Empat Puluh Sembilan

209 15 1
                                    

"Said you'd never hurt me, but here we are." — Madison Beer, Reckless


CERITA ini belum berakhir, kok. Tenang saja. Aku nggak akan mengakhiri kisah ini sekarang. Seenggaknya, belum, karena masih ada beberapa hal yang harus kuselesaikan dulu sebelum menyelesaikan kisah ini.

Waktu di rumah Mitha aku memang pernah bilang bahwa apabila orangtuaku tahu tentang hubunganku dan Farhan, maka kisah ini bakalan tamat. Waktu itu aku mengatakannya karena belum punya keyakinan. Waktu itu aku masih dipenuhi keraguan. Tapi sekarang, dengan bantuan Farhan, akhirnya aku sadar bahwa aku harus punya keyakinan untuk bisa melewati semua ini.

Cinta, harapan, dan keyakinan.

Tiga hal yang diberikan Farhan untuk jadi peganganku melewati semua masalah ini.

Tadi malam, nggak lama setelah aku naik ke kamar, Farhan menelepon. Dia hanya mengucapkan kata-kata seperti: Kita akan baik-baik saja; semua ini pasti berlalu; kita bisa melewati ini; aku nggak akan ninggalin kamu; aku masih sayang kamu apapun yang terjadi. Aku nggak terlalu ingat apa tepatnya yang kami bicarakan tadi malam karena kami sama- sama menangis. Awalnya aku nggak mau nangis, tapi kemudian pertahananku runtuh begitu mendengar Farhan juga menangis. Tangisan Farhan sangat pelan dan lirih, seolah-olah dia berusaha sekuat mungkin untuk nggak terdengar sedih di hadapanku. Dia masih berusaha kuat demi aku. Melihat orang yang kamu sayangi, yang begitu tegar di hadapanmu tapi ternyata begitu rapuh di belakangmu, rasanya sungguh nggak tertahankan pedihnya.

Setelah teleponan aku langsung tidur, dan pagi ini aku bangun dengan perasaan yang bisa dibilang nyaris hampa. Beberapa saat lagi aku harus turun ke bawah untuk sarapan, dan saat itu Mama atau Papa pasti akan menasihatiku untuk nggak usah temenan dengan Farhan lagi. Masalahnya, aku yakin aku pasti nggak akan bisa mengatakan Ini semua bukan salah Farhan! Bukannya aku nggak mau, hanya saja ... aku benar-benar nggak bisa.

Selesai mandi dan pakai seragam sekolah, aku langsung turun ke dapur. Di sana, semua anggota keluargaku sudah berkumpul, dengan awan mendung mengambang di atas meja makan. Memang sih, awan mendung itu sebenarnya nggak ada, itu cuma kata-kata kiasan untuk menggambarkan betapa suramnya suasana meja makan keluargaku di pagi hari. Kalau ini hari normal seperti biasa, Mama atau Papa pasti akan menyapaku selamat pagi. Tapi karena hari ini bukan hari normal seperti biasanya, jadi kata-kata sapaan itu nggak keluar dari mulut mereka.

"Pagi." Sapaan ini keluar dari mulut Dea, yang tersenyum saat aku duduk di kursi.

Aku membalas senyumnya dan menjawab sapaan itu. Lalu aku menoleh ke Mama di seberangku, dan ke Papa yang duduk di kursi kepala keluarga.

Papa langsung aja nyembur aku dengan kata-kata, "Mulai hari ini nggak ada lagi Farhan. Kamu nggak boleh lagi kontak dia, ketemu sama dia, apa-lagi sampai dia masuk ke rumah ini. Papa nggak sudi." Kebencian itu terdengar tajam dalam suaranya.

Aku melirik ke Mama yang berusaha menenangkan dirinya sendiri, walaupun aku tahu sebenarnya dia dipenuhi emosi. Aku kembali ke Papa, "Dino sayang Farhan, Pa." Jangan tanya aku dapat keberanian mengucapkan kata-kata ini dari mana, yang jelas aku merasa harus mengatakannya.

"Otak kamu udah dicemari sama dia, Dino!" Papa membentak. Selama aku hidup, Papa nggak pernah membentakku sebelum hari kemarin. "Kamu disesatin sama dia!"

"Papa!" Dea membela, membentak Papa, tapi masih dalam intonasi yang wajar. "Kita lagi sarapan. Tolong jangan marah-marah. Apa Papa lupa tujuan utama sarapan ini? Untuk membuat keluarga jadi lebih harmonis, bukannya membentak-bentak kayak gitu."

Papa nggak membantah Dea karena apa yang dikatakan adikku itu benar. Itu sumpah keluarga kami yang sudah diajarkan dari beberapa generasi yang lalu, bahwa meja makan bukan tempat menyelesaikan masalah, tapi tempat untuk mempererat keharmonisan keluarga.

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang