Lima Puluh Dua

191 8 1
                                    

"Baby, I'm right here. I'll hold you when things go wrong." —  ZAYN feat. Sia, Dusk Till Dawn


TIGA minggu berlalu tanpa ada kejadian seru yang bisa kuceritakan. Semua berjalan dengan tenang dan lancar. Aku dan Farhan menikmati waktu tiga minggu yang tenang itu dengan melakukan banyak hal romantis dan juga erotis yang nggak pernah kubayangkan sebelumnya. Suatu hari Farhan mengajakku makan di salah satu restoran mahal yang satu porsi makanannya aja harganya hampir 200 ribu. Ketika aku protes ini sebagai pemborosan uang yang nggak ada gunanya, Farhan malah tertawa sambil mengatakan bahwa sesekali nggak ada salahnya membuang-buang uang yang dikasih orangtua demi menyenangkan hati pacar. Toh kita jadi remaja cuma sekali, jadi nanti ketika sudah dewasa ada yang bisa kami ceritakan ke anak-anak kami.

Saat itulah aku bertanya: "Apa kita bakalan menikah?"

"Pasti. Kalau aku cinta mati sama kamu, itu artinya aku juga mau menghabiskan sisa hidupku bersamamu—dalam suka, maupun duka." Jawaban Farhan terdengar bukan seperti jawaban seorang remaja, tapi siapa peduli? Aku bahagia mendengar jawabannya.

"Tapi kita kan sama-sama laki, emangnya boleh menikah?"

Farhan tersenyum. "Aku bakal kerja buat cari duit untuk kita terbang ke Amerika, atau ke Belanda—atau ke Thailand yang dekat—supaya kita bisa nikah di sana." Jawaban Farhan memang bukan jawaban anak remaja, tapi pola pikirnya kental dengan nuansa remaja.

Malam yang indah dengan restoran yang sama indahnya menjadi saksi bisu keteguhan cinta Farhan, bahwa walaupun negara ini melarang pernikahan sesama jenis, tapi masih ada seribu satu cara yang bisa kami tempuh untuk terbang ke negara lain yang memperbolehkan kami menikah.

Sepulang dari restoran, aku menginap di rumah Farhan. Aku bilang ke Mama bahwa aku menginap di rumah Bimo, dan aku sudah kongkalikong sama Bimo kalau-kalau Mama menelepon ke rumahnya, dia harus bilang bahwa aku memang benar ada di sana. Jadi malam yang indah itu kami akhiri dengan seks panas yang dipenuhi cinta, keringat, dan juga kata-kata romantis nakal yang dibisikkan Farhan ke telingaku. Aku menyukai malam itu. Aku menyukai seks terpanjang yang pernah kami lakukan dalam sejarah hubungan kami—durasi seks kami saat itu 40 menit 58 detik (ini belum termasuk foreplay)—kami sengaja menghitungnya dengan meletakkan stopwatch di sebelah ranjang tempat kami melakukan persenggamaan. Aku menyukai makanan enak seharga 200 ribu rupiah di restoran super mewah dan mahal itu. Aku menyukai malam yang berbintang, kamar Farhan yang remang-remang, aku menyukai segalanya karena saat itu aku benar-benar menikmati hari tenang kami.

Namun, di akhir minggu ketiga hari tenang kami, Mama mulai mencurigai segalanya. Dikarenakan aku keseringan nginap di rumah Bimo—yang sebenarnya adalah bohong karena aku nggak pernah sekalipun tidur di rumah sahabatku itu—Mama mulai menegurku untuk jangan keseringan tidur di rumah orang, nggak enak sama orangtuanya. Walaupun aku berkata Bimo adalah sahabatku, dan orangtuanya nggak keberatan aku nginap di sana, tapi toh Mama bersikeras nggak membolehkanku nginap di rumah Bimo lagi. Mulai malam itu aku harus tidur di rumah, nggak boleh nginap di mana-mana. Aku curiga, sebenarnya Mama tahu aku nginap di rumah Farhan, karena itulah satu-satunya alasan kenapa dia sangat bersikeras melarangku menginap lagi.

Tanpa sadar, karena terlalu jengkel dan marah, aku mengutuk Mama karena merusak segalanya. Nggak ada lagi hari tenang. Nggak ada lagi malam indah berbintang. Nggak ada lagi seks panas paling panjang yang pernah kami lakukan. Semuanya direnggut paksa oleh Mama dariku. Tapi, aku langsung buru-buru menyesali kutukanku karena dosa besar jika seorang anak mengutuk orangtuanya sendiri.

Eh, tapi aku ena-ena sama Farhan juga kan dosa besar, ya? Cuma yang ini dosanya enak, gitu. Ya ampun, aku mulai ngawur.

Aku meraih hape, menekan call pada nomor Farhan. Sudah saatnya aku ajak Farhan untuk mengakhiri pemisahan yang dipaksakan ini. Bukannya mau kurang ajar dengan melawan Mama, tapi aku benar-benar nggak sanggup kalau orangtuaku terus-terusan melarangku dekat-dekat dengan Farhan hanya karena mereka pikir Farhanlah yang menyebabkan aku jadi seperti ini, seolah-olah selama ini Farhan hanya jadi pengaruh negatif buatku. Padahal satu-satunya pengaruh negatif di sini adalah kebencian kedua orangtuaku pada Farhan!

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang