Empat Puluh Lima

231 18 0
                                    

"Just the two of us, we can make it if we try." — Kauai45, Sweet Cocoa, Just The Two of Us


"HALO?" sapaku pada nomor tanpa nama yang meneleponku nyaris pagi-pagi sekali sehingga aku terjaga. Mataku masih sayup-sayup, pandanganku belum fokus benar, masih ngantuk. "Siapa ini?" tanyaku, sambil menguap. Kulirik jam, masih setengah lima pagi. Mungkin ini Farhan yang menelepon. Tapi kalau ini Farhan, kenapa nomornya nggak ada nama?

"Dino, ini Bastian," kata orang di seberang sana.

"Oh, Bastian," kataku, malas-malasan, setengah merem, setengah melek. Nyawaku belum kekumpul semua. "Ada apa, Bas?"

"Din, gue mau jujur ke Egy tentang orientasi seksual gue."

Aku langsung terjaga seutuhnya. Nyawaku tiba-tiba sudah kekumpul semua. Aku bahkan bangkit dari tiduran dan duduk tegang di atas kasur. "Seriusan?" tanyaku, kaget, panik, tapi nggak tahu kenapa reaksiku berlebihan seperti ini.

Bastian menjawab, "Ya. Tiga hari lagi Egy pulang ke Bandung, dan menurut gue udah saatnya gue jujur ke dia."

"Tapi Bas ..." Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan, jadi kalimatku menggantung di ujung bibir.

"Gue jadian sama Leo, Din," kata Bastian. "Tadi malam Leo nembak gue. Dan lo tahu betapa bahagianya gue? Oh, lo pasti tahu, karena lo juga pasti pernah ditembak sama Farhan, kan?" Aku mengangguk mengiyakan, walaupun aku tahu Bastian nggak bisa melihat anggukan kepalaku. "Gue udah buat keputusan kalau gue bakalan come out ke Egy. Gue nggak mau pacaran sembunyi-sembunyi dari kakak gue sendiri, Din. Gue pingin Egy kenal sama Leo, dan Leo pun kenal sama Egy. Kenal sebagai pacar, maksud gue."

"Itu mustahil, Bas," kataku, khawatir. "Gimana kalau ternyata Egy malah membenci lo? Gimana kalau Egy malah ngusir lo dari rumah?"

"Itu emang risiko yang harus gue ambil. Dan sebenarnya ini bukan tentang gue, Din. Tapi ini tentang Egy. Udah saatnya dia belajar memaafkan dan melupakan. Oke, mungkin nggak mudah melupakan apa yang terjadi padanya, tapi tetap aja, dia nggak boleh terus-terusan menghukum kita atas kesalahan yang nggak pernah kita lakukan ke dia. Ini saatnya gue buat gebrakan, supaya Egy sadar bahwa nggak semua gay itu jahat kayak Pak Sutrisno."

Aku mengangguk ke udara kosong. Oh, aku sudah di rumah, ya. Aku sudah pulang dari rumah sakit dua hari yang lalu. Sekarang kondisiku sudah baik-baik saja walaupun masih sedikit lemas dan belum sanggup berangkat sekolah. "Gue nggak tahu harus gimana, Bas. Di satu sisi, gue juga kepingin menyadarkan Egy tentang kita yang nggak pernah berniat mencelakakan dia. Tapi di sisi lain, gue khawatir Egy makin membenci kita kalau lo juga nekat come out ke dia."

"Ini bukan nekat, Din. Tapi ini keharusan."

Aku mengembuskan napas. Bastian pasti sudah mempertimbangkan keputusannya matang-matang. Kalau nggak, mana mungkin bicaranya semantap itu? "Oke," kataku akhirnya, "gue dukung keputusan lo buat jujur ke dia. Tapi kalau nanti reaksi Egy nggak sesuai dengan apa yang lo harapkan—misalnya dia ngadu ke orangtua lo dan kemudian lo diusir dari rumah, gue mau kok nampung lo di rumah gue."

Bastian terkikik geli di ujung sana. "Kalau diusir dari rumah, pastinya gue bakal tinggal di rumah Leo dong," katanya. Kira-kira apa tujuannya memberitahukanku ini semua? "Gue butuh dukungan lo, tapi nanti. Belum saatnya, Din. Nanti gue hubungin lo lagi kalau saat itu udah tiba."

"Baiklah."

"Kalau gitu, selamat pagi. Sori gue nelepon pagi-pagi, karena gue nyaris nggak bisa tidur semalaman, dan gue pikir nggak ada salahnya nelepon lo pagi-pagi begini." Bastian terdengar sangat riang gembira, seolah-olah dia baru saja dapat jackpot. Oh, dia emang baru dapat jackpot karena jadian dengan Leo.

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang