12. Manusia Bodoh

17.7K 1.3K 64
                                    

Pintu kamar kos terbuka dan menampakkan sosok Mya berdiri di sana. Wajahnya ditekuk, seperti baju kusut yang belum disetrika. Sambil menghentakkan kaki, Mya melangkah masuk, bahkan sebelum aku izinkan.

Dia memang sudah menganggap kosanku ini sebagai rumahnya sendiri, saking seringnya dia menghabiskan waktu di sini.

"Bagi, ya."

Mya mengambil kaleng bir yang ada di meja dan meneguknya sampai habis.

Melihat Mya dengan tampang amburadul seperti ini bukan hal baru. Belasan tahun berteman dengannya membuatku sangat mengenal tabiat perempuan satu ini.

"Patah hati lagi?"

Mya mendelik, tidak menjawab tapi wajahnya yang keruh cukup sebagai konfirmasi atas jawabanku.

Aku ikut duduk di sebelahnya. "Lo naksir siapa lagi?"

"Bos gue."

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak tertawa. Bukannya tidak berempati dengan penderitaan Mya, tapi aku sudah terlalu sering melihatnya seperti ini. Dia begitu mudah luluh oleh perhatian. Satu kebaikan saja bisa membuat hatinya berbunga-bunga. Perhatian berlebih, seminim apa pun itu, sudah membuatnya bahagia setengah mati. Beragam khayalan mulai memenuhi benaknya, dan dia pun jadi seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri sepanjang hari.

Jadi, ketika bosnya itu mengantarnya pulang karena kemalaman saat lembur, Mya langsung baper setengah mati. Begitu juga ketika bosnya itu mengajaknya makan siang karena ingin membahas pekerjaannya selama magang, Mya menafsirkan ajakan itu sebagai ajakan kencan. Dan, ketika program magangnya habis dan hubungan dengan si Pak Bos enggak berlanjut, Mya langsung uring-uringan.

Dia kembali semringah ketika bosnya itu datang lagi dan menawarkan pekerjaan. Mya langsung setuju saat itu juga. Padahal aku sudah menyuruhnya mempertimbangkan masak-masak. Dia itu pintar, dengan sederet prestasi hasil lomba yang dimilikinya, dia bisa melamar kerja ke perusahaan mana saja. Namun, perusahaan baru itu lebih memikat baginya. Tentu saja, karena si Pak Bos tersayang ada di sana.

Aku tidak habis pikir, guna-guna apa yang dimiliki si Pak Bos sampai-sampai Mya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Ikut aja apa kata si Bos. Ganteng, sih, meski sebagai cowok normal aku enggan untuk mengakui kegantengan cowok lain.

Ini memang bukan pertama kali Mya naksir seseorang, tapi berdasarkan pengalamanku yang selalu menjadi saksi mata kisah percintaan Mya, sepertinya kali ini dia benar-benar jatuh cinta.

Fase Mya jatuh cinta sampai akhirnya menyadari perasaannya tak berbalas biasanya berlangsung singkat. Karena itu, ketika Mya masih menangisi si Pak Bos, lalu kembali tertawa bahagia ketika dapat tawaran pekerjaan, aku cukup salut.

Anak satu ini sepertinya kena getahnya.

Tentu saja, aku tidak berkata terang-terangan di depan dia.

"Dia nolak lo?"

Yup, Mya kadang nekat. Kalau sudah naksir dan si cowok enggak ada gelagat apa-apa, dia mengambil inisiatif duluan. Lalu, dimulailah fase patah hati Mya. Dia pasti langsung menghampiriku untuk curhat soal patah hatinya.

"Boro-boro nembak. Dia udah punya pacar ternyata." Mya menjawab dengan nada kesal.

"Oh gitu." Aku mengangguk-anggukkan kepala, berusaha mencari kalimat penghiburan yang ampuh.

"Kirain dia ngajak gue kerja karena suka sama gue." Mya tertunduk.

"Terus gimana? Lo baru kerja seminggu, masa udah mau resign?"

Mya menatapku horor. "Ya enggaklah."

"Terus?"

Mya menghela napas panjang. "Gue bisa kok sandiwara depan dia seolah-olah enggak ada apa-apa. Tapi, pas lihat dia sama cewek itu, gue rasanya pengin marah tapi gue tahu gue enggak bisa apa-apa."

Beautiful Mistake: A Short Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang