SY 10 : JAKA

11.3K 938 80
                                    

"Ma.." panggil Gyan.

Pria paruh baya itu mendudukkan diri disamping istrinya yang tengah asik menonton layar besar di ruang tengah. "Hm?" gumam Gisella.

"Apa Mama masih ingat dengan pria tujuh belas tahun lalu?" tanya Gyan yang dibalas kerutan kening dari wanita yang berstatus istrinya itu.

"Pria? Siapa?"

"Pria yang pernah membantu Mama"

"Ah, dia." Gisella mengangguk pelan. "Iya, Mama ingat. Kenapa Papa bertanya tentang pria itu?"

Gyan membuang napas pelan. Dia sendiri juga tidak tahu, tiba-tiba saja ia teringat akan pria yang ia tahu bernama Jaka itu. "Ya.. Hanya bertanya saja. Ini sudah tujuh belas tahun berlalu, bagaimana dengan kabar pria itu sekarang?"

"Mana Mama tahu. Mama sudah tidak menghubungi dia lagi." Jawab Gisella santai. Wanita itu masih menikmati kegiatannya menonton televisi.

Gyan mengeryitkan keningnya, "Kenapa? Papa kira Mama masih memiliki kontak dengan dia."

"Pa.. Mama sudah tidak berurusan lagi dengan Jaka. Kita hanya berurusan dalam rencana untuk Rania. Itu bahkan sudah berlalu tujuh belas tahun lamanya. Jadi untuk apa Mama berurusan lagi dengan dia?" ujarnya sambil menatapa jengah Gyan.

"Lagipula, kenapa tiba-tiba ingin tahu tentang Jaka?" tanya Gisella.

Gyan sesaat diam. Kemudian berkata, "Papa juga tidak tahu, Ma. Firasat Papa tiba-tiba merasa tidak enak saja."

Gisella menghela napas, "Sudahlah, Pa. Itu hanya firasat semata. Firasat tidak selalu benar. Lagipula sekarang keadaannya baik-baik saja, kan, meski sudah tujuh belas berlalu? Jadi tidak perlu yang kita khawatirkan karena firasat Papa yang tak beralasan itu."

"Itu hanya masa lalu. Jadi masa lalu biarlah berlalu. Yang kita pikirkan sekarang itu masa depan, Pa. Mungkin Jaka sudah bahagia dengan keluarganya diluar sana. Kita tidak perlu memikirkannya. Rencana terhadap Rania juga sudah terjadi dan berhasil. Liam juga akan menikahi Silfia. Semua akan baik-baik saja." Setelah berkata panjang lebar, Gisella kembali memfokuskan diri ke arah televisi itu. Ada-ada saja Papa ini, batinnya.

Gyan hanya diam. Menatap wajah Gisella dengan tatapan yang sulit diartikan.

Tanpa mereka sadari, di balik dinding yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah itu. Ada dua orang yang sedaritadi mencuri dengar perbincangannya mereka. Salah satu dari orang disana, mengepalkan tangannya geram hingga memerah karena amarah.

~17 Years~

"Ada apa, Johan?" tanya Liam pada pria muda yang baru saja masuk ke dalam ruang kantornya.

"Saya juga tidak tahu, Tuan. Dia memaksa untuk bertemu dengan Anda." Jawab Johan. Ia baru saja dari lantai dasar untuk melihat seseorang yang ia dengar dari resepsionis telah menyebabkan keributan. Kini orang itu masih terus memaksa meski sudah ditahan oleh para pengawal dibawah sana.

"Bertemu denganku? Siapa? Kenapa dia memaksa?" tanya Liam dengan kerutan dikeningnya. Menatap bingung Johan dari balik kacamata bacanya yang bertengger dipangkal hidungnya.

Johan menggeleng, "Saya juga tidak tahu. Saya tidak pernah bertemu dengannya, Tuan."

Liam masih dalam kebingungannya. Jika Johan tidak pernah bertemu dengan orang yang menyebabkan keributan itu. Itu berarti bukan salah satu rekan bisnisnya ataupun calon rekan bisnis yang mungkin ingin bekerja sama dengannya.

Lagipula, jika memang orang itu calon rekan bisnisnya tidak mungkin harus memaksa untuk bertemu dengannya, bukan?

"Tapi saya sempat mendengar orang itu berkata, Dia ingin memberitahu Anda sesuatu yang sangat penting. Suatu yang berkaitan tujuh belas tahun yang lalu." Ujar Johan membuat kerutan Liam semakin dalam

17 Years [Terbit E-Book]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang