Berantakan. Mungkin itulah yang cocok disemat untuk kondisi apartement Liam saat ini. Beberapa benda sudah tidak berada ditempatnya lagi. Buku-buku sudah berserakan dilantai, vas bunga yang sudah tak utuh lagi, layar televisi yang sudah tak berbentuk lagi dan tak ada penerangan diruangan luas itu. Gelap gulita.
Johan membuka pintu perlahan dan berjalan masuk ke dalam. Menyalakan lampu dan terdengar helaan napas berat keluar dari pria dewasa itu saat melihat betapa kacaunya ruangan yang selalu terlihat rapi sebelumnya.
Perhatiannya bergulir ke arah seorang pria yang lebih tuan darinya, duduk diatas lantai dengan keadaan yang tak kalah kacaunya. Rambut hitam yang tak rapi lagi, dua kancing kemeja yang sudah terlepas dan pandangan kosong kedepan.
Meski tak ada air mata yang keluar dari pria itu tapi semua orang yang melihatnya pasti akan berpikir jika pria itu tidak sedang baik-baik saja.
Johan rasa menunggu di luar selama berjam-jam bukanlah pilihan yang salah dengan membiarkan Liam melampiaskan emosinya meski harus berakhir seperti ini.
"Tuan Liam" panggil Johan setelah berada didekat pria yang tak bergeming sedikit pun. Johan berjongkok disamping Liam.
"Sekarang... apa yang akan Anda lakukan?" tanya Johan tanpa basa-basi. Ia memang tahu akan apa yang terjadi dimasa lalu Liam.
Liam mendengus pelan, "Tidak ada."
"Lalu Anda akan membiarkannya terus berjalan seperti ini? Tanpa melakukan apapun seolah tidak ada yang terjadi?"
"Aku harus bagaimana, Johan?! Aku harus apa?! Ini semua sudah terlambat!"
"Lalu bagaimana dengan Nyonya Rania?" tanya Johan dengan nada sedikit tegas.
"Rania?" Liam mendengus miris, "Sudah tujuh belas tahun, Johan. Keadaan sudah berubah. Dia pasti sudah menikah lagi dan hidup bahagia disana. Ini sudah benar-benar terlambat. Tak ada lagi yang harus aku lakukan."
"Dasar bodoh!"
Liam tersentak mendengar gumaman kecil itu, menoleh ke arah Johan, "Apa?"
Johan membalas tatapan itu dengan ekspresi datar, "Anda sangat bodoh, Tuan. Anda bodoh untuk kedua kalinya. Kita tidak pernah tahu dengan apa yang terjadi. Perkiraan kita tidak selalu benar. Dan juga, tidak ada kata terlambat selagi kita masih berusaha. Yang ada hanyalah penyesalah jika kita tidak melakukan apapun."
"Jangan jadi bodoh lagi, Tuan Liam. Meski terlambat sekalipun, selagi kita bisa dan terus berusaha meskipun dengan peluang yang amat keci, kita pasti berhasil. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali." Lanjut Johan.
Liam sesaat membisu mendengar kalimat panjang itu. Ya, Johan benar. Ia tak boleh bodoh lagi. Cukup sekali saja. Jangan ada lagi penyesalan yang kedua.
"Lalu... Apa yang harus aku lakukan, Johan?" tanya Liam dengan pandangan lurus.
"Jangan bertanya padaku, Tuan. Tanyakanlah pada diri Anda sendiiri. Jika Anda bertanya, maka jawabannya hanya ada pada diri Anda sendiri. Saya hanya bisa membantu Anda."
Liam terdiam. Memikirkan apa yang akan ia lakukan. Selang beberapa saat, ia menemukan jawaban untuk apa yang menjadi langkah awalnya.
"Johan, carikan dimana keberadaan Rania! Aku beri kau waktu secepatnya!"
"Baik, Tuan"
~17 Years~
Liam mengacak rambutnya frustasi. Ini sudah dua minggu, tapi ia belu juga mendapatkan informasi dimana keberadaan wanita yang masih dicintainya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
17 Years [Terbit E-Book]✓
Fiksi Umum[E-Book sudah tersedia dia PlayBooks atau klik link di bio^^] Versi e-Book BERBEDA dengan versi Wattpad. ***** 17 tahun mereka saling menyimpan luka dan rindu yang tak pernah terucap. Liam Denandra harus berpisah dengan istrinya karena menemukan per...