"Damn, Taryn. You're so tight."
Aku menutup mata, sementara di atasku, Om Daniel masih memacu dirinya di dalam tubuhku. Dia menceracau sejak tadi, memberikan pujian yang tidak ada artinya itu.
Tidak ada rasa apa-apa, selain kosong.
"Yes, Taryn. Damn, you're good."
Aku melengkungkan punggung ketika racauan Om Daniel terdengar semakin tidak beraturan. Dia seperti orang yang sedang kumur-kumur. Entah apa saja dikatakannya, aku tidak peduli.
Tidak ada rasa apa-apa selain hampa.
"Yes..." Om Daniel melenguh puas setelah dia menghentak dengan sangat keras, seiring dengan rasa puas yang dirasakannya.
Sementara itu, aku masih tidak merasakan apa-apa.
Om Daniel berguling turun dari tubuhku. Di sampingku, dia terkapar dengan napas tersengal-sengal. Aku meliriknya, mengernyit jijik melihat perut buncitnya yang sangat besar itu, sampai-sampai kejantanannya tertimbun.
"Thanks, Taryn."
Aku mengangkat tubuh, tepat sebelum Om Daniel menciumku. Dia boleh saja memanfaatkan tubuhku, tapi jangan harap dia bisa menciumku.
Tidak menghiraukan Om Daniel yang merengek memintaku untuk kembali ke tempat tidur, aku malah melenggang meninggalkannya. Aku mengunci pintu kamar mandi. Terakhir kali, Om Daniel nekat menyusulku ke kamar mandi karena merasa masih belum puas.
Aku menatap bayanganku di cermin besar itu. Saat menatap pantulan bayanganku, aku melihat tatapan kosong. Tatapan seperti orang mati, karena itulah tatapan terakhir yang kulihat saat mendapati Mama terkapar tidak berdaya di kamar dengan darah mengalir dari nadinya yang terbuka.
Setelah membersihkan diri, aku pun keluar dari kamar mandi.
Aku tidak menggubris Om Daniel yang saat ini tengah berbaring di tempat tidur. Perut buncitnya itu membuatnya seperti paus yang sedang terdampar.
"Ayolah, masa kamu sudah mau pergi."
Aku tidak menjawab, hanya sibuk memasang kembali pakaianku.
"Kamu enggak mau menginap di sini saja?" Om Daniel membujukku.
"Om tahu aku enggak pernah menginap."
Di belakangku, Om Daniel terkekeh. "Taryn, kamu memang spesial. Om punya sesuatu untukmu."
Tidak lama, di hadapanku ada paper bag dengan logo GUCCI di atasnya. Aku hanya meliriknya tanpa minat.
"Untukmu, buat dipakai kuliah."
"Enggak butuh," tolakku. Aku meraih celana jins dan memakainya.
"Ayolah, masa kamu tolak lagi. Om beliin ini buat kamu."
"Om tahu aku enggak terima hadiah. Kalau cuma tas itu, aku bisa minta Papa buat beliin."
Papa tidak akan menolak. Baginya uang tidak masalah selama aku tidak merecoki urusannya.
"Izinin om kasih sesuatu."
Setelah berpakaian lengkap, aku menghadap Om Daniel.
"Aku enggak butuh uang atau hadiah. Aku melakukan ini bukan untuk uang, Om tahu itu."
Om Daniel masih berusaha membujukku agar mau menerima tas pemberiannya.
"Kamu mau apa?"
Aku terdiam, sebelum akhirnya tersenyum. "Kita bisa bertemu lagi bulan depan. Dah, Om."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mistake: A Short Story Collection
Cerita PendekBuku ini dikhususkan untuk kumpulan cerpen yang saling berdiri sendiri. Kadang, bisa menceritakan tentang kisah di buku lainnya, atau tokoh pendamping yang muncul di buku lainnya. Bisa juga, cerita yang murni berdiri sendiri. Enjoy!!!