Empat Puluh Satu

243 19 1
                                    

"I don't even care on what they think." — Arash Buana, I'll Be Friends With You


BESOK malamnya aku dan Dea sudah siap berangkat.

Dea memakai busana muslim warna putih bersih dengan motif yang sangat indah. Wajahnya tampak lebih cantik ketika memakai hijab, lengkap dengan senyum manis yang mengembang di pipinya yang putih dan mulus. Aneh rasanya memuji senyum Dea, karena itu berarti aku memuji senyumku sendiri. Aku dan Dea punya senyum yang sama. Ini senyum warisan dari Mama, dan Mama selalu membanggakan senyuman kami kepada teman-temannya. "Lihat, Jeung, senyum anak-anak saya manis, kan? Itu senyuman mereka warisan dari saya, lho." Setiap kali Mama memamerkan itu, kami akan tersenyum lebih lebar, dan temannya Mama makin terpesona pada kami.

"Kok lama, ya?" Dea bersungut-sungut sambil melihat jam tangannya. Hilang sudah senyum manis yang baru saja kubangga-banggakan tadi.

"Sebentar lagi mungkin," kataku.

Seperti yang sudah disepakati kemarin, Bimo akan menjemput kami—atau lebih tepatnya dia akan jemput Dea, karena aku sendiri bakalan dijemput Farhan. Bimo bilang malam ini dia akan bawa mobil, jadi kami bisa pergi bersama-sama. Tapi sepertinya Bimo lupa bahwa aku punya pacar, dan pacarku juga kenal dengan Lendra, jadi pacarku juga pastinya bakalan ikut ke pengajian di rumah Lendra. Ketika aku memberitahukan hal ini padanya, dia cuma menepuk jidat tapi nggak mengurungkan niatnya. Dia tetap membawa mobil dan malah nyuruh Farhan ikut naik ke mobilnya juga.

Lima menit kemudian yang datang bukanlah Bimo, tapi Farhan. Pacarku itu juga bawa mobil, yang membuat Dea mengembuskan napas sambil geleng-geleng kepala. "Ini kenapa semua cowok pada bawa mobil, sih?" sungutnya. "Kita cuma pingin pengajian loh, bukannya mau jalan-jalan ke luar kota!"

Tapi begitu Farhan turun dari mobil, Dea nggak lagi protes dan memasang senyum super lebar yang membuat Farhan memujinya cantik. Nggak lupa, setelah pujian itu Farhan menambahkan, "Aku seneng banget punya adik ipar yang cantik kayak artis sinetron."

Dea tersipu malu, dan pipinya memerah, yang justru malah membuatnya tampak lebih cantik dan lebih manis. "Kak Farhan bisa aja ih gombalnya. Aku tahu aku cantik, tapi jangan buat aku malu, dong! Aku kan jadi lebih cantik kalau senyum malu-malu kayak gini," kata Dea dengan sangat percaya diri yang membuat Farhan nggak bisa menahan tawa.

Setelah berhenti tertawa, Farhan menatapku. "Kamu juga ganteng banget malem ini, Din," pujinya.

Dea pura-pura muntah mendengar pujian Farhan.

Tapi aku mengabaikan Dea, dan balas mengomentari penampilan Farhan yang luar biasa sempurna malam ini. Farhan memakai baju koko lengan pendek warna biru navy dengan sedikit sentuhan motif warna biru muda di bagian dadanya. Celana dasar hitamnya tampak pas sekali di kakinya, senada dengan warna sandalnya. Peci yang warnanya sama dengan warna bajunya bertengger rapi di kepalanya seperti mahkota kerajaan. Melihat Farhan dibalut baju koko sealim itu membuatku nggak sabar ingin cepat-cepat dinikahi olehnya supaya dia jadi imam dalam rumah tanggaku.

Ya ampun, monolog yang barusan itu memang agak ngawur.

Bimo datang nggak lama kemudian. Dia memarkirkan mobilnya di belakang mobil Farhan. Saat keluar dari mobil dan menghampiri kami, Bimo merengut jengkel. "Kok Farhan bawa mobil juga, sih?" tanyanya, tanpa mengucapkan salam terlebih dulu. "Kalau kayak gini gimana berangkatnya, coba?"

"Pakek mobil lo aja," kata Farhan langsung nyamber. "Mobil gue biar taruh di sini."

"Oke." Bimo tersenyum lembut saat dia menatap Dea dari atas sampai ke bawah, menilai penampilannya. "Kamu cantik, Dea. Bikin gemes." Mata Bimo berkilat penuh hasrat, dan aku buru-buru mengambil tempat di tengah-tengah antara dia dan Dea.

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang