Tiga Puluh Enam

1.3K 41 4
                                    

"In my dreams, you're with me. We'll be everything I want us to be." — Shawn Mendes, Imagination


HARI ini tepat satu tahun aku bertemu Farhan! Aku masih nggak percaya ternyata waktu berjalan secepat ini. Rasanya kayak baru kemarin aku dan dia tabrakan di lorong sekolah. Nggak akan bisa kulupakan sensasi campuran antara marah, kesal, dan juga kagum yang kurasakan saat itu ketika bahunya menabrak bahuku dengan keras hingga membuatku hampir jauh ke lantai.

Aku speechless saat pertama kali menatap mata Farhan yang teduh dan menghanyutkan. Debaran demi debaran kurasakan, darahku berdesir nikmat di sekujur raga ketika mata itu juga balas menatap mataku. Mendadak aku lupa dengan kemarahanku. Aku mematung, seolah waktu berhenti saat itu juga. Hanya detak jantung yang menggedor dada yang membuatku yakin bahwa waktu sebenarnya nggak berhenti.

Sepertinya waktu itu Farhan langsung minta maaf setelah dia menabrakku. Aku nggak bisa mengingat dengan jelas apakah dia minta maaf, karena saat itu aku seperti berada di alam lain. Aku baru sadar dari lamunan ketika Bimo menepuk kepalaku, dan ketika aku mengerjapkan mata, orang yang menabrakku ternyata sudah menghilang. Kalau bukan karena Bimo yang mengatakan aku ditabrak orang lain, mungkin aku akan mengira itu semua hanya mimpi belaka. Karena selama hidup di dunia, baru kali itu kulihat cowok setampan dia!

Aku tersenyum dan menepuk-nepuk pipi, mengusir semua kenangan itu.

Masih tersenyum, kuraih iPhone kesayanganku dan langsung menelepon Farhan. Aku ingin merayakan satu tahun pertemuan kami.

Panggilan pertamaku nggak dijawab. Kulihat jam dinding. Masih pukul tujuh pagi. Farhan pasti masih tidur, karena di hari Minggu begini biasanya dia bangun siang.

Kalau kalian mau tahu, hubunganku dan Farhan sudah masuk bulan ketujuh, dan itu bukanlah hal yang mudah.

Sejak kematian Lendra, Farhan jadi lebih protektif dan selalu berusaha untuk terus berada di sampingku, karena dia nggak mau aku kembali sedih dan ingat tentang Lendra. Padahal aku sudah nggak seberapa galau karena Lendra, kok. Aku memang masih kepikiran, tapi nggak akan terlalu sering menangisinya lagi. Sekarang aku sadar Lendra sudah tenang di alam sana, dan karena itu aku juga harus tenang di alam sini. Tapi Farhan nggak pernah percaya padaku. Katanya, dia nggak mau jauh-jauh dariku, dia ingin selalu berada di sampingku, dan kalau bisa dia ingin tinggal serumah saja denganku.

Setiap kali dia merajuk seperti itu, aku akan langsung mengerutkan kening. Farhan nggak pernah bertingkah seperti anak kecil, tapi akhir-akhir ini dia sering kali seperti itu. Tiap kali aku tanya ada apa, dia menggeleng. Katanya semua baik-baik saja, dia cuma nggak mau jauh-jauh dariku.

Aku bisa memaklumi itu. Sekarang sekolah kami lagi libur kenaikan kelas, jadi kami nggak bisa ketemu setiap hari. Farhan gelisah karena hal itu. Setiap hari dia selalu menelepon untuk menanyakan apakah aku bahagia hari ini? Dan aku menjawabnya dengan riang, bahwa dengan ditelepon olehnya saja sudah membuatku bahagia. Aku tahu Farhan masih mencemaskan kondisi kejiwaanku pascakematian Lendra, dan untuk membuatnya yakin bahwa jiwaku baik-baik saja, aku harus berusaha keras meyakinkannya.

Kalau boleh jujur, libur kenaikan kelas memang nggak enak. Selain nggak bisa ketemu Farhan setiap hari di sekolah, di rumah juga aku nggak ada kerjaan. Seringnya sih tiap libur kenaikan kelas Papa akan mengajak kami sekeluarga liburan ke luar kota, atau berkunjung ke rumah Nenek di Bandung. Tapi tahun ini Papa nggak ngajak kami ke mana-mana karena Dea harus menyiapkan diri untuk tes masuk SMA. Jadi liburan tahun ini terasa sangat membosankan.

Tapi untungnya ada Farhan. Pacarku yang gantengnya kebangetan itu selalu ngajak aku jalan-jalan. Entah itu ke mal, ke kebun binatang, ke pantai ... Farhan selalu punya tempat bagus yang belum pernah kudatangi sebelumnya. Pernah waktu itu dia—dan beberapa temannya—ngajak aku jalan-jalan ke daerah Marga Punduh, menyeberangi sungai, menembus hutan, mendaki bukit bebatuan cuma untuk melihat air terjun yang aku nggak tahu apa nama air terjunnya, tapi bagus. Airnya bening mengalir dari atas tebing batu, jatuh dengan bebas ke bawah kolam yang dipenuhi batu-batu halus warna hitam. Perjalanan jauh tiga setengah jam yang kami tempuh nggak sia-sia karena air terjunnya bagus dan jernih.

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang