20. Sex Toy

23K 1.3K 106
                                    

"No ... no ..." Aku menginjak gas dalam-dalam dan memacu mobil. Fokusku hanya ada pada satu tempat, celah kosong di ujung parkiran ini dan muat untuk satu mobil.

Rasanya seperti ada di adegan Fast and Furious, karena dari arah berlawanan, aku melihat ada mobil lain yang juga menuju ke arah yang sama.

Sudah enggak ada waktu untuk mencari parkiran lain, jadi aku harus bisa menguasai spot kosong itu.

"Yes," sorakku kencang, ketika moncong mobilku lebih dulu masuk ke spot sempit itu.

Aku menulikan telinga dari klakson yang ribut di belakangku. Siapa pun yang ada di mobil itu, pasti tengah mengumpat karena kalah di detik terakhir.

I don't care. Enggak ada waktu untuk mengasihani orang lain.

Setelah memastikan mobilku terparkir dengan pas, aku meraih tas di jok belakang dan buru-buru keluar. Bunyi beep memberitahu bahwa mobilku sudah terkunci. Aku berusaha melangkah cepat, setidaknya secepat yang dimungkinkan oleh sepatu hak tinggi yang kupakai.

"What the hell?" Suara itu terdengar menggelegar di lantai basement yang hening ini.

Di dekat mobilku, seorang pria tengah menatapku garang. Dia pasti si pemilik mobil putih yang terparkir paralel di belakang mobilku. Dari raut wajahnya yang siap mengajakku baku hantam di parkiran ini, pasti dia enggak merelakan spot parkir itu.

"Sorry." Aku berkata asal, dan berlalu begitu saja.

Namun, dia keburu mencekalku, membuatku terpaksa menghentikan langkah.

Kini, aku yang menatapnya dengan tatapan paling garang yang kumiliki. Siap mengajaknya baku hantam karena sudah membuang menitku dengan sia-sia. Dia enggak tahu apa kalau satu menit itu berharga banget?

"Gue udah kasih kode buat parkir di sini. Lo buta?"

Aku mendengus. "Lo pasti orang baru, ya?"

"Hah?"

Aku berusaha memasang wajah sabar. "Asal lo tahu, parkiran ini sudah jadi battle ground tiap pagi. Mau lo kasih kode dari jarak sepuluh kilo juga enggak bakal ada yang peduli. Siapa cepat, dia dapat. Yang kalah dilarang protes. Now, excuse me."

Usai merepet cepat, aku berbalik dan meninggalkan pria itu, yang kini sibuk mengumpat di belakangku.

Tiga tahun bekerja di sini membuatku siap berubah jadi hyena kelaparan kalau sudah menyangkut tempat parkir. Apalagi pagi seperti ini, di saat semua orang saling sikut-sikutan demi satu spot parkiran.

Aku berhenti di depan lift, sambil mengecek isi tas. Sekadar memastikan enggak ada barang penting yang ketinggalan.

Today is the big day. Hari penting yang sudah kutunggu-tunggu semenjak satu bulan lalu, ketika pihak HR akhirnya mengumumkan kalau mereka sudah menemukan pengganti Pak Ihsan. Si Pengganti siap bekerja hari ini, makanya sengaja diatur meeting di Senin pagi. Bukan waktu yang menyenangkan untuk meeting, tapi bagiku ini sangat penting.

Aku sudah kehabisan kesabaran setiap hari harus berantem dengan Pak Ihsan, sang boomers sejati, yang menganggap generasi di bawahnya sangat enggak bisa diandalkan. Padahal dia yang stuck di era 90-an, jadi enggak tahu apa yang sedang terjadi di masa kini.

Memaksakan selera tuanya ke dalam bisnis media jelas sebuah kesalahan besar.

Aku satu dari segelintir orang yang terang-terangan menunjukkan perasaan girang ketika Pak Ihsan mengambil pensiun dini. Berkurang sudah satu penyebab sakit kepalaku.

Meski aku enggak tahu Si Pengganti ini seperti apa, tapi dari penjelasan HR, dia masih muda. Mid 30s, kalau aku enggak salah. Well ... at least dia bukan boomers yang stuck di zaman baheula.

