Empat Puluh Empat

252 23 0
                                        

"In another life, I'd do it all again a thousand times." — Jarryd James feat. Broods, 1000x


TERNYATA tensi darahku rendah karena aku kurang makan dan istirahat.

Aku membuka mata dan mendapati Farhan duduk di sebelahku, sepertinya sedang menungguku. Dia langsung buru-buru memelukku begitu aku sadar, dan pelukannya sangat erat tapi juga sangat hati-hati seolah-olah takut apabila pelukannya lebih erat sedikit saja bisa melukaiku. Kepalaku masih agak sakit, dan tanpa sadar aku mengerang. Farhan melepas pelukan, lalu menyuruhku makan. Aku menolak untuk makan, karena mulutku rasanya pahit, dan ketika kucoba menelan ludah, rasanya sakit. Tapi Farhan memaksaku, dan aku nggak bisa menolaknya. Jadi Farhan menyuapiku makan sambil menceritakan apa yang terjadi padaku kemarin.

Ketika aku mengerang kesakitan dan jatuh terjerembab ke lantai, Farhan langsung berlari keluar dari lapangan dan menghampiriku. Lalu dia menggotong tubuhku dan memasukkanku ke dalam mobil. Chika ikut masuk ke mobil Farhan. Bastian juga ikut masuk karena dia yang membantu Farhan membaringkanku di kursi tengah. Setelah itu, Farhan membawaku ke rumah sakit, dan di sinilah aku sekarang: terbaring lemah di atas ranjang berseprai putih dengan infus menusuk urat nadi di tangan kananku. Aku siuman beberapa jam setelah matahari terbit.

"Aku khawatir banget tadi malam," kata Farhan, setelah ceritanya selesai. Matanya terlihat sangat kelelahan dan tampaknya kurang tidur. "Aku sampai nggak bisa tidur nungguin kamu siuman." Kekhawatiran terdengar jelas dalam suaranya, dan aku tahu Farhan sungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Maaf," kuremas tangannya. "Maaf karena bikin kamu khawatir."

"Jangan minta maaf," katanya, lalu mencium lembut punggung tanganku. "Aku yang harusnya minta maaf karena ngajak kamu ke lapangan tadi malam. Harusnya aku nyuruh kamu tidur di kamar—"

"Ssstt—" aku memotongnya, "bukan salah kamu." Baru kusadari ternyata suaraku lemah ketika bicara. Kepalaku juga masih agak sakit. Lampu yang menggantung di langit-langit tampak berputar-putar. Kupejamkan mata. "Kepalaku masih pusing."

"Minum obat dulu," Farhan mengambil empat butir obat, lalu menyuruhku meminumnya.

"Makasih," kataku, setelah obat berhasil kutelan dengan susah payah. Bau obat yang menyengat membuatku tambah pusing, karena pada dasarnya aku benci obat.

"Istirahatlah," ucap Farhan, mengusap kepalaku dengan sayang.

"Kamu yang harusnya istirahat, Farhan," kataku. Kugenggam telapak tangannya lebih erat. Farhan rela begadang demi menungguku siuman. "Kamu butuh tidur."

"Aku bakal istirahat kalau kamu juga istirahat."

Aku mengangguk, lebih bertujuan agar Farhan mau tidur setelah dia juga melihatku tidur. Jadi langsung kupejamkan mata dan pura-pura tidur. Lalu kurasakan bibir Farhan mencium keningku, dan dia berbisik, "Cepat sembuh Dino sayang. Aku sedih lihat kamu kesakitan kayak gini." Air mataku hampir saja menetes karena terlalu bahagianya aku menerima perhatian yang sangat besar dari pacar yang mencintaiku sangat tulus. Setelah itu kurasakan kepala Farhan terbaring di sebelahku. Dan nggak berapa lama kemudian kudengar suara dengkuran halusnya yang teratur.

Aku membuka mata dan menangislah aku. Aku menangis karena terharu. Membayangkan Farhan menahan kantuk cuma demi aku. Membayangkan ekspresinya yang khawatir ketika para dokter itu mengurusku. Membayangkannya duduk di sebelah ranjangku sepanjang malam sambil mengusapkan jemarinya yang halus ke kepalaku.

Kuulurkan tangan untuk mengusap rambut Farhan yang halus. "Terima kasih, Farhan. Terima kasih."

Pintu terbuka dan buru-buru kutarik tanganku yang mengusap rambut Farhan. Mama dan Papa berdiri di ambang pintu, kaget melihatku menatap mereka dengan mata yang basah.

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang