Empat Puluh Enam

225 14 0
                                        

"I know you love her but it's over, Mate." — Dean Lewis, Be Alright


BESOKNYA aku masih nggak berangkat sekolah. Bukan karena badanku masih lemas, tapi karena aku malas berangkat. Tanggung. Soalnya ini hari Sabtu, jadi sehari lagi libur nggak apa-apa, kan? Biar izin sakitku genap seminggu lamanya.

Pagi-pagi seperti biasa Mama mengantar sarapan ke kamar. "Besok nggak usah lagi nganter ke kamarku, Ma. Aku udah sembuh, kok."

"Nggak apa-apa. Mama ngelakuinnya karena kepingin." Mama tersenyum, lembut, khas seorang ibu. "Hari ini Mama mau main ke rumah teman Mama. Kamu ikut, yuk?"

"Teman Mama siapa?"

"Tante Firna. Kamu ingat dia, nggak? Dulu waktu masih kelas 6 SD Mama pernah ngajak kamu main ke rumahnya."

Aku menggeleng, lupa. Soalnya udah lama banget, sih. Waktu aku kelas 6 SD berarti usiaku 12 tahun—dan itu sudah 5 tahun yang lalu. Otakku berusaha mengorek-orek informasi tentang Tante Firna, tapi nihil. Kenangan lima tahun lalu yang kuingat adalah saat pertama kali aku menyukai bentuk otot dan puting seorang laki-laki. Atau dengan kata lain, kelas 6 SD aku sudah mulai suka dengan laki-laki, tapi belum menyadari orientasi seksualku karena saat itu aku masih bingung. Aku baru mulai sadar bahwa aku gay saat aku kelas 9 SMP.

"Tapi kamu mau kan nemenin Mama ke rumah Tante Firna? Mama mau ngenalin kamu ke anaknya."

Aku mengerutkan kening. Mengenalkanku ke anaknya Tante Firna? Apa anaknya Tante Firna cowok? "Siapa, Ma?"

"Ada, deh. Cantik anaknya. Manis."

"Cewek, Ma?" kataku, bodoh.

Mama mengangguk sambil menyipit heran. "Ya iyalah cewek, masa cowok? Mama nggak mungkin ngenalin kamu ke cowok."

Aku menelan ludah. Mama mengucapkan kalimatnya tadi penuh penekanan.

"Kamu mau ikut, kan?" tanya Mama, menatapku.

"Jam berapa berangkatnya, Ma?"

"Setengah tiga nanti," jawab Mama.

Aduh, jam setengah tiga adalah waktu di mana Farhan dan aku seharusnya mengurung diri di dalam kamar. Tadi pagi Farhan memberitahu setelah pulang sekolah dia akan mampir ke rumahku. Dan aku sudah menyetujuinya. Setiap hari Farhan memang selalu datang ke rumah, dan setiap hari juga kami akan berpelukan, ciuman, ngobrol, dan kadang-kadang juga melakukan sex seperti yang kami lakukan kemarin. Aku sadar bahwa ini berisiko, karena Mama bisa tambah curiga. Tapi walaupun risikonya besar, aku suka. Aku menyukai waktu yang kuhabiskan di dalam kamar bersama Farhan.

Sial. Aku nggak mungkin menolak ajakan Mama. Mama ingin mengenalkanku dengan anak Tante Firna dan kalau aku menolak nanti dia tambah curiga. Kok anak gue nggak mau dikenalin sama cewek, ya? Atau jangan-jangan dia homo?—Kira-kira mungkin beginilah yang akan diucapkan Mama dalam hati.

Aku bisa saja mengarang alasan bahwa aku masih lemas dan nggak sanggup pergi ke mana-mana, tapi itu tetap akan membuat Mama curiga, karena Farhan akan datang ke rumah. Nanti Mama akan mengucapkan dalam hati—Kayaknya anak gue beneran homo, deh. Buktinya, mau gue kenalin ke anak teman gue yang cantik, dia bilangnya masih lemas. Tapi pas Farhan datang ke rumah, dia segar bugar nggak lemas sama sekali. Ya ampun, semua pilihan yang ada begitu mengerikan sampai-sampai aku takut untuk memilih salah satunya.

Akhirnya, aku mengangguk. Aku nggak mau kecurigaan Mama makin bertambah.

Dan Mama langsung tersenyum lebar. Dia langsung memeluk dan mencium keningku penuh syukur. "Mama sayang kamu, Dino. Mama cuma pingin kamu bahagia."

Kamu & Aku #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang