Apa yang aku cari sebenarnya?
Pekerjaan tetap demi terjaganya keseimbangan dalam pemasukan bulananku, sehingga aku tidak perlu khawatir setiap hari harus makan apa hari ini?
Sebuah eksistensi diri yang membuat otakku bisa terus bekerja dan berpikir sehingga tidak terjebak dalam rasa frustrasi karena tidak bisa melakukan apa-apa?
Jujur, aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku cari setiap hari. Rasanya hidupku terlalu monoton. Berjalan begitu saja, tanpa riak, tanpa ada hal yang membuatku bersemangat. Aku bangun, bersiap untuk ke kantor, bekerja, lalu pulang dengan tubuh lelah di malam hari. Tidak jarang aku terpaksa pulang melebihi jam kantor yang seharusnya karena pekerjaan yang menumpuk atau dorongan sosialisasi yang membuatku sadar akan eksistensiku di dunia ini.
Lalu, apa yang aku cari?
Aku tidak tahu.
Aku merebahkan kepala ke sandaran kursi MRT sementara kereta ini membawaku pulang dalam keadaan tubuh lelah. Di saat seperti ini, otakku bisa berkelana ke mana-mana. Memikirkan hal yang tidak seharusnya kukhawatirkan. Padahal, seharusnya aku memanfaatkan momen beberapa menit ini untuk mengistirahatkan isi kepalaku.
Panggilan di interkom yang memberitahu MRT ini akan berhenti di Cipete membuatku terbangun. Aku bangkit berdiri, meski susah payah menyeret tubuh lelahku untuk berdiri.
Keadaan stasiun malam ini sudah sepi. Tidak heran, karena aku menaiki kereta terakhir. Sudah hampir tengah malam, dan aku masih harus berjuang melawan jalanan agar bisa mengistirahatkan tubuh sepenuhnya.
"Excuse me."
Seseorang menyapaku. Dengan enggan aku mengangkat wajah dari layar ponsel dan menghentikan kesibukanku memesan mobil yang akan membawaku pulang. Mataku beradu pandang dengan seorang pria dengan wajah yang sama lelahnya denganku. Dia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku dan kancing atas yang terbuka, sementara dia menenteng jas dan menyandang ransel hitam.
Dia menatapku lekat-lekat, membuatku khawatir. Seketika rasa lelahku hilang, berganti kewaspadaan tingkat tinggi. Refleks aku memegang tali tas kencang-kencang dan menyimpan ponselku.
Dia boleh terlihat seperti pekerja kantoran yang umum kulihat di area Sudirman, tapi hari gini penjahat tidak lagi tampak seperti penjahat. Bisa saja dia berkamuflase dan tampak seperti seorang eksekutif muda.
"Maaf sudah membuatmu takut," ujarnya lagi.
Aku menatapnya dengan mata memicing. "Ada apa?"
Beragam pikiran jelek memenuhi benakku. Bagaimana kalau dia agen asuransi atau agen MLM yang harus memenuhi kuota hari ini, sehingga mendesakku untuk membeli apa pun yang ditawarkannya? Tidak, aku tidak boleh terlena.
"Saya lihat kamu memesan Grab ke Cipete. Boleh saya ikut di mobil itu?"
Pertanyaannya membuatku melongo. Hilang sudah semua pikiran jelek yang sempat terlintas di benakku. Bagaimana caranya dia tahu aku sedang memesan Grab untuk ke Cipete?
Seolah menyadari kebingunganku, dia menyodorkan ponselnya. "Ponselku mati dan tidak ada power bank. Saya tidak sengaja melihatmu memesan Grab untuk ke Cipete. Saya juga mau ke Cipete, dan kalau kamu tidak keberatan, kamu bisa memesan dua tempat?"
Mungkin tampangku seperti orang bodoh saat ini, karena melongo mendengar pertanyaannya.
"Kan, ada taksi," ujarku, setelah berhasil menguasai diri.
Not in a million ways aku mau semobil dengan orang asing. Walaupun orang asingnya seperti model yang keluar dari katalog Abercrimbie & Fitch ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mistake: A Short Story Collection
KurzgeschichtenBuku ini dikhususkan untuk kumpulan cerpen yang saling berdiri sendiri. Kadang, bisa menceritakan tentang kisah di buku lainnya, atau tokoh pendamping yang muncul di buku lainnya. Bisa juga, cerita yang murni berdiri sendiri. Enjoy!!!