"Kalau begitu saya permisi dulu." seorang pria yang berumur sekitar lima puluh tahunan berdiri dari duduknya disalah satu sofa yang tersedia didalam ruang kerja CEO dari perusahaan raksasa DN'K tersebut.
"Terimakasih telah menerima tawaran saya untuk membeli saham di perusahaan saya, Tuan Liam" ucap pria bertubuh tambun itu sambil mengulurkan tangannya.
Liam menerima jabatan tangan itu, "Sama-sama, Tuan Vano. Saya menerimanya karena saya menyukai perusahaan anda memiliki potensi yang cukup bagus." balas Liam dengan senyuman tipis hampir tidak terlihat.
"Untuk merayakan kerja sama kita, Bagaiman jika anda dan saya makan siang bersama dua hari mendatang? Itu pun jika anda tidak sibuk. Untuk tempatnya akan saya kabari anda" ajak pria timbun yang bernama Vano itu.
Liam berpikir sejenak, mengingat jadwal kerjanya dihari lusa. Ia rasa ia tidak terlalu sibuk jika disiang hari. "Baiklah, Saya terima undangan anda" Liam mengangguk kepalanya.
Vano tersenyum lebar, sebenarnya pria ini tidak berharap lebih jika undangannya akan diterima mengingat seseorang seperti Liam Denandra yang pastinya sangat sibuk.
"Johan, tambahkan undangan Tuan Vano." Liam menyuruh sekrestaris barunya sekaligus asisten pribadinya yang sudah bekerja dengannya selama 10 tahun, menggantikan sekrestaris lamanya yang resign karena menikah.
"Baik, Tuan" Johan mengetikkan jadwal tambahan di iPad kerjanya.
Vano dan sekrestarisnya keluar dari ruangan Liam setelah berpamitan pada sang pemilik ruangan.
"Saya ijin ke ruangan saya Tuan" Johan meninggalkan ruang luas itu setelah mendapat anggukan dari atasannya.
Liam melangkah ke meja kerjanya, duduk di kursi besar disana. Ponsel miliknya yang berada diatas meja berbunyi menandakan ada pesan masuk. Meraih benda canggih itu dan membaca isi pesan dari ibunya yang dilampiri sebuah lokasi suatu tempat.
Mama:
Liam.. Datang lah ke sini jam tujuh malam. Kita mengadakan acara makan malam dengan keluarga Birana untuk membahas pernikahan kamu dan Silfia. Batalkan pekerjaan kamu dimalam hari dan jangan menolak!! Kau harus datang!!
Desahan lelah terdengar dari Liam setelah membaca pesan yang kirim Gisella. Mamanya selalu mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya lebih dahulu dengannya lalu memaksa dia untuk melakukannya.
Liam menyandarkan punggungnya di sandara kursi kulit itu. Menutup matanya dan memijat pelan pelipisnya, entah apa yang dipikirkan pria tampan bertubuh tinggi yang masih terlihat kekar itu.
Kedua mata tajam itu terbuka. Melirik ke arah bawah meja kerjanya. Lebih tepatnya ke arah laci meja paling bawah disebelah kanan yang satu - satunya berkunci digital.
Pria itu terdiam sejenak. Lalu membuka kunci digital dengan memasukkan beberapa digit nomor. Setelah mendengar suara kunci terbuka, perlahan menarik laci itu yang hanya berisikan sebuah bingkai foto yang sengaja dibuat posisi menelungkup. Diraihnya bingkati kecil berwarna hitam itu. Didalamnya adalah foto seorang wanita tersenyum cantik yang merupakan mantan istrinya.
Entah apa dipikiran Liam sehingga ia tidak bisa membuang foto pertama yang ia ambil saat dirinya menjalin kasih dengan wanita yang menjadi bidikan kamera didalam foto tersebut.
Pikirannya menyuruh dirinya untuk membuang hal yang berkaitan dengan Rania tapi di waktu yang sama hatinya berkata untuk tetap menyimpannya.
Ya. Terkadang pikiran dan hati tak sejalan dan hanya bisa memberikan rasa kebimbangan.
"Kenapa Rania? Kenapa kamu tidak bisa pergi di saat aku ingin menyingkirkanmu dari pikiran dan hatiku? Kenapa? Kau sudah mengkhianati ku, bahkan hatiku juga mengkhianatiku karena tidak bisa melupakanmu" guman Liam, menatap sendu wajah cantik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
17 Years [Terbit E-Book]✓
General Fiction[E-Book sudah tersedia dia PlayBooks atau klik link di bio^^] Versi e-Book BERBEDA dengan versi Wattpad. ***** 17 tahun mereka saling menyimpan luka dan rindu yang tak pernah terucap. Liam Denandra harus berpisah dengan istrinya karena menemukan per...