakhir sia-sia enam bulan yang lalu.

**

Kali ini, dia menepati janjinya.

Sosoknya menjadi yang pertama kulihat ketika petugas perahu membantuku turun dari perahu. Dia berdiri di pinggir jalan, memandang ke arah perahu yang membawaku. Dia mengenakan kaus biru muda yang dulu kubelikan untuknya. Dia melambaikan tangan ke arahku, mungkin dia khawatir aku tidak melihatnya.

Bagaimana mungkin aku bisa mengalihkan perhatian darinya?

Enam bulan berlalu semenjak kami memutuskan untuk berpisah jalan. Bukan keputusan impulsif, karena aku sudah menyadari bahwa hubungan kami sia-sia. Sekian lama aku berperang dengan pikiranku sendiri, untuk melepaskannya tapi hatiku masih merasa enggan. Aku masih membutuhkannya. Aku masih menginginkannya. Namun, akhirnya aku tiba di titik yang mengharuskanku untuk mengakhiri semua ketidakjelasan ini.

Kami berpisah. Begitu saja. Seakan waktu tiga tahun yang kami jalani hanyalah bayangan semu yang hadir untuk memberikan ilusi semata.

"Apa kabar?" tanyaku, ketika sampai di anak tangga terakhir yang membawaku mendekatinya.

"Baik."

"Kapan sampai di Osaka?"

"Tadi pagi." Dia mempersilakanku untuk jalan duluan, sebelum dia menjajari langkahku.

"Pasti capek langsung ke sini."

Dia hanya tertawa singkat. "Tidak apa. Aku ingin ketemu kamu." Dia menunjuk kedai kopi kecil yang sangat terkenal di Kyoto. "Kamu mau kopi?"

Aku menggeleng. "Tidak. Aku sudah berhenti minum kopi."

Aku terpaksa berhenti minum kopi, karena minuman itu selalu mengingatkanku kepadanya.

"Oke." Dia menggenggam tanganku saat kami menyeberang. Kebiasaan kecilnya yang rupanya masih terbawa hingga sekarang, meskipun kami sudah tidak memiliki hubungan lagi. "Kamu mau ke mana setelah ini?"

"Bamboo forest," ujarku.

"Aku tahu jalannya."

Dia masih menggenggam tanganku ketika kami melewati kedai kopi itu dan menelusuri jalanan yang lengang menuju hutan bambu yang sangat terkenal di Arashiyama. Tentu saja dia sudah mengetahui jalanan di sini.

Beautiful Mistake: A Short Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang