" I was tryin' to be nice, but nothing's getting through." — Gayle, ABCDEFU
SEPERTI biasa, setelah pulang sekolah aku dan Farhan langsung mengurung diri di dalam kamar. Pertama-tama kami ciuman, lalu setelah itu Farhan mendorongku ke kasur, dan kami pun berpelukan. Farhan memulai obrolan dengan menanyakan apa yang kulakukan di rumah Tante Firna kemarin sore, yang segera kujawab dengan apa adanya. Farhan langsung kaget ketika tahu bahwa Tante Firna adalah mamanya Mitha.
"Aku nggak pernah tahu nama mamanya Mitha," katanya. "Jadi di sana kamu ngobrolin apa aja sama Mitha?"
Kujawab dengan sejujurnya, kuceritakan semua obrolanku bersama Mitha kemarin sore. Tapi tentu saja aku nggak menceritakan apa yang dilarang oleh Mitha—bagian itu aku potong karena aku sudah janji ke Mitha nggak akan memberitahukannya ke Farhan.
"Pokoknya Mitha bakal berhenti godain kamu kalau dia ngelihat langsung siapa pacar kamu. Dan menurutku, inilah saatnya kita jujur, Farhan. Ini saatnya kita memberitahu Mitha bahwa aku adalah pacarmu," kataku akhirnya mengusulkan.
Tanpa babibu, Farhan langsung menyetujui. Dia sangat antusias menyambut usulanku, sampai-sampai dia memelukku sangat erat dan menciumi puncak kepalaku berkali-kali.
Katanya, "Sebenarnya aku udah lama pingin jujur ke Mitha, tapi aku takut kamu bakal marah kalau aku nggak izin dulu ke kamu."
"Kenapa harus izin dulu ke aku?"
"Karena kamu kan masih takut," jawabnya. "Kamu bahkan nggak berani jujur ke Mama kamu sendiri."
Aku merengut jengkel. "Memangnya kamu berani?"
"Beranilah," katanya, mantap tanpa keraguan. "Bahkan kalau sekarang kita harus jujur pun, aku pasti bakalan jujur. Aku nggak mau hubungan kita selalu dibayang-bayangi ketakutan kayak gini."
Aku diam, nggak tahu harus ngomong apa. Farhan terdengar mantap dan yakin dengan ucapannya, seolah-olah dia sudah siap untuk jujur kepada dunia tentang hubungan kami. Masalahnya, aku belum siap. Aku memang ingin dunia tahu tentang hubungan kami, tapi bukan sekarang waktunya. Seharusnya nanti, ketika kami sudah siap untuk hidup seorang diri. Maksudku seorang diri bukan ketika kami sendirian di dunia ini, tapi ketika kami sudah bisa hidup mandiri, menghasilkan uang sendiri, nggak bergantung pada orangtua lagi. Kalau sekarang kami come out dan kemudian orangtua kami nggak mau lagi melihat wajah kami, apa yang harus kami lakukan? Kami harus lari ke mana? Pergi ke mana? Farhan dan aku masih sekolah, kami masih belum bisa dapat kerja enak di kantoran karena ijazah SMA saja belum kami dapatkan. Ya, kan?
Jadi dengan penuh kesabaran kuutarakan semua itu padanya.
Dan coba tebak apa jawaban Farhan? Dia bilang, "Kalau memang itu harus, aku bisa kok kerja apa aja untuk cari duit. Yang kita butuhkan sekarang adalah keyakinan, Dino. Kalau kita nggak yakin, susah buat kita untuk melewati ini semua."
Itu dia. Keyakinan. Mungkin Farhan benar. Yang harus aku lakukan adalah yakin bahwa kami bisa. Pasti bisa. Kalau kami nggak bisa melewati semua ini dengan cara seperti ini, maka kami masih bisa melewatinya dengan cara yang lain. Akan selalu ada cara bagi kami untuk melewati ini, asalkan kami yakin.
Atau lebih spesifik, asalkan aku yakin.
"Maafin aku karena terdengar meragukan," kataku, akhirnya memeluk Farhan. Walaupun Farhan setahun lebih muda dariku, tapi aku percaya dan yakin dia pasti nggak akan salah dalam mengambil langkah. Setiap langkah yang diambilnya pasti sudah dia pikirkan matang-matang. Dan yang perlu aku lakukan adalah yakin kepadanya.
Setelah itu aku mengajak Farhan foto bareng. Kataku, "Foto, yuk? Kita nggak pernah loh foto berdua."
"Oke," katanya, menyetujui, lalu dia mengeluarkan hapenya, dan kami pun foto berdua.
![](https://img.wattpad.com/cover/270254082-288-k937157.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu & Aku #3
Fiksi RemajaDino berusaha memperbaiki pertemanannya dengan Egy, yang ternyata susahnya minta ampun. Tapi untungnya dia nggak sendirian. Ada Bastian, Bimo, dan juga Farhan yang membantunya. Dan di rumah, keluarganya mulai mencurigai hubungannya dengan Farhan.