Tiga Puluh Tujuh

342 31 4
                                        

"Well, give me all of you. Trust me, I know that we'll be fine." — Luz, We'll Be Fine


PERAYAAN satu tahun pertemuan kami dimulai dengan nonton film di bioskop. Farhan bilang dia mau nonton film action yang dari bulan kemarin sudah dia tunggu-tunggu, walaupun nanti selagi nonton aku pasti bakalan tidur karena nggak suka filmnya—itu jenis film anak cowok yang melibatkan kejar-kejaran, tembak-tembakan, bom, dan pembunuhan berantai. Aku nggak suka film yang kayak begini. Aku sukanya film yang selow.

"Kamu tunggu di sini," kata Farhan, menyuruhku duduk di kursi panjang di lobi.

Aku nggak membantah dan duduk di situ, memperhatikan Farhan melangkah ke kasir, memesan dua tiket untuk kami, kemudian setelah tiketnya dapat, Farhan berpindah ke bar dan memesan seember kecil pop corn beserta minumannya. Aku meringis nggak enak karena Farhan yang harus mengeluarkan semua uangnya. Setelah itu, dia kembali menghampiriku sambil menenteng dua kantong plastik putih bertuliskan XXI.

"Maaf, ya," ucapku ketika menerima kantong yang diserahkannya padaku.

"Maaf untuk apa?" katanya, duduk di sebelahku, sangat dekat hingga bisa kurasakan lengannya menyentuh lenganku.

"Untuk ini," kuangkat kantong plastik di depan wajahnya. "Maaf karena harus kamu yang ngeluarin semua uangnya. Padahal kan tadi aku udah bilang kita patungan aja."

Farhan mencubit pipiku pelan, sambil menggeram gemas seperti orang dewasa yang melihat pipi montok anak bayi. "Nggak usah berlebihan," katanya. "Selagi ada, aku nggak masalah ngeluarin semuanya untuk bahagiain kamu."

Aku tersenyum malu, pipiku panas dan pastinya merona merah. Farhan tertawa ketika melepas cubitannya dari pipiku. Ada kehangatan yang rasanya sangat menyenangkan di tempat jari-jarinya tadi mencubitku. Senyum nggak pernah mau luntur dari wajahku. Rasanya membahagiakan dicintai, disayangi, dan dikasihi oleh Farhan.

Saat aku menatap Farhan, bibirnya juga tersenyum, tapi matanya berkata lain. Sesuatu mengganggu pikirannya, menghambat senyum manis dan memikat itu sehingga nggak sampai ke matanya. Masalahnya, aku nggak tahu sesuatu itu apa. Aku sudah menanyakannya ada apa, tapi dia menolak untuk memberitahuku apa yang sedang dipikirkannya. Aku yakin, apa pun itu pasti ada hubungannya dengan sikapku.

Apakah dia marah karena aku nggak jujur ke Mama tentang status hubungan kami? Atau dia marah karena di mobil tadi aku berkata sinis padanya? Oh, atau jangan-jangan dia marah karena tadi pagi aku nggak membalas ucapan selamat paginya? Ya Tuhan, yang satu itu nggak mungkin. Farhan nggak sebocil itu.

Aku masih bertanya-tanya kenapa Farhan gelisah dan tampak resah ketika tiba-tiba seorang cewek cantik berkulit cokelat terang, mulus, bulu matanya bagus, ukiran alisnya rapi, datang menghampiri kami. Aku mengerutkan kening karena aku nggak mengenal cewek ini. Tapi sepertinya Farhan mengenalinya, karena sedetik kemudian wajahnya langsung berubah ceria.

"Farhan!" pekik cewek cantik itu, berdiri tepat di depan Farhan yang lagi duduk.

Farhan tersenyum, kemudian berdiri. Tinggi badan cewek itu cuma sebatas lehernya Farhan, jadi dia harus agak mendongak ketika Farhan berdiri di hadapannya, dengan jarak yang sangat dekat. "Mitha?"

Tanpa diduga-duga, dan dengan seenak jidat tanpa berpikir panjang, cewek cantik itu memeluk Farhan. Aku mengerutkan kening, agak kesal dengan cewek itu yang nggak tahu malu meluk pacar orang sembarangan! Tapi aku nggak mau langsung tersulut emosi. Akal sehatku masih berpikir mungkin cewek cantik yang dipanggil Mitha ini saudaranya Farhan.

Farhan nggak membalas pelukan Mitha. Kedua tangan Farhan masih berada di samping tubuhnya, diam, beku, sementara Mitha memeluknya makin erat, lebih erat, dan aku sepakat dengan diriku sendiri bahwa Mitha ini bukan saudaranya Farhan. Saudara mana ada yang pelukannya seerat itu? Sekangen-kangennya saudara, kalau ketemu ya pelukannya biasa aja, dong! Nggak usah terlalu erat kayak mau ngebunuh gitu.

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang