13. The Boss and The Intern

22.2K 1.5K 115
                                    

"First day at office. Yes, now I'm working as intern at Arte. Looking forward to this new opportunity.

PS: Do you see the man beside me? He's the boss, also the man behind the canvas."

**

Dari skala satu sampai sepuluh, mau tidak mau aku harus memberi skor delapan untuk Azka. Kekurangan dia hanya satu, tapi itu sangat fatal.

Dia memberikan Rachel-vibe.

Bukannya aku pernah dibuat sakit hati oleh perempuan bernama Rachel. Tapi, mantan kakak iparku itu membuatku antipati terhadap perempuan yang sejenis dengannya.

Anak manja dari keluarga kaya, tidak jelas apa tujuannya bekerja sehingga patut diragukan bagaimana kinerjanya nanti, dan si biang masalah.

Kakak tertuaku sudah cukup menjadi korban dari perempuan seperti itu.

Aku sudah bersumpah untuk tidak ingin terlibat masalah dengan perempuan sejenis Rachel. Namun, sepertinya aku harus menelan sumpah itu.

Tidak ada pilihan lain selain Azka.

Aku hanya punya lima kandidat. Dua orang sudah kucoret karena sama sekali tidak paham dengan lukisan, dan menganggap tahu nama Monet berarti sudah ahli dalam hal ini. Aku tidak tahu apa alasan mereka melamar pekerjaan ini.

Satu orang terpaksa kucoret karena lagaknya yang sombong. Seolah-olah dirinya kritikus seni. Padahal, menulis nama Dali saja salah.

Tinggal dua pilihan, dan salah satunya Azka. Dia yang paling paham soal seni, bahkan dia memamerkan foto-foto ketika dia berkunjung ke galeri seni di berbagai negara. Dia langsung menebak dengan tebak aliran apa yang kuanut, hanya dari melihat lukisanku. Dia bisa memberikan opini, tapi kritik menjatuhkan juga bukan lip service yang terdengar palsu.

Kalau saja aku bisa menemukan kekurangan fatal lainnya, sehingga bisa mencoret namanya dengan mudah.

"Gimana, udah ketemu?"

Aku mendongak dan mendapati kakakku, Rani, memasuki studio yang juga menjadi ruang kerjaku.

"Belum."

Tanpa diminta, dia meraih tablet yang kuletakkan di atas meja. Dia pun meneliti setiap catatan yang kuberikan di setiap kandidat.

Beruntung aku tidak menulis Rachel-vibe di nama Azka.

"She's good. Azka, I mean."

Aku hanya mendengung singkat. Ketika menghadap canvas, untuk pertama kalinya aku tidak bisa menuangkan isi kepalaku di canvas.

"Dia calon paling kuat."

Sekali lagi, aku hanya mengangguk singkat.

"Lalu, kurangnya apa?"

"Terlalu bersemangat."

Mbak Rani tertawa. "Kalau lo mencari karyawan yang sama kayak lo, bisa berhari-hari mengurung diri di studio seperti ini dan enggak peduli dengan dunia luar, gue yakin galeri itu umurnya cuma seminggu."

Aku hanya meliriknya tanpa berminat untuk membantahnya. Bagi orang seperti Rani yang 90% hidupnya dihabiskan di dunia luar, bercengkrama dengan banyak orang, kebiasaanku mendekam di studio sambil melukis dirasa membosankan.

Namun di mataku, kehidupan seperti yang dijalaninya itu melelahkan.

"Wow, dia punya followers lima ratus ribu di Instagram?"

Itu satu lagi faktor yang membuatku enggan memilih Azka. Dia memamerkan Instagram miliknya ketika interview, walaupun tadinya dia hanya menunjukkan foto-fotonya ketika berkunjung ke galeri.

Beautiful Mistake: A Short Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang