SEBULAN kemudian, aku dan Farhan merayakan hari jadi satu tahun hubungan kami. Nggak kerasa ternyata sudah setahun yang lalu ketika aku menerima cinta Farhan hari itu di rooftop Sky View yang dingin dan langit dipenuhi bintang. Saat pertama kali Farhan memeluk, mencium, dan membisikkan janji-janji cinta yang nggak pernah sekalipun diingkarinya. Sudah setahun, tapi rasanya seperti baru beberapa jam yang lalu.
Sekarang kami kembali ke Sky View, berada di atas rooftop yang masih sama seperti setahun lalu—sepi, hanya ada kami berdua di sini. Bintang-bintang bertaburan di atas langit, bulan sabit bersinar seperti senyuman. Angin berembus lembut, nggak dingin, tapi sejuk. Aku menyukai keserasian malam ini. Kalau aku mememjamkan mata, bisa kubayangkan sosok Farhan setahun yang lalu berdiri di hadapanku dibalut polo shirt warna hijau berompi cokelat dan topi kupluk warna merah tua. Sekarang, polo shirt itu digantikan dengan kemeja kasual dan senyumnya yang indah.
"Setahun yang lalu kita menyatukan cinta kita di sini," katanya.
Aku terlalu bahagia ketika kuterjang dia ke dalam pelukanku. Kulingkarkan lenganku ke lehernya erat-erat, menikmati sensasi pelukan Farhan yang hangat, wangi, dan menenangkan. Aku nggak mau melepas pelukan ini, aku ingin terus menempel bersama Farhan, melewati setiap detik, menit, jam yang berlalu bersamanya. Tapi nyatanya aku harus melepas pelukan, dan sejuknya udara kembali memerangkap tubuhku.
"Happy Anniversary, Dino sayang," bisiknya sembari menyusupkan jemarinya ke jemariku.
"Happy Anniversary," balasku.
"Aku ada hadiah untuk kamu," katanya, mengambil sesuatu dari saku belakang celananya. Aku mengerutkan kening ketika dia mengeluarkan dua buah gelang karet warna hitam dan putih dari dalam sana. Satu gelang bertuliskan namaku, sementara gelang yang lain bertuliskan nama Farhan. Dia menyerahkan gelang yang bernama Farhan—gelang warna putih—dan menyematkannya di pergelangan tanganku. Gelang itu terasa pas di pergelanganku. Warna putihnya cocok sekali dengan kulitku.
"Maaf hadiahku nggak mewah," ucapnya, merona malu. "Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku kasih ke kamu, karena nyaris segalanya sudah aku berikan untukmu. Jadi, kupikir mungkin gelang itu bisa jadi pengingat bahwa kamu adalah milikku, dan aku adalah milikmu." Dia memakai gelang yang satunya. "Kita saling memiliki."
"Kita saling memiliki," ulangku, sambil menyapukan jari telunjukku ke nama Farhan yang terukir di gelangku. "Aku juga punya hadiah untuk kamu, Farhan. Sebentar." Aku menjauh darinya untuk mengambil sebuah kertas berjilid agak tebal dari dalam tas kecil yang tadi kubawa naik ke atas sini. Kubawa kertas berjilid itu ke hadapannya, dan Farhan mengerutkan kening ketika mengambil benda itu.
"Apa ini?" tanyanya, mengerutkan kening.
"Kisah cinta kita," jawabku. Sekarang gantian aku yang merona merah. "Jadi, setelah bertemu Fujoshi di Starbucks hari itu, aku mulai menulis kisah cinta kita. Tujuannya supaya ... yah, supaya kita nggak melupakan semua yang pernah kita lewati." Aku menunduk malu karena aku pasti kelihatan konyol karena cuma memberikan sebuah kertas berjilid di hari spesial kami. Kertas berjilid tanpa judul, ralatku dalam hati, karena cerita itu memang belum aku kasih judul.
Farhan membuka halaman pertama, membaca singkat sambil tersenyum. Aku nggak berharap dia akan membacanya sampai selesai di sini, tapi butuh waktu nyaris lima menit kemudian dia baru mengangkat matanya dari kertas itu. Saat dia menatapku, matanya dipenuhi titik-titik air mata yang berkumpul menjadi genangan di pelupuknya. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Maaf," ucapnya, sembari mengucek mata. "Aku nggak tahu kenapa, tapi aku benar-benar terharu. Cara kamu menggambarkan rasa cintamu untukku ... aku nggak pernah merasa diperlakukan sespesial ini oleh orang lain."
Aku menggigit bibir, antara malu dan senang karena Farhan menyukai ceritaku. "Maaf karena aku cuma bisa ngasih kertas berjilid konyol—"
"Konyol?" Farhan tertawa kecil. "Ini sempurna, Dino! Ini baru yang dinamakan kado hari jadi hubungan kita!" Dia lalu memelukku, membenamkan kepalaku di dadanya, memaksaku mendengarkan detak jantungnya yang seirama dan mantap.
"Tapi cerita itu belum sempurna, Farhan," kataku. "Aku belum ngasih judul untuk cerita itu. Aku bingung harus ngasih judul apa. Semua judul yang terlintas di kepalaku nggak ada yang greget, dan justru malah terkesan lebay. Jadi aku berhenti mencoba memberinya judul, dan mungkin dengan bantuan kamu, kita bisa menemukan judul yang bagus untuk kisah ini."
Farhan mengerutkan kening dalam-dalam, wajahnya menampilkan ekspresi yang selalu muncul ketika dia sedang berpikir keras. Ekspresi yang selalu kugambarkan seperti seorang profesor pintar yang sedang memikirkan jawaban cerdas. Dua menit kemudian, dia tersenyum sambil berkata, "Kamu & Aku."
"Hah?" Aku mengerutkan kening. "Judul apaan itu? Kurang greget."
"Itu judul yang bagus, Dino," balas Farhan. "Karena ini bukan cerita tentang mereka. Ini semua cerita tentang kamu ... dan aku."
Aku tersenyum karena aku ingat Farhan pernah mengatakan itu tepat setahun yang lalu ketika dia menyatakan cintanya padaku. Kamu & Aku. Yah, itu bagus.
Itulah asal-usul kenapa kisah ini berjudul Kamu & Aku the series.
Dan, kupersembahkan kisah ini untukmu Farhan Satya Al-Hadil, karena kamulah makhluk terhebat yang pernah diciptakan Tuhan dalam hidupku.
SELESAI
Bandar Lampung, 05 April 2022
![](https://img.wattpad.com/cover/270254082-288-k937157.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu & Aku #3
Teen FictionDino berusaha memperbaiki pertemanannya dengan Egy, yang ternyata susahnya minta ampun. Tapi untungnya dia nggak sendirian. Ada Bastian, Bimo, dan juga Farhan yang membantunya. Dan di rumah, keluarganya mulai mencurigai hubungannya dengan Farhan.