"We're falling apart, still we hold together." — The Chainsmokers, All We Know
JELAS, hubungan rapuh apa pun itu yang pernah terbentuk di antara aku dan Riko, sekarang musnah. MUSNAH LIFAH!
Eh salah. Maksudku, MUSNAH SUDAH!
Aku nggak mau lagi mengenalnya, dan jangan harap aku bakal luluh lagi dengan tubuhnya yang berotot dan menggiurkan itu. Aku bahkan berharap semoga nggak pernah bertemu lagi dengannya. Setiap kali mengingat tangannya yang masuk ke balik kaosku dan membelai putingku malah membuatku marah, geram, dan benci. Setengah aku benci pada diriku sendiri, setengahnya lagi—dengan sedikit tambahan ekstra—aku membenci Riko. Ternyata selama ini semua yang diomonginnya tentang ingin menjadi temanku adalah sampah.
Kemarahan dan kebencianku sangat menggelora sampai-sampai aku memutuskan untuk nggak berangkat sekolah hari ini. Aku malas harus berhadapan lagi dengan Riko yang pastinya bakal selalu ada di gerbang sekolah untuk menjemput Retno.
Ah ya, ingat-ingat tentang Retno, aku jadi kasihan dengan sepupunya Farhan itu. Dia pasti nggak tahu kalau kemarin sore cowoknya baru saja grepek-grepek tubuhku yang indah dan menggemaskan ini. Walaupun sempat menyukai sentuhan Riko, tapi untungnya aku berhasil memikirkan Retno tepat ketika tangan Riko hampir masuk ke celana dalamku. Kalau bukan karena pikiran tentang Retno, mungkin sudah kubiarkan Riko menikmati tubuhku yang indah ini.
Bangun dari tidur, aku langsung turun ke dapur karena perutku keroncongan dari semalam belum sempat makan apa-apa.
Di dapur semua anggota keluargaku sudah berkumpul. Papa membaca berita dari iPad-nya. Dea makan sambil sesekali mainin hapenya. Mama sedang menyeruput teh. Ketika aku masuk, Mama langsung memandangi mataku dan mengernyit khawatir. Yeah, aku tahu. Mataku sembap karena semalaman menangisi nasibku yang nyaris diperkosa oleh Riko. Awalnya aku nggak mau menyebutnya "diperkosa", tapi apalah daya kalau kejadiannya memang hampir mirip seperti percobaan pemerkosaan.
Saat aku duduk di kursi, Mama nggak mengatakan apa pun dan malah mengambilkan sarapanku. Menu sarapan pagi ini adalah telur puyuh sambal goreng yang bisa dibilang terlalu berat untuk jadi menu sarapan. Tapi, siapa peduli? Makanan itu adalah favoritku! Mama tahu banget aku suka telur puyuh, jadi setiap kali dia membuatkanku makanan itu biasanya kalau lagi ada maunya aja. Seperti contoh, pernah waktu itu Mama membuatkannya sebagai sogokan supaya aku mau mengantarnya belanja seharian bareng teman-temannya di mal. Atau pernah juga Mama membuatkanku makanan itu sebagai permohonan supaya aku mau menemaninya perawatan di salon.
"Mama sengaja buatin makanan kesukaan kamu," kata Mama seraya menyimpan sepiring nasi panas yang dicampur enam butir telur puyuh berlumuran sambal.
Aku nggak bertanya kenapa, dan Mama juga sepertinya nggak mau menjelaskan alasannya, jadi aku mengambil sendok, dan mulai melahap makananku.
Telur puyuh sambal goreng buatan Mama memang yang paling enak sejagad raya! Ini alasan kenapa aku jatuh cinta banget sama masakan Mama, karena tangannya yang berjari-jari lentik itu seolah-olah punya kekuatan ajaib yang bisa mengubah makanan apa saja jadi terasa enak. Telur puyuh sambal goreng yang pernah aku makan bersama Dina di kafetaria rumah sakit jadi nggak ada apa-apanya dibandingkan yang lagi kumakan sekarang ini. Selagi mengunyah, aku mengingatkan diriku sendiri untuk mengajak Dina main ke rumah dan mencicipi makanan ini karena sama seperti aku, Dina pun suka banget dengan makanan pedas ini.
"Makannya yang banyak ya, Sayang," ucap Mama kemudian.
Aku menatapnya, dan beliau tersenyum sangat tulus, sangat keibuan, sangat penuh kasih sayang. Seperti yang waktu itu pernah kukatakan, Mama nggak pernah memanggilku "sayang" kecuali kalau dia merasa ada sesuatu yang nggak beres denganku. Mungkin Mama menangkap arti dari sikapku yang uring-uringan dua hari belakangan ini. Dia pasti khawatir padaku, tapi mungkin malu untuk menghiburku karena biar bagaimana pun masih ada jurang kecanggungan yang sangat lebar di antara hubungan kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu & Aku #3
Fiksi RemajaDino berusaha memperbaiki pertemanannya dengan Egy, yang ternyata susahnya minta ampun. Tapi untungnya dia nggak sendirian. Ada Bastian, Bimo, dan juga Farhan yang membantunya. Dan di rumah, keluarganya mulai mencurigai hubungannya dengan Farhan.