Lamunanku terhenti ketika seseorang dengan sengaja menyenggolku ketika aku melangkah masuk ke dalam lift. Aku terhuyung, cepat-cepat menyambar sesuatu yang bisa kupegang agar enggak terjatuh.

Siapa pun yang menyenggolku jelas sengaja cari masalah. Lift ini sepi, enggak ada alasan enggak sengaja menyenggol karena enggak perlu berebutan.

Akhirnya aku berhasil memegang dinding lift dan mendapatkan kembali keseimbanganku. Sialnya, aku malah melepaskan pegangan di tas sehingga isinya berserakan di lantai.

Aku mengerang, sekaligus berbalik untuk mengonfrontasi si biang masalah.

Hanya ada satu makhluk di dalam lift itu, dan kini tengah tertawa menyebalkan.

"Lo ..."

Pria yang ada di dalam lift itu menatapku dengan sebelah alis terangkat dan senyum miring yang menyebalkan. Butuh berapa detik untuk menyadari kalau dia yang tadi bermasalah denganku di parkiran.

Aku mengentakkan kaki, menelan kembali kata-kataku. Percuma buang-buang energi pagi-pagi begini. Jadi, aku pun berjongkok untuk mengemasi barang-barangku.

Tanpa sengaja aku menyenggol kotak hitam yang ikut tumpah dari dalam tas dan isinya menggelinding hingga ke dekat kaki pria sialan itu.

Sedetik kemudian, aku mendapatinya mengambil benda itu dengan tawa yang makin kencang.

"What a nice toy," ledeknya, dan mengacungkan vibrator sialan itu tepat di depanku.

Aku merebutnya sambil mengutuk kecerobohanku dalam hati. Vibrator itu bukan punyaku, tapi milik temanku, irene, yang entah gimana caranya bisa ketinggalan di apartemenku. Dia menyuruhku membawanya hari ini untuk dikembalikan.

Pria sialan ini pasti menyangka kalau vibrator itu punyaku.

Ada lagi yang lebih memalukan dibanding ini?

"Boleh, ya, bawa mainan ke kantor?"

Aku menatapnya dengan tatapan garang. "None of your business."

Untung saja, pintu lift terbuka dan aku langsung menghambur keluar. Dalam hati, aku bertekad harus membuat perhitungan dengan Irene.

Namun, sekarang enggak ada waktu untuk mengurus vibrator sialan itu. Aku hanya punya waktu untuk meletakkan tas di ruanganku, lalu membawa laptop sambil setengah berlari menuju ruang meeting. Sudah pukul delapan tepat, enggak lucu kalau aku telat di meeting sepenting ini.

"Kirei, tumben telat," sapa Daud, editor dari media sebelah.

Aku hanya menyengir kecil. Setelah meletakkan laptop di atas meja, aku beranjak menuju sudut ruang meeting dan menyeduh kopi. Aku butuh kopi, untuk mengembalikan mood yang berantakan gara-gara pria sialan itu.

Ruang meeting yang tadinya riuh, kini hening. Sambil membawa cangkir kertas berisi kopi panas, aku kembali ke kursi yang kutempati.

Pak Lilik, si Bos Besar, juga hadir di meeting ini. Ketika sosoknya muncul di ruang meeting, aura mencekam langsung terasa. Bukan tanpa alasan dia dijuluki Dementor, karena kehadirannya selalu berhasil menimbulkan teror.

Seperti kali ini.

Namun, pagi ini, bukan Pak Lilik yang membuatku serasa mendapat mimpi buruk. Melainkan sosok yang ikut masuk ke ruang meeting bersamanya.

Pria yang bermasalah denganku di parkiran.

Juga pria yang sengaja menyenggolku saat masuk lift dan mengakibatkan isi tasku berserakan.

Plus, pria yang menatapku dengan vibrator di tangannya.

Tadinya aku pikir enggak ada yang lebih memalukan ketimbang kejadian di lift, tapi detik ini, ketika Pak Lilik memberitahu soal pengganti Pak Ihsan, rasanya ingin lenyap saja dari ruang meeting ini.

Bagaimana mungkin Si Pengganti adalah pria yang sejak satu menit yang lalu mendapat predikat menyebalkan dariku?

Kini, pria itu menatapku dengan senyum miringnya yang menyebalkan.

Beautiful Mistake: A Short Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang