Lima Puluh Empat

180 5 0
                                    

"In my heart, in this cold heart. I can live or I can die." — Michael Kiwanuka, Cold Little Heart


IT'S BEEN a long day without you, My Friend
And I'll tell you all about it when I see you again
We've come along way from where we began
Oh I'll tell you all about it when I see you again
When I see you again.

Kunyanyikan lagu itu pelan-pelan sambil mencabuti rumput liar yang tumbuh di tanah kuburan Lendra yang kering. Nisannya masih kelihatan baru walau sudah ada bercak hitam di sana-sini karena terbakar matahari dan tersiram hujan. Kuburannya masih tampak seperti sebulan lalu terakhir kali aku mengunjunginya.

Aku menyukai lirik lagu See You Again itu karena menggambarkan dengan jelas perasaanku terhadap Lendra yang sudah meninggal. Kehilangan akan sosoknya masih membekas di hatiku, dan sepertinya nggak akan pernah hilang. Dan bukan cuma aku, tapi Bimo juga merasakan hal yang sama, karena kami berdua sama-sama menyayangi Lendra.

Selagi mencabut dengan kuat rumput bandel yang susah sekali ditarik, kubayangkan dan kucoba menebak apa yang saat ini sedang dirasakan Egy. Aku yakin, Egy juga pasti merasa kehilangan Lendra seperti yang kami rasakan. Dan kalau apa yang Bastian katakan benar, aku berharap semoga kasih sayang Egy terhadap Lendra akan membawanya kembali ke jalan yang benar.

"Dino?" Farhan, yang duduk di sampingku dan ikut mencabuti rumput, menepuk bahuku. "Jangan ngelamun."

Aku menoleh ke samping dan tersenyum padanya. Farhan selalu menemaniku melayat ke kuburan Lendra, karena sejak Dina menunjukkan lukisan Lendra malam itu, rasa penghargaan seolah-olah muncul di hatinya. Aku sih senang karena Farhan ada di sampingku, jadi aku nggak merasa sendirian. Dan aku nggak perlu lagi menangis setelah memanjatkan doa untuk Lendra.

Selesai berdoa, Farhan mengajakku pergi. Kubilang padanya bahwa aku ingin bicara sebentar dengan Lendra. Ada beberapa hal yang harus kuceritakan padanya. Memang sih aku cuma bicara ke batu nisannya, tapi buatku itu cukup. Biarpun jasadnya terkubur dan mungkin sudah membusuk di dalam tanah, tapi aku percaya arwah Lendra pasti masih ada di sekitarku, mendengarku.

Farhan bangkit berdiri, meninggalkanku sendirian. Dia akan menunggu di mobil, katanya. Setelah Farhan cukup jauh dari jarak pendengaran, aku mulai bicara:

"Hai, Lend, kita ketemu lagi." Kali ini aku nggak akan menangis. Aku memang masih sedih, tapi nggak akan meratapi lagi apa yang sudah terjadi. "Ada Farhan juga ke sini bareng gue, dan dia mau ucapin terima kasih untuk lukisan yang lo kasih ke kami," aku tersenyum di sini. Lukisan itu sekarang tergantung di kamar Farhan, karena kalau tergantung di kamarku, nanti Mama bisa tambah marah melihatnya.

Aku melanjutkan, "Gue nggak akan ngoceh panjang lebar, Lend. Gue cuma pingin bilang bahwa gue kangen banget sama lo," kuusap batu nisannya yang dingin seolah-olah aku mengusap kepala Lendra. Kubayangkan senyum manis lengkap dengan lesung pipinya. Kubayangkan sosok Lendra yang sehat, hidup, dan bernapas di hadapanku. Ingin rasanya kupeluk sosok itu. "Bimo juga kangen sama lo, Lend. Kita semua kangen sama lo. Kangen suara lo, kangen senyum lo, kangen—"

Aku harus berhenti bicara karena kesedihan mulai naik dan tercekat di tenggorokan. Kalau mengucapkan sepatah kata lagi, kuyakin aku pasti bakalan menangis. Dan aku benci kalau harus menangis di hadapan Lendra. Aku nggak mau terlihat cengeng di hadapannya. Aku ingin Lendra tahu bahwa aku bahagia bersama Farhan, persis seperti yang didoakannya.

Setelah menenangkan diri, aku melanjutkan, "Bimo nggak bisa ikut melayat hari ini karena dia lagi jalan sama adik gue." Aku tertawa kecil. "Lucu, bukan? Bimo pacaran sama Dea, dan itu rasanya aneh banget. Tapi rasanya juga membahagiakan melihat dua orang yang kita sayang saling menyayangi ..."

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang