"They're so pretty, it hurts. I'm not talking 'bout boys. I'm talking 'bout girls." — Girl In Red, Girls
HARI pertama MOS selesai tepat pukul setengah dua siang. Siswa baru langsung buru-buru pergi setelah ketua kelas yang dipilih melalui sistem pemilu kelas membubarkan teman-temannya. Cuma Dea dan Dayena yang masih tinggal di kelas, tampak sedang membicarakan sesuatu sambil tertawa kecil ketika mereka sesekali melirik ke arahku. Aku pura-pura nggak peduli dan membereskan ranselku.
"Kak Dino," Dea bergerak mendekatiku. Dayena senantiasa mengekor di belakangnya. "Hari ini motor Kak Dino aku yang bawa, ya? Aku mau nganterin Dayena pulang."
Aku mengerutkan kening. Bimo dan Leo yang juga masih ada di kelas, ikut mengerutkan kening. Yuna dan Puput nggak peduli, tampak asik dengan urusan mereka masing-masing. "Terus aku pulangnya gimana?" tanyaku.
Dea nyengir. "Kak Dino minta jemput Kak Farhan tersayang aja," jawabnya.
Aku melotot ke dia, supaya jaga mulut karena di kelas ini masih ada Puput dan juga Yuna. Kalau Bimo dan Leo sih nggak masalah, karena mereka sudah tahu aku gay.
Dea sepertinya mengerti sinyalku. Dia mengucap, "Ups, keceplosan," tanpa suara.
Dea harus menunggu sampai Yuna dan Puput selesai membereskan barang-barang mereka dan keluar dari kelas. Setelah cuma tinggal kami berlima, Dea nggak langsung melanjutkan, tapi menatap curiga ke Leo.
Aku melihat maksud dari tatapannya itu. "Nggak apa-apa," kataku. "Dia tahu aku pacaran sama Farhan."
"Kak Leo juga tahu?" Dayena langsung membelalak. "Jangan-jangan Kak Leo juga—"
"Jangan sembarangan kalau ngomong!" bentakku, sebelum dia menyelesaikan ucapannya. "Nggak semua orang bisa kamu kira gay!" Nada suaraku meninggi, kesal dengan Dayena yang curious-nya nyaris kelewatan.
"Maaf," Dayena menundukkan kepalanya.
"Nah," Dea mengabaikan temannya. "Kak Dino minta jemput aja sama Kak Farhan. Gapapa, kan? Aku kan nggak mungkin ngebiarin Dayena pulang sendirian. Dia nggak enak badan katanya."
Aku menggeram. "Terus apa hubungannya denganku? Itu kan motor aku, masa aku yang harus dikorbanin? Harusnya kamu dong yang pulang naik angkot, dan biar aku yang nganterin si Dayena!"
Dea langsung kebingungan. Tapi bukan Dea namanya kalau nggak punya cadangan alasan. "Ih Kakak ini aneh, sih. Aku kan nggak punya pacar yang bisa jemput aku. Masa aku pulang naik angkot? Nanti Mama marah loh kalau tahu aku pulang naik angkot dan bukan pulang sama kamu."
Aku menggeram lagi. Itu kan salah dia! Ngapain juga dia pakai acara nganterin Dayena segala? Aku langsung menyimpulkan ini pasti akal bulus mereka untuk mengelabuiku, supaya aku minta jemput Farhan, dan keinginan Dayena untuk bertemu Farhan terwujud.
"Udah nggak apa-apa, Din. Biar lo pulang bareng Farhan aja. Tadi si Farhan WA gue, katanya dia mau latihan futsal di sini—sekalian mau ketemu lo," kata Leo.
"KYAAAAAAH!!!"
Aku, Bimo, dan juga Leo hampir saja melompat kaget mendengar teriakan Dayena yang tiba-tiba menggelegar seperti suara maut yang datang dari neraka. Teriakannya mengerikan, lebih seperti teriakan seorang gadis yang diperkosa ketimbang teriakan gemas.
Dea cuma geleng-geleng kepala, nggak terpengaruh dengan teriakan temannya. Mungkin dia sudah terbiasa dengan teriakan yang tiba-tiba itu.
"Ya ampun, Dea! Kita harus lihat Kak Farhan main futsal. Aduh, gue mau pingsan ... gue butuh kipas, kipas, kipas," Dayena sibuk mengipasi mukanya yang merah seperti kepiting rebus menggunakan telapak tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu & Aku #3
Novela JuvenilDino berusaha memperbaiki pertemanannya dengan Egy, yang ternyata susahnya minta ampun. Tapi untungnya dia nggak sendirian. Ada Bastian, Bimo, dan juga Farhan yang membantunya. Dan di rumah, keluarganya mulai mencurigai hubungannya dengan Farhan.